Helo Indonesia

Pejabat Bicara, Bicaranya Pejabat

Nabila Putri - Lain-lain
Sabtu, 1 Juli 2023 10:55
    Bagikan  
Prof. Sudjarwo

Prof. Sudjarwo -

Oleh Prof. Sudjarwo*

LAMAN beberapa media sosial daerah ini beberapa hari lalu dihebohkan oleh pernyataan pejabat daerah yang mengungkapkan daerahnya defisit dengan cara nyleneh kepada dua wartawan. Akibatnya, istilah wong plembang, kedua jurnalis jadi “mati teduduk”, kaget, di luar ekspektasinya.

Tak hanya pejabat tersebut yang komunikasinya buruk menghadapi insan pers. Pejabat daerah ini juga banyak yang narasinya jelek. Akibatnya, masyarakat yang diam-diam akan menilai buruknya komunikasi dan tak eloknya etika sang pejabat.

Peristiwa ini mengingatkan pada suatu kenangan beberapa puluh tahun silam, saat penulis masih muda, otak penuh idealis, dan saat itu menjadi peserta satu latihan kepemimpinan nasional di Cipayung Bogor. Salah seorang pematerinya adalah pejabat Istana Kepresidenan Letnan Jenderal Moerdiono.

Saat memberikan materi, beliau menyampaikannya secara tegas, lugas, informatif bahkan sering diselingi guyonan segar. Almarhum Pak Moer, panggilannya, terlihat sangat berbeda ketika memberikan keterangan pers di sejumlah awak media, kamera televisi.

Baca juga: Bustami Apresiasi Banleg DPR Perpanjang Jabatan Kades 9 Tahun

Dengan keberanian darah anak muda, penulis memberanikan diri bertanya akan perbedaan itu. Tentu saja, semua peserta terkesiap hening, karena pada waktu itu, pertanyaan seperti itu adalah pertanyaan yang terlalu berani; kesannya mengadili pejabat.

Ternyata Pak Moer, dengan senyum lebar menjawab dan itu masih terngiang sampai hari ini. "Pertanyaan bagus sekali, begini saudara-saudara, itu teknik saya," ujarnya sambil memberikan dua alasan kenapa ketika berhadapan dengan wartawan terlihat lambat dan berhati-hati.

Dia memberikan dua alasan:
Pertama, orang tidak akan bertanya macam-macam karena saya kondisikan jadi serius.
Kedua, pendengar sudah kesel duluan, kok gak selesai-selesai, muter muter, maka konferensi pers menjadi singkat, tidak bertele-tele.

"Kalau nanti Kalian jadi pejabat pada waktunya, teknik ini boleh dicoba," katanya sambil tertawa. Kami semua yang hadir tertawa dan teman sebelah penulis dari Medan nyeletuk: ”Itu namanya teknik kutipu Kau!”

Baca juga: Mbak Ita Serahkan Hewan Kurban ke MAJT, Masjid Agung Semarang, dan Baiturrahman

Atas dasar pengalaman di atas, ternyata dalam sistem perekrutan kepemimpinan di Era Otonomi Daerah, baru pada tataran pangkat golongan jabatan kepegawaian, dan kedekatan dengan pemimpin utama. Mereka tidak dibekali pengetahuan bagaimana ber sikap dan perilaku sebagai pemimpin melalui latihan kepemimpinan.

Jikapun ada, rekam jejak itu lebih banyak pada penjenjangan karier; tidak terkait dengan aspek pelayanan publik yang dibekali dengan sejumlah kemampuan dasar dan lanjut. Bisa jadi mereka tidak pernah mendapatkan pembekalan bagaimana menghadapi “manajemen konflik”.

Indikasinya banyak, mereka ketika berhdapan dengan konflik maka jurus yang sering diambil adalah “lari seribu”, atau bersembunyi di balik baju anak buah.

Berbeda dengan jurnalis, yang dibekali dengan sejumlah kemampuan dasar, bahkan sekarang harus melalui uji kopetensi dan dibuktikan dengan sertifikat kelulusan. Bisa dibayangkan jika Jurnalisnya memiliki kemampuan lebih maju beberapa langkah dari pejabatnya.

Akibatnya insiden jurnalistik terjadi dan tidak dapat dihindari; karena kebenaran persepsi yang ada di kepala jurnalis tidak dipahami oleh pejabat karena sumber kebenarannya hanya data; sementara data sangat rawan untuk dimanipulasi.

Baca juga: Viral! Pakai Uang Pribadi, Kades Sembung Batang Bangun Kantor Desa 8 Lantai Lengkap dengan Lift

Pembenaran artifisial yang selama ini ada di kepala pejabat, sebenarnya benar menurut tata kelola birokrasi. Akan tetapi perlu diingat kebenaran artifisial tidak dapat begitu saja diterima oleh publik, karena kebenaran yang ada pada publik dan ini salah satu tugas jurnalis untuk menyampaikan kebenaran persepsional.

Keduanya sama-sama memiliki keunggulan dan kelemahan, dan tentu itu tidak akan dibahas pada laman ini, karena wilayah perkuliahanlah yang membedahnya.

Peristiwa “kecerobohan” pejabat dalam memberikan keterangan pers mestinya tidak harus terjadi, manakala setiap pejabat selesai dilantik, harusnya mengikuti sejumlah rangkaian kegiatan “Persiapan Pelayanan Publik” yang materinya bukan hanya kepemimpinan, akan tetapi juga public speaking, etika berbahasa dan bertindak, mematut diri, dan lain-lain lagi yang berada pada wilayah pelayanan publik.

Itupun tidak lagi diberikan teoritis, akan tetapi lebih kepada praktek langsung, tentu dengan tenaga pengajar yang kualifeid pada bidangnya. Sebab pengalaman menunjukkan sekalipun gelar akademik pejabat yang dilantik atau diangkat panjangnya satu hasta, tetap saja gagal paham manakala yang bersangkutan tidak memahami esensi cara menyampaikan informasi kepada public.

Baca juga: Kelebihan Honor, Kepala BPPD BL Minta Tim Satgas Covid Kembalikan

Jika contoh kasus itu ditulis, maka halaman ini akan penuh dari yang bergelar profesor, doktor, sampai non-gelar sekalipun yang melakukan kesalahsambungan antara yang diminta publik dengan yang diberikan oleh mereka.

Pola mempersiapkan pejabat publik dengan cara seperti di atas akan menghasilkan antara lain pejabat yang tidak lagi takut dengan jurnalis, tidak lagi takut berhadapan dengan demostrasi, tidak lagi takut dengan kritikan pedas dari manapun karena tidak mudah “bapera”an, memiliki bahasa standard yang terukur dan sebagainya.

Kesimpulannya jika ada pejabat yang berucap atau bertutur dengan tidak mempedomani standar operasional prosedur yang baku dan benar, maka tanggung jawab yang memikul bukan hanya yang bersangkutan, tetapi juga yang mengangkat/memilih yang bersangkutan untuk memangku jabatan yang diduduki.

Sebab apa kreteria yang dijadikan sehingga yang bersangkutan menduduki jabatan itu, itu ada pada sipengangkat.

Semoga pengalaman yang baru saja terjadi pada teman jurnalistik dapat dijadikan bahan untuk melakukan evaluasi, bagaimana jika berhadapan dengan pejabat “jadi-jadian” seperti itu, apa yang harus dilakukan dan bagaimana menyikapi.

Demikian juga kepada para pemimpin yang punya hak mengangkat seseorang pada jabatan itu, harus berani tanggung resiko jika bertemu dengan anak buah yang bukan membantu malah merepotkan.

* Pemerhati masalah Sosial dan Pendidikan.