Helo Indonesia

Besak Untap

Nabila Putri - Lain-lain
Selasa, 4 Juli 2023 08:23
    Bagikan  
Prof. Sudjarwo

Prof. Sudjarwo -


Oleh Prof. Sudjarwo*


SORE menjelang malam, suara telepon berdering dari nomor sahabat ketika sekolah di "Kota Empek-Empek". Begitu diangkat, komunikasi khas aksen Palembang pun bertaburan dua arah mengalir ceplas-ceplos hingga ke kondisi negeri yang sedang tidak baik-baik saja.

Dalam kondisi karut-marut, muncul tokoh jadi-jadian dari negeri entah berantah ikut mancang (mencalonkan diri pada jabatan tertentu istilah Bahasa Palembang), jadi pejabat publik. Hingga batas ini, komunikasi masih normatif.

Begitu keluar dari sang sahabat kalimat "banyak wong besak untap", saya terkesiap karena diksi yang dipakai sang sahabat sudah tidak femilier lagi di telinga. Bahkan, kata itu sudah lama tidak dipakai. Besak untap kalau diterjemahkan secara harfiah adalah besar kemauan tetapi tidak punya kemampuan.

Baca juga: Paman Ipar Cabuli Keponakan Berusia 7 Tahun Lima Kali, Korban Diberi Uang Rp 2.000

Walaupun terjemahan ini kurang tepat jika diukur dengan rasa bahasa, diksi besak untap itu lebih kepada sikap ketidaksukaan akan sikap perilaku dari seseorang karena tidak mampu mengukur diri. Dalam Bahasa Indonesia, kata tersebut padanannya mungkin adalah “katak ingin jadi lembu”.

Dulu waktu sekolah rakyat (SR), guru mengatakan kata tersebut termasuk kelompok kata kiasan. Jika kita sandingkan dengan istilah Lampung, barangkali yang mendekati padanannya adalah balak haga (besar kemauan).

Kita tinggalkan peristilahan bahasa, istilah daerah tersebut kita jadikan saja sebagai pisau bedah masalah sosial kekinian. Melihat kondisi kini, banyak orang saling bergegas mengejar mimpi sampai mengabaikan sedang tidur di mana. Bahkan, ada yang tidak bisa membedakan apakah dirinya sedang tidur atau sedang terjaga.

Semua persyaratan formal diurus, bila perlu dengan menipu agar memenuhi persyaratan tersebut, mulai dari surat akte kelahiran sampai surat garis silsilah keturunan jika diperlukan juga akan disiapkan untuk mematut diri agar orang lain yakin memilih dirinya.

Baca juga: Resmi, Legenda Liverpool Steven Gerrard Latih Klub Arab Saudi

Itu belum cukup, amunisi yang berkaitan dengan perut dan kantong para pemilihpun akan disiapkan. Meminjam istilah jurnalis senior Herman Batin Mangku, radio cantingpun disiapkan walau sekedar untuk menghibur diri. Umbul-umbul, baleho, alat peraga, jaket dan entah apa lagi dipersiapkan dari jauh hari.

Tak jarang untuk menyiapkan semua itu, sang pengejar mimpi harus menggadaikan apa saja, termasuk harga diri dengan menerima donatur berkedok simpatisan. Dalam dunia mimpi, bukan hal yang tabu, prinsip tidak ada teman yang abadi kecuali kepentingan jadi dalil pembenaran.

Kebesakuntap menjadi pendorong seseorang untuk berperilaku apa saja, asal tujuan memenangkan diri tercapai. Menjual diri dilakukan dimana-mana, kapan saja, dengan cara apa saja.

Oleh karena itu, tidak heran jika ada teman kita yang selama ini sehari-harinya orangnya kalem, tiba-tiba berubah menjadi agresif, super ramah dan lain sebagainya. Semua itu terjadi karena “ada udang di balik batu” alias ada maunya.

Baca juga: Barcelona Incar Oriol Romeu Untuk Gantikan Sergio Busquets

Salahkah perilaku itu? Sabar, kita tidak punya parameter, kecuali kepatutan saja, yang tentu wilayahnya sangat abu-abu. Bisa jadi menurut kita tidak patut, pihak lain menilai sah-sah saja. Hal ini terjadi karena kebenaran dasarnya bukan atas fakta, akan tetapi persepsi kolektif pada saat peristiwa itu berlangsung.

Dampak besak untap ini yang sering diabaikan oleh banyak pihak. Padahal jika mental yang bersangkutan tidak kuat menahan hempasan atau goncangan, saat ekspektasi tidak sesuai harapan. Pengalaman beberapa tahun silam sampai ada kejadian calon kepala daerah yang kalah mancang langsung goncang mentalnya.

Berapa banyak calon anggota legislatif yang kalah dalam peperangan merebut suara lalu menarik kembali uang yang diberikan, ambal masjid yang sudah terbentang, keramik yang sudah terpasang, sembako yang sudah masuk ke perut, dan lainnya.

Belajar dari pengalaman masa lalu, kita sebaiknya berhitung diri dan berharap. Bercita-cita boleh, karena tidak ada satupun larangan, bahkan itu hak asasi, namun cita-cita itu seharusnya juga disertai kepasrahan diri kepada garis kodrat. Dengan kata lain upaya adalah sesuatu keharusan dalam mewujudkan impian, namun keputusan akan suatu kepastian itu wilayah transidental yang hanya dimiliki oleh Yang Maha Kuasa.

  • * Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan