Helo Indonesia

Temu Seni Performans: Mengalami Masa Lalu, Menumbuhkan Masa Depan

Nabila Putri - Ragam
Minggu, 6 Agustus 2023 19:02
    Bagikan  
Temu Seni Performans: Mengalami Masa Lalu, Menumbuhkan Masa Depan

Para pengiat seni saat melaksanakan pransnya masing-masing (Foto Rohman/Helo Indonesia Lampung)

LAMPUNG, HELOINDONESIA.COM -Temu Seni Performans, di kawasan Budaya Ulluan Nughik, Kabupaten Tubaba, digelar pada Kamis 29 Agustus 2023 yang lalu. Merupakan rangkaian kegiatan Indonesia Bertutur yang memiliki arahan artistik: “Mengalami Masa Lalu, Menumbuhkan Masa Depan”.

Mengambil Subak sebagai dasar inspirasi penciptaan, puncak kegiatan Indonesia Bertutur akan digelar di Bali pada tahun 2024.

Bagi Direktur Artistik Indonesia Bertutur Melati Suryodarmo, Subak bukan semata bentuk terasering, melainkan spirit Trihita Karana yang memiliki makna relasi hubungan antara manusia dan Sang Pencipta. Manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan manusia.

Melibatkan 19 seniman dari seluruh Indonesia, program ini juga melibatkan Afrizal Malna dan Marintan Sirait sebagai fasilitator. Indonesia Bertutur merupakan program Direktorat Perfilman, Musik dan Media Kemendikbud Ristek Republik Indonesia. Temu Seni dirancang sebagai laboratorium bersama bagi para praktisi seni kontemporer, kegiatan ini bukan rehearsal bagi karya “jadi”.

Para peserta dipilih berdasarkan rekam jejak dan kesungguhan untuk bertemu serta berbagi pengalaman dan metode praktik mereka dalam menguatkan ekosistem seni yang mandiri dan jejaring kesenian di tanah air.

Baca juga: Sambut HUT RI ke-78, Masyarakat Tiyuh Panaragan Menggelar Berbagai Perlombaan

Para seniman terpilih adalah, Kiki Windarti, John Heryanto (Tubaba) Luna Dian Setya, Sekar Tri Kusuma (Solo), Syamsul Arifin (Sampang), Robby Ocktavian (Samarinda), Ayu Permata Sari ( Lampung Utara), Syahrullah (Samarinda), Shuko Sastro Gending (Magelang), Alghifahri Jasin (Makassar), Impoe (Tuban), Hanif Alghifary (Bogor), Tamarra (Yogyakarta), Riyadhus Salihin (Bandung), Susan ( Lampung Barat), Gilang Anom Manapu Manik (Bandung), Anisa Nabilla Khairo (Padang), Soemantri Gelar (Jakarta) dan Enny Asrinawati (Depok).

Seniman terpilih telah melakukan residensi mandiri di Cagar Budaya atau Warisan Budaya Tak Benda di wilayah masing-masing, dengan harapan para seniman bisa menciptakan karya berbasis riset dan juga memiliki materi sebagai bahan bandingan selama Temu Seni di Tubaba.

Rangkaian kegiatan berupa presentasi hasil riset, diskusi kelompok, kunjungan situs ( Pugung Raharjo dan Las Sengoq), sarasehan dan presentasi akhir yang bisa disaksikan oleh publik.

Pada sarasehan yang digelar hari Kamis 3 Agustus, dengan pembicara Umar Ahmad ( pendiri Menuju Tubaba) dan St Sunardi (Univ Sanata Dharma), terungkap beberapa hal penting yaitu, Umar memaparkan bagaimana Tubaba bertumbuh dari hasil pendengarannya berdasarkan mitos-mitos lama: Ulluan Nughik, Las Sengoq dan Penyiloan.

Bagi Umar mitos-mitos tersebut bukanlah sesuatu tanpa makna. Dengan mempertimbangkan konteks pada awal mula Tubaba dibangun, tepatnya saat Tubaba dijuluki sebagai kota “Bukan-bukan”: bukan lintasan dan bukan tujuan. Tapi melalui mitos, dan pertemuannya dengan banyak orang, Umar membuat mitos-mitos tersebut menjadi visi yang produktif.

Kemudian, St Sunardi, mengapresiasi apa yang telah dilakukan Umar. Bagi filsuf yang berasal dari Yogyakarta, Tubaba bukanlah sekedar tempat, melainkan ruang yang memiliki energi, karena di Tubaba kerja kebudayaan bukan semata mengutamakan aspek wadahnya, melainkan aspek dinamik, yakni proses menjadinya.

Baca juga: Dibangun Rp6,5 M, Stadion Mini Kalpataru Bisa Jadi Gedung Hantu

Selanjutnya, Nardi mengilustrasikan suatu karya seni dari maestro Laeonardo Da Vinci, yang mencipta karya bukan semata mimesis satu benda melainkan mengambil spirit burung untuk penciptaan karyanya. Demikian pula apa yang terjadi di Tubaba, kerja kebudayaan di Tubaba adalah mengambil mitos bukan pada formatnya, melainkan pada “keapaan” dari sebuah mitos.

Mitos secara singkat bisa dipahami sebagai cerita tentang sesuatu yang tidak bisa diceritakan secara langsung.
Narasi Umar, memang menjadi alasan bagi Afrizal Malna yang menyatakan bahwa pilihan Tubaba sebagai lokasi Temu Seni Indonesia Bertutur memang diawali dengan memperhatikan sejarah pertumbuhan wilayah Tubaba yang tidak memiliki apa-apa sebagai identitas pengikat.

Sejarah Lampung yang dipenuhi mitos, Tubaba menggali bahasa Lampung sebagai sumber arkeologi identitas. Kata-kata yang berasal dari cerita lisan: Uluan Nughiq, Las Sengoq, maupun Tiyuh, dijadikan pijakan untuk membuat mitos baru sebagai “identitas masa depan” Tubaba.

Temu Seni Performans di Tubaba memerlukan spektrum tema yang bisa jadi pijakan bersama. Bagaimana kita menggunakan mitos sebagai modus penciptaan dan mengapa.

Afrizal melanjutkan, bahwa Joseph Campbell melihat mitos sebagai model pengetahuan yang membentang dalam sejarah peradaban yang memiliki kesamaan, seperti mitos Dewi Kesuburan atau Dewa Kematian. Dan mempertanyakan apakah ada rahasia dalam pikiran kita. Dalam Temu Seni Performans, mitos dilihat sebagai salah satu metode penciptaan, membuat jembatan baru antara data (dari sumber riset residensi), tubuh, ruang, dan imajinasi.

Baca juga: Rektor Unila Pertanyakan Balik Keluhan Mahasiswa Jalur Prestasi Tak Mampu Bayar Daftar Ulang

Melalui fokus tentang Mitos, peserta diharapkan aktif melakukan pengembangan gagasan yang memanfaatkan warisan cagar budaya melalui residensi mandiri dan dalam laboratorium. Sehingga pada akhir sarasehan, St Sunardi menekankan pentingnya tiga hal terkait Tubaba dan Mitos. Pertama, betapa pentingnya melihat kebudayaan sebagai energi, bukan semata aspek wadahnya, kedua, melalui mitos kita bisa membentuk identitas baru, ketiga ingatan yang kita miliki galibnya bukan semata rekoleksi, atau kumpulan atas peristiwa, melainkan sebagai kontraksi atau pemadatan bagi energi kreatif, dari situ kita berharap karya seni bukan semata pengulangan (repetisi). Sembari berharap, apa yang telah terjadi di Tubaba bisa menular pada kota-kota lain.

Pada presentasi karya Performans yang berlangsung pada siang hingga maghrib di hari yang sama ( 3/8), sembilan belas performer menampilkan karya di empat belas lokus di Ulluan Nughik. Selain menampilkan karya secara individu, beberapa seniman menampilkan karya secara bersama. Demikian yang dilakukan oleh Riyadhus Salihin, Anisa Nabilla Khairo, Robby Oktavian, Luna Dian Setyo, Syamsul Arifin, Kiki Windarti dan Gilang Manapu Manik.

Mengambil lokus di area kebun karet dan sungai, setiap performer secara intens melakukan aksinya secara mandiri: Syamsul Arifin mengenakan jas terus menerus melahap makanan tanpa henti di atas meja berwarna merah, Riyadh terus menyadap karet dari bahan jadi, sementara Gilang bersenandung dengan suara besar dengan kostum defamiliar, seorang performer lain berbaring telungkup di sungai.

Dari relasi peristiwa yang dimunculkan oleh setiap performer, karya ini bisa juga dibaca sebagai upaya mencipta satu sistem mitos baru. Seperti terungkap D
di dalam deskripsi karya mereka, Mitos “Sasada Sere” adalah praktik penciptaan mitos baru untuk melindungi penderes karet atau perkebunan karet di Tubaba dari ancaman inflasi dan permainan harga karet, sekaligus cara/rasa syukur terhadap karet, dengan cara menyarikan ragam ritual/upacara dari Jawa, Sunda, Asemik dan Lampung. Dari karya ini kita bisa mengetahui bahwa para seniman yang telah melakukan kerja riset secara mandiri, bisa secara leluasa berkolaborasi, dan secara adaptif merespon hal yang dekat dan kontekstual. (Rohman).