Helo Indonesia

Semua Bisa Diatur dari Adam Malik, Proyek, Sekolah, Hingga Oligarki

Nabila Putri - Lain-lain
Senin, 17 Juli 2023 15:38
    Bagikan  
Prof. Sudjarwo
HELO INDONESIA LAMPUNG

Prof. Sudjarwo -

Oleh Prof. Sudjarwo*

TERINSPIRASI tulisan jurnalis senior Herman Batin Mangku (HBM) berjudul "Persiapan Ratu Kebun Jelang Panen Raya 2024", saya teringat dengan jargon yang sangat terkenal dari wartawan yang kemudian menjadi Menteri Luar Negeri dan Wakil Presiden Kabinet Orde Baru: Adam Malik.

Baca juga: Persiapan Ratu Kebun Jelang Panen Raya 2024

Sebagai diplomat, wartawan bahkan birokrat, dan politisi yang handal, Adam Malik sering mengatakan kepada publik “semua bisa diatur”. Tapi perkataan “semua bisa diatur” itu juga sekaligus sebagai lontaran kritik "semua bisa diatur” dengan uang. 

Jargon yang begitu populer hingga menjadi judul filmnya Warkop DKI, Itu Bisa Diatur yang dirilis tahun 1984. Film yang mengangkat judul kata populer bisa diatur itu menjadi film terlaris nomor 4 di Jakarta. Walau, cerita tentang kejenakan ketiga sekawanan Warkop itu mengelola restoran, bukan negara.

Baca juga: Perjalanan Kembali ke Kejernihan Mata Air dan Kehidupan Anak Bangsa

Pada Era Presiden Suharto, semua dikontrol oleh pemerintah. Bahkan pemilihan umum belum dilaksanakan, pemenangnya sudah ada, yaitu organisasi politik milik pemerintah pada waktu itu.

Adam Malik yang terkenal sangat lihai memainkan narasi sehingga selalu berada pada posisi pemenang. Kepiawaiannya mengatur isu dan strategi lainnya itu terbukti berhasil menjadikan dirinya dari wartawan menjadi negarawan dan politikus ulung.

Baca juga: Ini Lampung Bung, No Viral No Action, Revolusi Maya

Tampaknya, setelah dirinya wafat, slogannya banyak dikopi paste. Bisa diatur menyusup ke semua sendi, politik, proyek, sampai masuk sekolah dan kuliah kedokteran pun ternyata semua bisa diatur. Tak terbayangkan jika kemudian, slogan itu jatuh ke tangan pengusaha yang akhirnya bermetamorfosa menjadi oligarki.

Bagi mereka, apa yang tak bisa diatur, termasuk sosok pemimpin negeri ini. Para oligarki, seperti yang dikritik Adam Malik, kapital atau uang menjadi alat buat mengatur sesuatu agar sesuai keinginannya. Mereka juga masuk ke mesin politik.

Buat menggerakkannya, mereka yakin "cuan". Pada sisi lain, "tidak ada sarapan pagi yang gratis" dengan kata lain pembiayaan harus ada penghasilan, sekalipun itu dalam bentuk non-matrial.

Timbalik balik lainnya, pengusaha itu memerlukan iklim yang berpihak kepada mereka, sehingga usahanya akan menghasilkan laba yang sebesar-besarnya, dengan cara apapun dicapai itu bukan persoalan.

Apakah hal seperti itu tidak boleh dilakukan. Pertanyaan ini tentu tidak mudah untuk dijawab, karena dari sudut pandang mana kita melihat. Jika kita ambil sudut pandang tata aturan formal, tentu garisnya jelas; segala sesuatu jika tidak melanggar perundang-undangan yang berlaku, boleh saja dilakukan.

Baca juga: Besak Untap

Namun dari sudut pandang patsun politik, atau kepatutan yang parameternya adalah norma dengan konsekwensi moral, tentu akan berbeda hasil akhirnya. Sayang parameter yang disebut terakhir tadi jarang sekali dijadikan acuan. Akibatnya kita sering melihat perilaku “tidak bisa menari, lantai licin jadi alasan”.

Pembenaran dari suatu ketidakbenaran tampaknya dianggap biasa. Apalagi situasi sekarang sangat l memungkinkan untuk mengatur dengan cara diluar aturan, maka sempurnalah ketidak beraturan menjadi sesuatu yang teratur jadinya.

Merudapaksa aturan tampaknya sudah menjadi tren, oleh karena itu tidak aneh jika ada pemimpin yang baper-an, dalam mengambil keputusan sangat tergantung pada moodnya hari itu. Tentu saja akibatnya bisa fatal, karena bisa melabrak aturan hanya disebabkan dari ketidaksukaan secara personal.

Tidak aneh jika ada pimpinan satu unit satuan kerja tidak terisi, sekalipun sudah ada personal yang lulus dan lolos uji kelayakan; tetapi karena tidak disukai gara-gara hal yang belum tentu itu adalah kesalahan, maka kepentingan publik dikorbankan.

Baca juga: Pejabat Bicara, Bicaranya Pejabat

Pertanyaan paling ujung adalah, apakah masih diperlukan pemilihan, jika pemilik modal sudah lebih awal menanam saham. Jawabannya masih perlu, karena jika tidak ada pemilihan maka tidak ada kepatutan.

Demi kepatutan yang dipatut-patutkan, maka semua bisa diatur dari sekarang, agar semua tampak bagus dan benar secara perundangan; sekalipun secara moral itu adalah bentuk kepecundangan yang sempurna.

Simanis Jembatan Ancol, makin manis makin kesohor; gelontorkan terus selagi tebu berasa manis, brutawali berasa pahit; karena memang lidah tak bertulang, kata Brory Pesolima pada syair lagu kenangannya.

* Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan