Helo Indonesia

Tradisi Padusan dan Kirab Kendi dari 21 Mata Air di Cokro Klaten, Ini Filosofinya

Ajie - Ragam
Selasa, 12 Maret 2024 06:56
    Bagikan  
Tradisi Padusan dan Kirab Kendi dari 21 Mata Air di Cokro Klaten, Ini Filosofinya

Tradisi sebar udik-udik saat Padusan dan kegiatan kirab 21 kendi oleh para gadis. Foto: IG humasklaten

KLATEN, HELOINDONESIA.COM - Kesemarakan mewarnai tradisi Padusan yang digelar di wisata Objek Mata Air Cokro, Desa Daleman, Kecamatan Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah, pada Minggu 10 Maret 2024 lalu.

Rangkaian tradisi itu dibuka dengan kirab 21 kendi yang dibawa gadis-gadis kecil. Air kendi tersebut berasal 21 umbul atau mata air di Klaten untuk prosesi siraman.

kendi

Air yang dibawa menggunakan kendi itu berasal dari 21 sumber mata air di Klaten, yaitu Umbul Pluneng, Brintik, Brondong, Geneng, Pengilon, Susuhan, Gedaren, Jolotundo, Nilo, Pelem, Kapilaler, Ponggok, Ingas, Sigedang, Lumban Tirto, Besuki, Manten, Sinongko, Sri Sidomulyo, Gotan, serta Balong.

Baca juga: Dugderan Diwarnai Hujan, Mbak Ita Bagikan Kue Ganjel Rel Usai Bacakan Suhuf Halaqah

Dipimpin Bupati Klaten, Sri Mulyani, kendi dibawa kirab dari pintu masuk objek wisata ke bawah mata air Cokro. Begitu tiba di lokasi, dari air kendi itu dijadikan satu wadah untuk digunakan saat siraman duta wisata Mas dan Mbak Klaten tahun 2023. Proses berikutnya, setelah siraman dilaksanakan pemukulan bedug oleh Forkompimpda Klaten.

Usai pemotongan tumpeng oleh bupati, acara yang dinanti-nantikan pun tiba. Yaitu menebar udik-udik berupa gunungan kue apem dan hasil bumi. Ratusan warga tua muda dengan riang gembira berebut kue apem yang ada uang kertas di dalamnya.

Dalam kata sambutan, Sri Mulyani menyatakan tradisi Padusan tersebut merupakan kegiatan jelang memasuki bulan Ramadan. Dimaknai sebagai upaya membersihkan jiwa dan raga ketika menyambut Ramadan 1445 H. Selain itu, mengandung makna khusus yaitu menggabungkan spritualitas, budaya dan kearifan lokal.

Baca juga: Wisata Sendang Sani Pati, Kisah Tongkat Sunan Bonang hingga Resto Soimah

"Air di dalam kendi itu berasal dari 21 mata air alami dari seluruh wilayah Kabupaten Klaten. Ini merupakan keberkahan, dan semoga tradisi itu juga untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, serta memperbaiki hubungan baik antar masyarakat,'' bebernya.

Makna 21 Kendi

Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga dan Pariwisata (Disbudporapar) Klaten Sri Nugroho menjelaskan, Pemkab Klaten menggelar tradisi Jawa yakni padusan untuk menyambut Ramadan.

Menurutnya, meskipun sumber mata air di Klaten ribuan, tapi dipilih dari 21 sumber mata air di Klaten. Filosofi pengambilan sumber mata air dari 21 lokasi diambil dari malam Lailatul Qadar.

Biasanya terjadi pada akhir bulan yang jatuh pada sepuluh malam terakhir Ramadan di hari ganjil. Salah satunya pada malam ke-21.

Seperti dikutip dari tirto.id, 9 Maret 2024, tradisi padusan jelang Ramadan merupakan warisan leluhur yang hingga kini masih dijalankan oleh masyarakat Jawa. Padusan telah dilakukan oleh masyarakat sebelum agama Islam masuk ke Jawa.

Baca juga: Bajong Banyu, Tradisi Perang Air Antarwarga di Magelang untuk Sambut Ramadan

Pada zaman Kerajaan Majapahit, para kesatria, pujangga, brahmana, dan empu, kerap melakukan padusan untuk menyucikan diri. Tradisi tersebut lantas bertahan hingga kini, berkat peran Wali Songo yang berdakwah dengan pendekatan budaya.

Menukil penelitian Retno Widyastutik dalam publikasi UNS, padusan berasal dari kata adus yang berarti mandi. Tradisi padusan dilakukan sehari jelang bulan Ramadan, tepatnya mulai siang hingga sore hari.

Ketika menjalankan tradisi padusan, masyarakat Jawa umumnya akan mandi atau berendam di sumber mata air. Tujuan padusan adalah untuk membersihkan diri, baik lahir maupun batin, sebelum bulan suci Ramadan tiba. (Aji)