Helo Indonesia

Pilwalko Palembang 2024 Ajang Promosi Kecap Nomor Satu

M. Haikal - Opini
Sabtu, 29 Juni 2024 22:26
    Bagikan  
Pilkada Palembang
Foto: ist

Pilkada Palembang - DR .H.M Husni Tamrin, Dekan Pasca Sarjana S2 Universitas Sriwijaya..

Oleh: DR .H.M Husni Tamrin, Dosen FISIP UNSRi

Pemilihan Walikota (Pilwako) Palembang kali ini tampak lebih seperti ajang promosi kecap nomor satu daripada kontestasi ide dan visi untuk memajukan kota.

Deretan calon walikota berlomba-lomba mengklaim diri sebagai pilihan terbaik tanpa memberikan gambaran jelas mengenai apa yang membuat mereka istimewa.

Mereka lebih sibuk berpose di baliho dengan tampilan paling menarik dan kata-kata yang kekinian, sementara gagasan substantif mengenai visi mereka untuk Palembang nyaris tidak terdengar.

Parade Nama-nama Calon
Di antara nama-nama calon walikota yang disebut-sebut di berbagai media adalah Ratu Dewa yang baru saja menyelesaikan jabatan Pj Walikota, Fitrianti Agustinda, mantan wakil wali kota yang kini menjadi kader Partai Nasdem, Yudha Pratomo (kader Partai Demokrat), Basyaruddin Akhmad Kadis Perkim Provinsi Sumsel, Akbar Alfaro, Syafran Saropi, Rasyid Rajasa, Prima Salam, dan Nandriani.

Baca juga: Masoud Pezeshkian dan Saeed Jalili Maju Putaran Kedua Pemilu di Iran

Yang menarik, tidak semuanya sudah terafiliasi dengan partai politik. Bahkan ada yang masih berstatus pejabat dan ASN. Walaupun mereka sudah menyampaikan keinginan untuk maju ke pilwako, namun belum satu pun yang secara eksplisit dan tegas menyatakan mundur dari ASN sebagaimana syarat pencalonan.

Juga belum jelas parpol mana yang dibidik oleh mereka. Tak hanya itu, para kader parpol yang maju pun belum jelas gabungan parpol mana saja yang mereka bidik akan mengusung mereka.

Tak hanya soal parpol pengusung, siapa yang akan menjadi pasangan mereka pun sampai hari ini belum jelas juntrungannya.

Kampanye Hampa Visi
Di sepanjang jalan-jalan utama Kota Palembang, banyak baliho besar yang menampilkan foto para calon dengan berbagai slogan menarik seperti "Muda, Teknokrat dan Visioner", "Kerja Nyata untuk Palembang", "Duit dewek dak pakai APBD", "Semangat dan harapan baru kota Palembang", "Berbuat baik tidak perlu alasan", "Ibu kita menata ibukota", dan "Perubahan untuk Palembang".

Baca juga: Menolak Dipaksa Transfer Rp 700 Ribu, Cewek Penjaga Konter Duel Lawan Pemuda Botak Berpisau, Untung Ada Warga, Pelaku Diikat

Menurut survei yang dilakukan oleh suatu Lembaga survey di Indonesia pada pemilihan serupa di kota lain, sekitar 60% pemilih merasa kampanye yang dilakukan hanya bersifat permukaan dan tidak memberikan informasi yang cukup mengenai program kerja calon.

Berdasarkan laporan dari berbagai media lokal, calon wali kota lebih banyak menampilkan janji-janji umum tanpa memberikan rincian konkret mengenai implementasinya.

Misalnya, Ratu Dewa, yang baru saja menyelesaikan jabatan Pj Walikota, banyak disebut dalam berita-berita lokal dengan janji memperbaiki infrastruktur kota namun tidak menjelaskan secara detail bagaimana rencana tersebut akan dibiayai atau dilaksanakan (Palembang Ekspres, 2024).

Fitrianti Agustinda, mantan wakil walikota yang kini menjadi kader Partai Nasdem, juga sering muncul di media dengan janji meningkatkan pelayanan publik, namun lagi-lagi tanpa rincian konkret (Sriwijaya Post, 2024).

Baca juga: Pemkot Semarang Pastikan Penanganan Kemiskinan Ekstrem Berkelanjutan

Hal ini menunjukkan bahwa para calon lebih fokus pada pencitraan diri daripada penyampaian gagasan konkret yang dapat dipertanggungjawabkan.

