Helo Indonesia

Kacamata Kuda Incumbent

Nabila Putri - Lain-lain
Selasa, 16 Mei 2023 12:38
    Bagikan  
Prof. Sudjarwo
Prof. Sudjarwo

Prof. Sudjarwo - (Foto Ist.)

Oleh Prof. Sudjarwo*

KACAMATA kuda dibuat untuk mencegah kuda melihat ke samping dan belakang yang terdiri atas Bit, dan Bridle yang diberi tambahan penutup mata. Di Jawa, kacamata kuda dikenal dengan sebutan "tropong" (Wikipedia) atau bahasa asingnya horse blinders atau blinkers.

Kuda harus memakainya agar perhatiannya tidak teralihkan atau panik saat melihat yang ada di sekitarnya. Dilansir dari Horsy Planet, kuda memiliki sifat cenderung mudah takut, terutama di lingkungan baru.

Kuda memiliki mata yang mampu melihat dengan jangkauan luas sehingga selalu dalam kondisi waspada. Dengan memakai kacamata kuda atau penutup mata, pandangan kuda berkurang sekitar 30 sampai 180 derajat, tergantung ukurannya.

Saat menarik beban atau berada di area balapan, penutup mata ini mencegah kuda melihat apa pun selain trek yang mereka lewati, sehingga kuda tetap tenang dan fokus selama melakukan tugas mereka.

Selain itu, kacamata kuda ini juga penting supaya kuda tidak berjalan mundur saat ada pengekang yang terpasang padanya, yang bisa membahayakan kuda dan juga orang yang berjalan di sekitarnya.

Namun makna harfiah itu sekarang sudah berubah menjadi makna abstrak, (seiring hilangnya delman yang ditarik kuda di jalan-jalan) yang lebih berorientasi kepada sempitnya pandangan atau melihat sesuatu dengan hitam-putih, tidak memahami esensinya.

Tidak selamanya cara pandang tersebut jelek; karena bisa jadi kacamata kuda untuk seorang karyawan itu baik jika dimaknai sebagai fokus dalam bekerja. Namun ada dimensi lain yang juga secara ontologies benar yaitu hanya menentukan satu pilihan dengan mengabaikan pilihan lainnya.

Di sini, peran kacamata kuda sangat diperlukan agar tidak usah membandingkan dengan yang lain, jika perbandingan itu akan mengubah sudut pandang, dan membahayakan pilihan.

Diskusi yang terahir di atas justru menjadi menarik karena itu yang sedang berkembang saat ini. Semua peserta pemilihan, apapun pemilihannya, pemaksaan kepada pemilik untuk menggunakan kacamata kuda dilakukan; itupun yang diperlihatkan hanya satu pilihan yaitu yang memakaikan kacamata kuda tadi.

Sebagai contoh suatu hari seorang sahabat menghubungi untuk dijadikan tim sukses seorang calon pemimpin negeri ini, alasan beliau karena yang diusung seorang “tamatan sekolahan tinggi”, maka sudah semestinya yang bergelar tertinggi secara akademik akan mau mendukungnya atau memilihnya.

Pemikiran ini jika menggunakan kerangka premis dalam filsafat, maka benar kerangka fikirnya. Namun beliau lupa bahwa semakin tinggi pemikiran seseorang yang disertai dengan kearifan; maka memilih untuk tidak memilihpun adalah pilihan.

Kacamata kuda disebarkan kemana-mana, mereka yang sudah atau sedang menjabat punya kesempatan banyak untuk menyebarkan kacamata kuda; karena mereka memiliki mesin birokrasi yang dapat dikerahkan kapan saja.

Sampai-sampai melakukan pembohongan publik pun dilakoni, dengan cara mengatakan dirinya sebenarnya orang baik, kalau tidak percaya coba lihat saya dengan kacamata ini.

Seorang journalist senior sampai mengelus dada sambil berguman “kapan dia bakal tobat nasuha kalau begini modelnya”.

Namun bisa jadi sebenarnya incumbent semula tidak tertarik untuk maju kembali, namun karena semua pembisik menyodorkan kacamata yang sama, yaitu kacamata kuda; apa boleh buat diambillah pilihan itu dengan alasan klise “masih dibutuhkan rakyat”.

Padahal rakyat dimaksud adalah yang dilihat mengunakan kacamata kuda; dan rakyat itu ya pembisiknya yang takut kehilangan kursi dan penghasilannya. Ternyata para pembisiknya tidak lebih adalah “pejuang nasi bungkus” yang berbalut dasi dan rompi.

Pesta demokrasi sebentar lagi akan dimulai, mesin mulai dihidupkan dengan pendaftaran bakal calon dari unsur partai, hasil pantauan seorang jurnalis senior mereka sudah menjelma bagai sinterklas juru selamat yang akan mengubah dunia.

Janji ditebar harapan ditabur, strategi dipasang, logistik disiapkan. Demikian juga dengan para pemburu nasi bungkus sudah pasang mata dan telinga, mana mangsa yang bisa digoreng jadikan dendeng.

Tinggal kita yang waras diharap bijak dalam bersikap, karena membedakan antara yang mabok dengan yang keracunan itu beda tipis. Salam waras buat bangsaku, suksesi tanpa kacamata kuda.

* Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila