Helo Indonesia

Harga Diri Bangsa

Anang Fadhilah - Opini
Jumat, 7 Juni 2024 06:22
    Bagikan  
dokter RSUD Ulin
Kota Banjarmasin

dokter RSUD Ulin - oleh: Dr dr Pribakti B, Sp.OG (K)

oleh: Dr dr Pribakti B, Sp.OG (K) *)

 

Sebagaimana istilah merdeka, harga diri sulit didefinisikan. Kita akan tahu apa makna kemerdekaan dan harga diri saat kita kehilangan kebebasan dan merasa terhinakan serta dikasihani orang lain. Dengan dalih untuk mempertahankan harga diri, tidak jarang seseorang atau sebuah bangsa rela mengorbankan harta dan nyawa asal harga dirinya terjaga. Semangat ini begitu membahana pada masa pra kemerdekaan. Saat ini pun bermunculan orang yang rela mengorbankan harga diri demi memenuhi ambisi egonya, entah sebuah jabatan politik, harta kekayaan , ataupun popularitas.

 

Secara sederhana bisa dikatakan, harga diri sebuah bangsa akan tumbuh jika para pemimpinnya memiliki integritas yang kukuh, kompetensi yang meyakinkan dalam mengemban tugas, kerja produktif dan bangsa itu ada dalam posisi memberi, bukannya meminta. Sangat menyedihkan, ketiga aspek itu makin menjauh dari kualitas bangsa ini , meski sumber daya alamnya melimpah ruah.

 

Sungguh aneh tetapi nyata, bangsa dengan sumber daya alam yang melimpah ruah ini memikul utang luar negeri dengan jumlah yang tidak kepalang tanggung ribuan triliun. Sementara hutan semakin gundul, pertambangan ilegal semakin marak, berbagai perusahaan strategis pindah ketangan asing, kas negara kurus, pengangguran meningkat, korupsi merajalela, tetapi para koruptornya tidak tertangkap. Jika demikian halnya, apa yang bisa kita wariskan pada generasi mendatang, selain sisa-sisa kemurahan alam yang telah diacak-acak ini?

 

Sesungguhnya perjalanan sejarah sebuah bangsa tak luput dari hukum sebab-akibat yang bisa dipahami secara rasional. Hanya saja kita yang sering buta dan menyepelekan tanda-tanda zaman. Ibarat pohon, berapa banyak sebuah bangsa lahir, bangkit , berjaya , lalu membusuk dan ambruk. Contoh yang amat gamblang adalah runtuhnya Uni Soviet dan pecahnya Yugoslavia. Di Indonesia , lepasnya Timor Timur memberi pengingatan dan kejutan yang harus kita renungkan dalam-dalam. Waktu itu, betapa para penguasa dan politisi kita yakin Timor Timur akan tetap bergabung dengan Indonesia. Nyatanya hasil  referendum mereka lebih suka berpisah dengan Indonesia.

 

Tulisan ini tidak mau melihat dari segi politik. Tetapi itu menyangkut moralitas bangsa, termasuk didalamnya rakyat dan para pemimpin yang komitmen moralnya semakin lemah. Dan ujungnya kita melihat merosotnya moralitas bangsa, emosi masyarakat menjadi galau. Mereka juga bingung untuk mengadu pada siapa, lembaga apa, dan dengan mekanisme bagaimana agar problem bangsa ini segera terselesaikan. Diakui atau tidak kegelisahan itu kini muncul dimana-mana. Yang disesalkan, para elite politik yang mestinya sibuk dan bekerja keras untuk menyelesaikan masalah justru malah saling menjegal, berebut kekuasaan sehingga memperparah keadaan.

 

Bahkan muncul komentar, elite politik dan penguasa telah menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Keadaan diperparah ketika “juru selamat” didatangkan dari negeri antah barantah yang justru datang ke Indonesia untuk memancing di air keruh sambil memasang ranjau agar bangsa ini berantakan dan terpecah belah. Padahal elite politik dan penguasa tahu bahwa dalam sejarahnya negara ini terlahir dengan tebusan ribuan nyawa dan kucuran air mata serta didorong cita-cita luhur kebangsaan dan kemanusiaan yang nilainya tidak bisa diukur dengan uang dan jabatan.

 

Akhir-akhir ini saya sering membuka biografi intelektual dan perjuangan politik para pendiri Republik. Mereka begitu brilian otaknya. Mereka lahap sekian banyak buku yang berkelas dunia. Mereka beradu argumen dengan cerdas didepan forum PBB, tetapi mereka juga mempertaruhkan nyawa di hadapan kekuatan penjajah. Penjara adalah universitas mereka. Bertemu dan berdialog dengan rakyat kecil merupakan amunisi untuk menambah stamina .

 

Kini, ketika potret para tokoh masa lalu itu saya sandingkan secara imajiner dengan deretan para elite politik dan penguasa yang selalu meramaikan wacana politik hari-hari ini, saya tiba-tiba merasa malu, kecewa dan menjadi melankoli. Terasa sekali kurangnya ekspresi, artikulasi dan keteladanan dalam integritas. Mereka  bisanya cuma ribut bertengkar, bukannya dalam menghadapi kekuatan asing yang hendak menerkam kita, tetapi bertengkar dan adu muslihat bagaimana bisa memeluk kekuasaan. Padahal telah begitu jelas tanda-tanda zaman mengisyaratkan nasehat dan peringatan pada kita. Belum cukupkah? Atau menunggu sampai bangsa ini benar-benar terpuruk tak berdaya? Semoga selamat negeri ini.

 

*) Staf KSM Obstetri dan Ginekologi RSUD Ulin Banjarmasin