Helo Indonesia

Ibadah Qurban, Antara Udhiyah dan Tadhiyah

Herman Batin Mangku - Opini
Sabtu, 15 Juni 2024 22:37
    Bagikan  
Gufron Aziz Fuadi
Gufron Aziz Fuadi

Gufron Aziz Fuadi - Gufron Aziz Fuadi

Oleh Ustadz Gufron Azis Fuandi

IBADAH qurban adalah ibadah tua yang disyariatkan kepada manusia.
Sebuah ibadah yang sangat tua, dari sejak zaman Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, sampai dengan Nabi Muhammad SAW dan umatnya.

Sebagaimana firman Allah dalam Al Maidah, 27:

۞ وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ ابْنَيْ اٰدَمَ بِالْحَقِّۘ اِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ اَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْاٰخَرِۗ قَالَ لَاَقْتُلَنَّكَ ۗ قَالَ اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ

"Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, "Sungguh, aku pasti membunuhmu!" Dia (Habil) berkata, 'Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa'." (Al Maidah: 27)

Ibadah qurban disyariatkan kepada Nabi Muhammad SAW pada tahun kedua hijrah Nabi bersamaan dengan syariat Salat Idain dan zakat mal.

Sebelumnya, masyarakat Arab (Madinah) memiliki beberapa hari raya sejak Masa Jahiliah, Nouwruz dan Mehregan, yang diadopsi dari Persia kuno. Hari raya untuk berfoya-foya, pamer kekayaan dan kekuatan serta mabuk mabukan.

Dari Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda, "Kaum jahiliyah dalam setiap tahunnya memiliki dua hari yang digunakan untuk bermain, ketika Nabi Muhammad SAW datang ke Madinah,
Rasulullah bersabda: 'Kalian memiliki dua hari yang biasa digunakan bermain, sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan hari yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.'" (HR Abu Dawud dan An Nasa'i)

Qurban adalah persembahan kepada Allah, haruslah yang terbaik , sehat, dan sempurna. Semakin baik dan sempurna hewan qurban seseorang, maka semakin baik dan sempurna pulalah nilai ibadah dan pahalanya di sisi Allah.

Sebaliknya, tidak boleh atau tidak sah seseorang berqurban dengan hewan yang cacat dengan kecacatan yang nyata, seperti juling yang nyata, sakit yang nyata, pincang yang nyata, kurus yang nyata (lihat HR. Ahmad, Ash-habus Sunan dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh At-Tirmidzi), dan cacat-cacat sejenis lainnya.

Berqurban ('udhiyah) adalah bagian dari berkorban (tadhiyah).

Ada kaitan yang sangat erat antara udhiyah (berqurban, menyembelih hewan qurban) dan tadhiyah (berkorban secara umum), baik secara bahasa maupun secara makna.

Secara bahasa, udhiyah dan tadhiyah berasal dari kata dhahha yudhahhi yang berarti berqurban dan berkorban sekaligus.

Adapun secara makna, ber-udhiyah adalah bagian dari tadhiyah, karena memang esensi dari ibadah qurban (ber-udhiyah) adalah pengorbanan itu sendiri.

Ali Abdul Halim Mahmud, dalam  buku Syarah Arkanul Baiah, At-Tadhiyah, menuliskan: "Kata tadhiyyah menurut bahasa adalah bentuk masdar dari fiil Dhahha.

Dhahha bisy-syati aw nahwaha mimma yahillu akhlahu, maksudnya: menyembelih binatang korban diwaktu dhuha hari Idul Adha.

Dhahha al hajju: orang yang haji menyembelih binatang sembelihan nya, kapanpun waktunya disepanjang hari tasyrik. Makna inilah yang dekat dengan makna berkorban dengan diri, harta, kesungguhan dan waktu dijalan Allah.

Seseorang mengorbankan waktunya, kesungguhannya, hartanya dan dirinya di jalan Allah, lalu mendermakannya untuk mengharapkan keridhaan Allah Ta'ala. Makna inilah yang paling  layak untuk memahami kata asalnya...

Dalam Alquran, lafazh tadhiyyah tidak termaktub dengan pola kalimat ini, tetapi termaktub maknanya dalam sejumlah ayat. Maknanya adalah berderma dan memberi, sama saja apakah berderma dan memberi itu dilakukan dengan diri, harta, anak atau sejenisnya."

