Helo Indonesia

Sejarah Awal Mula 1 Suro Jadi Keramat Dimulai di Era Raja Sultan Agung Hanyokrokusumo

Winoto Anung - Ragam
Selasa, 18 Juli 2023 22:06
    Bagikan  
Sultan Agung
Ist

Sultan Agung - Sultan Agung Hanyokrokusumo, Raja Kasultanan Mataram Islam di Jawa. satu lukisan. (foto: ist)

HELOINDONESIA.COM - Ada satu saat yang sangat diperhatikan oleh orang Jawa, yakni 1 Suro, atau lebih tepatnya malam 1 Suro. Ini merupakan tahun baru Jawa, yang kemudian dibarengi menjadi saat untuk refleksi diri, bersih-bersih diri atau juga pusaka, dan kegiatan lain.

Maka, dengan kondisi seperti itu, kemudian disebutlah malam 1 Suro bagi sebagaian masyarakat Jawa dianggap saat yang keramat. Pada malam 1 Suro digunakan untuk ritual penting, semisal mencuci keris, atau tirakatan.

Para penganut budaya Jawa, 1 Suro adalah pergantian tahun dalam pandangan budaya Jawa, yang selaras pergantian tahun baru Islam 1 Muharam.

Pada saat malam 1 Suro banyak warga Jawa yang mengadakan ritual, tapi kemudian dalam perkembangan ditambah perayaan tertentu, seperti di Kraton Kasunanan Surakarta, dan ada arak-arakan Kyai Slamet, abdi dalem berjalan keliling beteng dengan topo mbisu (berjalan dengan tanpa bicara).

Baca juga: Menjelang 1 Muharam di Ponorogo Selalu Ditandai Dengan Upacara Perpindahan Kota Wetan ke Kota Tengah

Secara umum, pada saat itu dianjurkan untuk prihatin, mengadakan perenungan, dan bersih-bersih jiwa, termasuk pusaka.

Dalam sejarahnya, awal mula 1 Suro dianggap keramat, adalah pada era raja (Sultan) Kasultanan Mataram (Islam), yakni Sultan Agung Hanyokrokusumo. Dia adalah raja (Sultan) Mataram Islam, raja yang taat menjalankan syariat Islam.

Sultan Agung pula yang mencatat sejarah monumental, yakni langkah politik menyatukan tarih atau kalender Jawa dengan tarih Islam. Ia raja keempat Mataram Islam, memerintah pada 1613 hingga 1645 Masehi.

Baca juga: Malam 1 Suro di Solo, Wali Kota Gibran: Mari Refleksi Diri, Bersihkan Jiwa

Sultan Agung pula yang disebut sebagai cikal bakal atau yang memulai adanya tradisi menyambut 1 Suro, kemudian disebut tanggap warso (menyambut tahun baru).

Raja Jawa Sultan Agung ini bercita-cita luhur untuk membangun kekuasaan di Tanah Jawa, yang berwibawa, berdaulat, tidak dipengaruhi kekuasaan asing (dalam hal ini pula dia sangat anti Belanda, dan mengirim pasukan ke Batavia).

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut Sultan Agung merasa perlu mengadakan langkah-langkah dan suasana baru yang menunjang kebijaksanaanya.

Baca juga: AHY Minta Anies Tak Mengulur-ulur Waktu Deklarasikan Cawapres

Oleh karena itu kemudian lahirlah ketentuan penting Kerajaan Mataram yang diberlakukan untuk semua narapraja (pejabat) dan masyarakat  Mataram.

Isi dari kebijaan tersebut antara lain, Pertama, menggalang semangat kesatuan untuk menentang kekuasaan asing, dalam hal ini colonial Belanda, yang saat itu mulai berkuasa di Batavia. Kedua, menggalang persatuan dan persatuan seluruh masyarakat Mataram.

Ketiga,  mempersatukan tarikh Hijriyah yang berdasarkan perhitungan peredaran bulan (qomariah), dengan tarikh Saka yang berdasar peredaran matahari (syamsiah), dan naluri Majapahitan menjadi tahun Jawa, dimulai pada tahun 1 Sura 1555 Jawa, bertepatan dengan 1 Muharam 1043 Hijriyah, saat itu bersamaan dengan tanggal 8 Juli 1633 Masehi.

Baca juga: Jokowi Kepo Soal Cawapres Anies, Surya Paloh : Yang Tahu Pak Anies

Untuk yang Keempat,  membangun sikap masyarakat Mataram untuk sura (berani) bersatu untuk melawan kekuasaan asing. Kelima,  membangkitkan keberanian masyarakat Mataram dengan bersiap diri melawan kekuasaan luar.

Selain itu, berani mawas diri untuk menata kemampuan masing-masing berani mengendalikan diri agar persatuan dan kesatuan Mataram dapat terwujud, berani membersihkan diri agar terbebas dari niat dan sikap yang tidak menunjang terwujudnya cita-cita Mataram Raya.

1 Suro Keramat

Beberapa kebijakan dan keputusan Praja Mataram yang diundangkan sepenuhnya dapat diterima masyarakat Jawa pada umumnya.

Baca juga: Surya Paloh Jelaskan Isi Pertemuan dengan Jokowi: Beliau yang Mengundang Saya

Untuk menghormat dan mengindahkan keputusan penting tersebut, kemudian, Pertama, tanggal  1 Sura 1555 Jawa diterima sebagai awal tahun Jawa, yang tidak dimulai dari tahun 1, tetapi dimulai tahun 1555. Kedua, 1 Sura merupakan awal tahun baru Jawa, diperingati secara adat Jawa, yang pelaksanaanya berbeda-beda.

Ketiga, 1 Suro dianggap sebagai tanggal yang keramat, karena pada tanggal 1 Suro 1555 ditetapkan keputusan penting Kesultanan Mataram.

Keempat, peringatan tahun baru Jawa 1 Suro, disertai kegiatan-kegiatan yang sifatnya cenderung papa keprihatinan, mawas diri, dan pengendalian dirisesuaI dengan kesakralan bulan Sura.

Baca juga: Hadapi Gugatan Panji Gumilang, MUI Persiapkan Tim untuk Buya Anwar Abbas

Tanggal 1 Sura Jawa bertepatan dengan tanggal 1 Muharam Hijriyah, awal tahun Hijriyah, yang berbarengan dengan Hijriyah Nabi Muhammad SAW.

Hijrah mengandung makna, hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah, 16 Juli 622 Masehi. Juga dalam arti hijrah orang Islam dari perbuatan tidak baik menurut perintah Tuhan. Serta hijrah orang Islam menjauhi larangan Tuhan.

Tahun Baru jawa itu disambut masyarakat Jawa di mana-mana, dengan acara berbeda-beda, tapi digariskan untuk menghindari kegiatan bersuka ria dalam bulan Suro, seperti kegiatan mantu dan khitanan demi menjaga kesakralan dan kekeramatan bulan Suro. (*)

(Winoto Anung)