Helo Indonesia

Gelar Doktor HC Unila Itu Pemberian atau Penghargaan?

Nabila Putri - Lain-lain
Rabu, 1 November 2023 12:20
    Bagikan  
Prof. Sudjarwo

Prof. Sudjarwo -

Oleh Prof. Sudjarwo*


GHRAITO Arip H, anak muda, mahasiswa Unila Jurusan Ilmu Hukum Angkatan 2020 menulis “Obral Gelar Honoris Causa”. Bukan hanya soal substansi tulisan kritisnya, saya merasa senang karena ada anak muda yang sudah gemar menuangkan idenya lewat tulisan.

Keprihatinan saya selama ini terobati karena budaya literasi sudah pada taraf menghawatirkan, terutama dari kalangan kampus. Para ilmuwan sibuk hanya menulis jurnal guna kepentingan selingkungnya saja, tidak untuk khalayak ramai.

Tulisan mereka seperti bernyanyi sendiri di ruang sunyi. Dari begitu banyaknya yang bergelar doktor bahkan profesor, hanya segelintir yang peduli menyebarluaskan gagasan atau idenya kepada khalayak atau para pemangku kekuasaan.

Kembali kepada pokok persoalan tentang gelar doktor honoris causa, stresingnya tentang apakah hal itu pemberian atau penghargaan. Secara filosofis, perbedaan esensial antara pemberian dengan penghargaan, kita rujuk KBBI.

Baca juga: Biadab Banget! Gadis Madiun Diperkosa 3 Anggota Keluarga: Kakek Siang, Ayah Malam, Paman Subuh

Pemberian adalah (1) sesuatu yang diberikan, contoh anak itu menolak pemberian orang asing itu; (2) sesuatu yang didapat dari orang lain (karena diberi), contoh barang ini bukannya kami beli, melainkan pemberian paman; (3) proses, cara, perbuatan memberi atau memberikan, contoh pemberian ampun.

Penghargaan ialah sesuatu yang diberikan kepada perorangan atau kelompok jika mereka melakukan suatu keulungan di bidang tertentu yang biasanya dalam bentuk medali, kado, piala, gelar, sertifikat, plaket atau pita.

Suatu penghargaan kadang-kadang disertai dengan pemberian hadiah berupa uang seperti Hadiah Nobel untuk kontribusi terhadap masyarakat, dan Hadiah Pulitzer untuk penghargaan bidang literatur.

Penghargaan bisa juga diberikan oleh masyarakat karena pencapaian seseorang tanpa hadiah apa-apa.

Tampak sekali, posisi pemberian dan penghargaan sering berkelindan dan atau ada pada wilayah abu-abu. Namun bisa jadi, penghargaan lebih diberikan kepada orang atau lembaga yang memiliki jasa-jasa melampaui kenormalan.

Baca juga: Habib Lufti Hadir pada Pemberian Gelar Dr HC pada Herman HN

Sementara, pemberian lebih kepada kesetaraan. Walaupun ini masih debatable tentunya, karena baik penghargaan maupun pemberian sama-sama memberikan apresiasi kepada pihak lain akan jasa-jasanya.

Persoalan sekarang ada pada wiayah “jasa-jasanya", apakah yang diperbuat itu layak disebut “jasa” jika yang diunjuk-unggulkan melalui fasilitas negara, yang sudah seharusnya itu dilakukan karena jabatan.

Posisi ini menjadikan perdebatan yang ujungnya adalah kesepakatan untuk tidak sepakat.

Namun jika menggunakan faham materialisme, maka kita akan berhadapan pada makna, penghargaan lebih kepada sesuatu yang non-material, sedangkan pemberian lebih kepada sesuatu yang material.

Penghargaan lebih berorientasi pada kualitatif substantif sementara pemberian lebih berorientasi kepada kuantitatif pragmatik.

Atas dasar pengertian tersebut, dengan kemampuan bersifat logika, kita sering menggandengkan keduanya agar tampak serasi walau tak sepadan, yaitu menjadi pemberian penghargaan. Seolah menjadi kelumrahan, sebab dari pemakaian bahasa tidak ada yang dilanggar.

Baca juga: Pemilu 2024, Siap-Siap Masuk Parlemen atau RSJ

Lalu, bagaimana dengan kaca mata etika, ternyata keduanya memiliki perbedaan esensial. Penghargaan lebih berorientasi pada nilai-nilai moral yang tinggi atau luhur, sementara pemberian lebih kepada materi dan kesetaraan.

Jika ukuran ini yang dipakai, maka “penghargaan” lebih tepat kita berikan kepada para pendahulu yang telah “babat alas” untuk kemaslahatan penerus generasinya.

Sedangkan pemberian, kita boleh berikan kepada mereka yang telah sedikit memberi kepada kita, walau dengan cara apapun dan dari manapun; itu tidak menjadi bidang kajiannya.

Jika kita menggunakan kerangka pikir di atas, maka penghargaan sudah selayaknya diberikan kepada Almarhum Bapak Zainal Pagaralam sebagai gubernur yang menggagas berdirinya Unila dan Kepada Prof.Sitanala Arsyad serta Prof.Margono Slamet sebagai pembangun Unila.

Adapun caranya tbalkan nama-nama beliau kepada nama gedung yang ada di Unila, seperti Gedung Rektorat Zainal Pagaralam, Laboratorium Ilmu Tanah Sitanala Arsyad, Gedung Serba Guna Margono Slamet.

Adalah sesuatu kewajaran manakala penabalan nama mengundang keluarga yang masih ada untuk menyaksikan upacara pemberian nama; dan ini pernah dilakukan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unila saat memberi nama Gedung Dekanatnya dengan nama Gedung A.Kantan Abdullah.

Sedangkan “pemberian” gelar apapun namanya kepada mereka yang pernah “memberi” boleh-boleh saja, karena hukum memberi dan menerima adalah kewajaran tatapergaulan semata, bahkan pesan karangan bunga sampai satu kilometerpun panjangnya tidak menjadi persoalan karena sekedar pemberian, tidak perlu penghargaan. Salam Sehat.

* Guru Besar Universitas Malahayati Lampung