Helo Indonesia

Paradigma Tentang Kesenian Dipandang Kecil, Seniman Tak Perlu Masuk Dunia Politik

Sabtu, 29 Juni 2024 22:47
    Bagikan  
Seniman
Foto: Heloindonesia

Seniman - Suasana diskusi dengan judul Ekosistem Theater (DI) Sumatera Selatan (Sumsel) di gelar di Gedung Kesenian Palembang, Sabtu (29/6/2024).

HELOINDONESIA.COM - Ekosistem Theater  di Sumatera Selatan (Sumsel) harus terus dibangun agar hidup, berkembang dan berkesinambungan ke depannya, terlepas dari berbagai kekurangan dan keterbatasan yang ada. 

Salah satu pelaku seni dan theater di Sumsel  Vebri Al Lintani, menilai ketika bicara ekosistem artinya bicara indikator yang menunjang ekosistem tersebut.

“Pertama, faktor pemegang kebijakan pemerintah, faktor infastruktur, sarana dan prasarana dan sebagainya. Kalau bicara infastruktur, itu artinya ada regulasi. Kita regulasi belum ada, jadi  itu menunjang. Kalau ada regulasinya bagus maka ekosistem berkerja,” katanya saat menjadi narasumber dalam Diskusi  dengan judul Ekosistem Theater  (DI) Sumatera Selatan (Sumsel)  yang di gelar di Gedung Kesenian Palembang pada Sabtu (29/6/2024).

Selain itu menurut Vebri, SDM di instasi terkait juga harus menunjang dan memiliki pemahaman terhadap theater.
“Selama ini kalau kita lihat kesenian itu cuma dipandang kecil sekali. Padahal ada seni tradisional, musik dan  tari. Theater belum ada, paradigma ini yang belum,” ujarnya.

Mantan Ketua Dewan Kesenian Palembang itu juga mengaku kalau selama ini pihaknya selalu berusaha dengan salah satunya mengiring Perda Kesenian di kota Palembang dimana tahun ini akan digodok.

“Kita juga berjuang bagaimana sarana dan prasarana seperti gedung kesenian ini, ke depan Pemkot Palembang juga harus memikirkan  koneksi antara Dewan Kesenian, seniman dan instansi terkait bisa terkoneksi sehingga itu bisa harmonis dan bersama-sama membangun kesenian,” tambahnya.

Sedangkan Toton Dai Permana menilai ketika bicara ekosistem berkesenian sifatnya normatif dan tergantung daerahnya.

“Saya pikir sekarang sudah bagus. Sudah lumayanlah. Tapi itu tetap harus dibangun terus biar lebih kondusif,” katanya.

Karena itu, menurutnya, peran pemerintah dalam kebudayaan dan kesenian harus ditingkatkan dan harus memperhatikan kehidupan berkesenian di Sumsel.

“Seniman tidak perlu masuk dunia politik, tapi tergantung manusianya,” tambahnya.

Ketua Dewan Kesenian Palembang (DKP) Hasan  mengatakan, kegiatan ini  bekerjasama antara DKP dan  Perkumpulan Nasional Teater Indonesia (Penastri). 

“Programnya program Penastri. Tujuannya untuk membangkitkan ekosistem kesenian terutama theater di Sumsel dan Palembang,” tambahnya.
Dia menilai iklim theater di Palembang  sudah berjalan cuma kadang lambat, kadang cepat.

“Itu dilihat dari suasana, itu yang harus didorong dan dibangun terus. Itu point dari Pak Toton tadi kreatif dan bergerak. Kalau tidak bergerak menunggu, nah itu yang enggak jalan. Ini harus bersama sama dan didobrak, terutama pemerintah harus terus didorong,” tambahnya.

Sedangkan  Wakil Ketua Penastri S Metron Masdison menambahkan, diskusi yang digelar di Gedung Kesenian Palembang adalah theater isu, yaitu dengan mengumpulkan problematika  ekosistem di Indonesia.

“Jadi kami sudah mengadakan di 18 kota. Tapi itu daring, sekarang luring ada empat kota yaitu Banjarmasin, Palembang, Ternate dan terakhir Kendari,” katanya.
Di 18 kota sebelumnya, Palembang, menurutnya tidak masuk sehingga dimasukkan untuk 4 kota yang saat ini tengah berjalan.

“Bentuknya diskusi. Temanya beda-beda tiap lokal. Jadi tidak semuanya sama. Yang kami menyerap intinya maping isu-isu persoalan  theater yang ada di Indonesia. Kegiatan kita ini didukung dana Indonesiana. Di sini kita bekerjasama dengan Dewan Kesenian Palembang, Yayasan Lacak Budaya Sriwijaya dan Studio Hanafi,” tandasnya.