KH. Hasan al Banna mengatakan: "Yang saya maksud dengan tadhiyyah adalah mengirbankan diri, harta, waktu, hidup dan segala sesuatu semaksimal mungkin."

Tiada satu jihad pun di dunia ini yang tidak disertai dengan tadhiyyah, tiada yang tersia siakan satu tadhiyyah pun menurut kami pemikiran kami. Tadhiyyah selalu menghasilkan pahala yang berlimpah dan ganjaran yang indah.

Oleh karena itu, tadhiyyah adalah tolok ukur yang teliti terhadap kejujuran konsentrasi kepada Allah, keikhlasan amalan karena dakwah kepada Allah dan kepada din-Nya yang Dia rudahai, serta karena segala sesuatu yang menjadikan Allah ridha.

Tadhiyyah juga adalah pinjaman yang kita berikan kepada Allah. Seorang mukmin memberikan pinjaman kepada Allah di dunia untuk mendapatkan sebaik baik pengembalian di akhirat nanti.

Seseorang memberikan hartanya, waktunya, usahanya dan dirinya kepada Allah karena Allah memerintahkan perbuatan itu. Seolah olah dia telah meminjami Allah di dalam pengorbanan yang dia lakukan.

Hal ini seperti kisah Abu Dahdah ra yang bertanya kepada nabi Saw saat turunan ayat 245 surat Al Baqarah,

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik,maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kalian dikembalikan”

Abu Ya'la meriwayatkan dengan sanad dari Abdullah bin Mas'ud, ketika ayat ini turun seorang sahabat bernama Abu Dahdah ra bersegera datang menghadap Rasulullah saw.

Kepada beliau Abu Dahdah mengatakan, “Tebusanmu bapak dan ibuku wahai Rasul. Benarkah Allah meminta pinjaman kepada kami padahal Dia tak membutuhkannya?”

Rasulullah menjawab, “Benar. Dengan pinjaman itu Allah berkehendak memasukkan kalian ke dalam surga-Nya.”

Kembali Abu Dahdah bertanya, “Bila aku meminjami-Nya akankah itu menjaminku dan anak perempuanku, Dahdah, masuk surga bersamaku?”

“Ya,” jawab Rasul tegas.

“Bila demikian,” kata Abu Dahdah, “ulurkan tangamu kepadaku.”

Maka Rasulullah mengulurkan tangan mulianya bersalaman dengan tangan Abu Dahdah. Dalam posisi demikian sahabat dari golongan Anshor itu menyampaikan pernyataan, “Aku memiliki dua kebun kurma.

Yang satu ada di bawah dan satunya lagi ada di atas. Demi Allah, kini aku tak lagi memiliki keduanya, aku jadikan keduanya sebagai pinjaman untuk Allah.”

Atas pernyataan Abu Dahdah ini Rasulullah bersabda, “Jadikan yang satu untuk Allah dan biarkan satunya lagi menjadi penghidupan bagimu dan keluargamu.”

Abu Dahdah menimpali, “Kalau begitu aku persaksikan kepadamu wahai Rasul, aku jadikan kebun kurma yang terbaik untuk Allah. Di dalamnya ada enam ratus pohon kurma.”

Mendengar ikrar sahabatnya ini Rasulullah berkomentar seraya berdoa, “Bila demikian, semoga Allah membalasmu dengan surga.”

Abu Dahdah pun undur diri. Ia segera menemui istrinya yang sedang bersama anak-anaknya di kebun kurma yang telah disedekahkan itu. Kepada sang istri ia ceritakan semuanya.

“Istriku, keluarlah engkau dari kebun ini. Kebun ini telah aku pinjamkan kepada Allah,” kata Abu Dahdah kemudian.

Mendengar apa yang dikatakan Abu Dahdah sang istri menimpalinya, “Semoga beruntung jual belimu. Semoga Allah melimpahkan kebaikan bagimu pada apa yang telah engkau beli.”

Kemudian istri Abu Dahdah mendatangi anak-anaknya. Ia keluarkan apa-apa yang ada di dalam mulut mereka dan ia kibaskan apa-apa yang ada pada lengan baju mereka hingga ia sampai di kebun yang lainnya.

Melihat itu semua Baginda Rasulullah bersabda, “Begitu banyak pohon kurma besar yang menjulurkan akarnya ke Abu Dahdah di surga.”

Itulah tadhiyyah!

Wallahua'lam bi shawab
(Gaf)

 -