Hal ini dikritik oleh banyak pihak, termasuk para akademisi. Sharlamanov dan Jovanoski (2014) menyebutkan bahwa "kampanye politik yang hanya mengandalkan pencitraan tanpa substansi merupakan bentuk pelecehan terhadap inteligensi pemilih perkotaan yang rasional dan terdidik".

Tantangan Demokrasi Rasional
Kontestasi wali kota seharusnya berbeda dengan pemilihan kepala daerah lainnya. Karakteristik perkotaan yang cenderung merepresentasikan pemilih rasional, terdidik, dan penuh pertimbangan idealnya menciptakan persaingan yang berbasis ide dan program kerja yang konkret.

Baca juga: Pemkot Semarang Pastikan Penanganan Kemiskinan Ekstrem Berkelanjutan

Namun, upaya merayu pemilih bak jualan kecap nomor satu terasa tidak relevan dan bahkan cenderung "menghina" rasionalitas pemilih perkotaan yang sebenarnya diharapkan memilih mereka.

Penelitian oleh Budi dan Sari (2022) menunjukkan bahwa pemilih perkotaan di Indonesia lebih tertarik pada program kerja yang realistis dan terukur daripada sekadar janji manis yang tidak memiliki landasan yang jelas.

Sistem Politik dan Demokratisasi
Namun, tentu saja kita tidak bisa hanya menyalahkan para calon. Fenomena ini tidak terlepas dari sistem politik kita yang masih muda dalam proses demokratisasi. Proses konsolidasi demokrasi seringkali terganjal pada formalitas yang mengakibatkan munculnya demokrasi defektif atau bahkan pseudo demokrasi.

Tahapan pilwako yang saat ini masih berada dalam tahap pendaftaran menunjukkan bahwa para calon sebenarnya lebih fokus pada bagaimana mereka bisa mendapatkan dukungan dari partai politik daripada menyampaikan gagasan mereka kepada publik.

Baca juga: Kebakaran Hebat Terjadi di Pemukiman Padat di Jl Kampung Bali, Tanah Abang. Api Menghanguskan Gudang Pemulung dan Bangunan Permanen

Setiawan (2021) menyatakan bahwa "proses rekrutmen calon dalam partai politik di Indonesia masih sangat oligarkis dan tidak transparan, sehingga lebih mementingkan kepentingan elite partai daripada aspirasi rakyat" (Setiawan, 2021, p. 89).

Dampak Oligarki Partai
Keputusan partai yang cenderung oligarkis mengakibatkan proses rekrutmen menjadi kurang transparan, menciptakan lahan subur bagi munculnya pasar gelap demokrasi.

Pasar gelap ini akhirnya memunculkan banyak broker politik yang merupakan salah satu sebab mahalnya ongkos politik di Indonesia saat ini.

Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Demokrasi Indonesia (2020) menyebutkan bahwa "praktek oligarki dalam partai politik menciptakan kondisi di mana calon harus mengeluarkan biaya besar untuk mendapatkan dukungan, yang pada akhirnya mengurangi fokus mereka pada penyusunan program kerja yang berkualitas" (Lembaga Penelitian Demokrasi Indonesia, 2020, p. 34).

Baca juga: Hingga Mei 2024 Pelindo Catat Pertumbuhan Kinerja Positif di Regional 4

Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada pemilihan serupa di kota besar lainnya menunjukkan bahwa dari 10 calon yang mendaftar, 80% di antaranya menggunakan baliho sebagai media utama kampanye mereka, sementara hanya 20% yang mengadakan forum diskusi terbuka dengan masyarakat (KPU, 2022, p. 12).

Selain itu, dari survei yang dilakukan oleh Pusat Kajian Politik di beberapa universitas besar, ditemukan bahwa hanya 30% pemilih yang merasa cukup mengetahui program kerja para calon wali kota.

Kesimpulan
Pilwako Palembang 2024 ini mencerminkan banyak tantangan dalam proses demokratisasi di Indonesia. Dari kampanye yang lebih menekankan pencitraan diri hingga sistem politik yang oligarkis, pemilih dihadapkan pada pilihan yang mungkin tidak merepresentasikan aspirasi mereka secara maksimal.

Diharapkan, ke depan, proses pemilihan walikota bisa lebih transparan dan berbasis pada ide serta program kerja yang jelas, sehingga pemilih dapat membuat keputusan yang lebih rasional dan informatif.

Baca juga: Trik Cara Melacak Nomor WhatsApp Orang Lain Secara Legal

Dengan mengelaborasi fenomena ini secara lebih mendetail dan konkrit, diharapkan masyarakat Palembang dapat lebih kritis dalam menentukan pilihan mereka dan tidak terjebak dalam janji manis tanpa substansi