Helo Indonesia

Pengamat Minta Pemberlakuan Putusan MK Terkait Usia Capres-cawapres Ditunda

Drajat Kurniawan - Nasional -> Politik
Senin, 6 November 2023 21:20
    Bagikan  
MK sidang
MK RI

MK sidang - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) sedang memimpin sidang. (Foto: Mahkamah Konstitusi RI)

HELOINDONESIA.COM - Aktivis TAPDK Janses E Sihaloho mengatakan, putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 telah menimbulkan kegaduhan di Republik Indonesia.

MK dalam putusan uji materi perkara 90/PUU-XXI/2023 menyatakan capres/cawapres tidak harus berusia sekurang-kurangnya 40 tahun asalkan berpengalaman sebagai kepala daerah hasil pilkada.

Setelah putusan itu dibacakan pada 16 Oktober 2023, Gibran yang masih berusia 36 tahun diusung menjadi bakal cawapres karena dianggap telah berpengalaman sebagai wali kota Surakarta.

Oleh karena itu menurut Janses, Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta mencoret keikutsertaan Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024. 

Baca juga: Putusan MKMK Berdampak pada Pencalonan Gibran di Pilpres 2024

"Meminta Komisi Pemilihan Umum untuk mendiskualifikasi pasangan capres dan cawapres yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum,” ujar Janses di Jakarta, Senin (6/11).

Apalagi terdapat langkah hukum yang tengah dilakukan Tim Advokasi Penjaga Demokrasi dan Konstitusi (TAPDK) dengan mengajukan uji materi ulang atau re-judicial review Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Putusan tersebut sarat dengan kolusi dan nepotisme. Karena menjadi karpet merah bagi Gibran Rakabuming yang notabene putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto," kata dia.

Baca juga: Putusan MK Tentang Usia Capres-Cawapres jadi Basis Nepotisme dan Dinasti, Tanda Kehancuran Demokrasi

Menurut TAPDK, Ketua MK Anwar Usman yang notabene adik ipar Presiden Jokowi juga ikut menentukan putusan atas perkara bernomor Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Oleh karena itu, TAPDK mengajukan uji materi ulang atas Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu ke MK. Menurut pegiat TAPDK Ecoline Situmorang, semestinya Anwar tidak terlibat dalam penanganan perkara itu.

“Agar para hakim Mahkamah Konstitusi tidak melibatkan Prof. Dr. Anwar Usman, S.H., M.H., dalam melakuikan pemeriksaan dan mengadili perkara a quo karena terdapat konflik kepentingan,” ungkapnya.

TAPDK dalam petitumnya juga meminta MK menunda pemberlakuan putusan bernomor 90/PUU-XXI/2023. Selanjutnya, TAPDK meminta KPU tidak menerapkan Psasal 169 huruf (q) UU Pemilu sebagaimana dimaknai menurut putusan nomor 90/PUU-XXI/2023.