Helo Indonesia

Butuh Perhatian, Tingkat ASI Eksklusif Meningkat Tapi Stunting Masih Tinggi di Sejumlah Wilayah

Selasa, 23 Januari 2024 14:45
    Bagikan  
Butuh Perhatian, Tingkat ASI Eksklusif Meningkat Tapi Stunting Masih Tinggi di Sejumlah Wilayah

Ilustrasi ibu menyusui. Foto: dok

JAKARTA, HELOINDONESIA.COM - Tren pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan persentase pemberian ASI eksklusif nasional terus naik setidaknya dalam kurun waktu empat tahun terakhir.

Dikutip dari laman BPS, persentase pemberian ASI eksklusif di dalam negeri mencapai 72,04% dari populasi bayi berusia 0-6 bulan pada 2022. Angka itu meningkat 0,65% dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) yang sebesar 71,58%.

Menariknya, provinsi dengan persentase pemberian ASI eksklusif tertinggi adalah Nusa Tenggara Barat (NTB), dan sekaligus juga menjadi provinsi yang berada pada urutan ke 4 stunting tertinggi di Indonesia, yaitu 32,7%. Padahal, pemberian ASI eksklusif diyakini syarat mutlak untuk pencegahan stunting.

Baca juga: Rahasia Kelezatan Es Cendol Ada Tehniknya, Simak!

Ketua DPN Bidang Kesehatan Perempuan dan Anak Repdem Rusmarni Rusli mengatakan, anomali ASI eksklusif dan stunting di NTB harus menjadi perhatian Pemerintah.

“Selama ini pemerintah selalu berlindung dibalik ASI ekslusif sebagai cara mengatasi stunting. Seolah-olah para ibu yang tidak mampu memberikan ASI untuk anak. Padahal ada persoalan lain di sini yaitu kecukupan gizi. ASI saja tidak cukup bila asupan gizi tidak seimbang,” jelas Rusmarni, dalam keterangan tertulisnya, Selasa 23 Januari 2024.

Hak Perempuan

Di sisi lain, aktifis yang akrab di sapa Marni ini juga mengatakan, bicara tentang ASI juga tidak terlepas dari hak-hak perempuan, terutama perempuan pekerja yang hingga saat ini masih diabaikan oleh negara.

Menurut dia, agar anak tidak stunting, ibu wajib memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan. Sementara, hak cuti melahirkan pegawai yang ditanggung negara hanya 3 bulan. Artinya, selama 3-4 bulan selanjutnya, para ibu bekerja ini harus berjuang sendiri demi memberikan ASI, bisa tuntas bisa juga gagal bila tidak memiliki support system yang baik.

Baca juga: Ketua DPD RI: Mubaligh Wajib Sampaikan ke Umat, Cinta Tanah Air Bagian dari Iman

''Yang lebih memprihatinkan adalah perempuan dan ibu yang bekerja sebagai buruh pabrik, lebih minim lagi perlindungannya. Ada sekitar 20 persen  atau 10 juta perempuan bekerja sebagai tenaga produksi (pabrik), artinya, anak-anak dari 10 juta ibu ini berisiko tidak mendapatkan ASI secara eksklusif,” pungkas Marni.

Oleh karena, Marni berharap pemerintah dan juga para stakeholder dapat mengatasi persoalan ASI dan stunting dari akarnya seperti ekonomi, edukasi masyarakat serta lingkungan dan support system yang baik untuk ibu.


“Tidak hanya perempuan yang bekerja, bahkan ibu rumah tanggapun berisiko gagal memberikan ASI ekslusif, karena banyak faktor. Karena itu yang dibutuhkan adalah regulasi yang melindungi perempuan terutama ibu bekerja,” imbuhnya.

Nurul Yani misalnya. Penjual perabot rumah tangga ini mengaku mengalami kesulitan memberikan ASI eksklusif untuk putrinya karena ASI nya terus menerus berkurang. Ia bahkan sudah berupaya memenuhi asupan gizi dengan tambahan booster ASI. Namun, tuntutan dan lingkungan kerja tidak leluasa bagi Yani untuk melalukan pumping ASI. Ia pun akhirnya terpaksa menambahkan susu formula agar kebutuhan gizi putrinya terpenuhi.

Baca juga: Tercatat Sebanyak 100.181 Jemaah Sudah Periksa Kesehatan dan Penuhi Istithaah, 22.927 Lunasi Biaya Haji


Tak jauh berbeda, Nurlaila seorang karyawan perusahaan teknologi di Jakarta mengaku akhirnya memberikan susu formula untuk anak keduanya saat harus kembali bekerja.
“Awalnya sempat berusaha pumping ASI di kantor. Tapi lama-lama stres juga, rajin pumping tapi ASI semakin sedikit dan tidak cukup. Akhirnya saya menguatkan diri untuk mengabaikan perkataan orang lain yang menyayangkan saya terpaksa memberikan susu tambahan. Saya pikir, ketenangan ibu lebih penting daripada memaksakan hal yang malah membuat pikiran saya menjadi berantakan,” jelas Nurlaila.

Suci, seorang guru paruh waktu dari desa Curug Bitung Nanggung, juga menghadapi tantangan saat harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan 3 bulan. Minim fasilitas penyimpanan ASI perah membuatnya memberikan susu formula untuk anaknya.


“Pasti semua ibu ingin yang terbaik untuk anaknya, semua ingin kasih ASI. Tapi kalau tidak memungkinkan bagaimana? Yang penting anak saya dapat tumbuh dengan sehat,” jelas Suci.

Terhambatnya pemberian ASI selama ini kerap dikaitkan dengan keberadaan susu formula. Jika berkaca pada kisah sejumlah ibu di atas, terdapat persoalan lain yang mengakar ketimbang mengkambing hitamkan susu formula, yaitu minimnya regulasi yang dapat melindungi perempuan.


Dilansir dari laman WHO, menyebutkan lebih dari setengah miliar perempuan pekerja tidak mendapat perlidnungan maternitas. Karena itu, dalam pekan ASI 2023, WHO mendesak peluang strategis untuk mengadvokasi hak-hak pekerja yang penting untuk keberhasilan menyusui, termasuk cuti melahirkan minimal selama 18 minggu, idealnya lebih dari 6 bulan, dan kebijakan pendukung setelahnya di tempat kerja.

Lalu, apakah pemberian susu formula disamping ASI untuk anak adalah sebuah kesalahan? dr Robert Soetandio SpA MSi Med dari Rumah Sakit Pondok Indah-Bintaro Jaya mengatakan dalam memenuhi kebutuhan gizi anak penting bagi orang tua untuk memahami beberapa hal.

“Meskipun ASI tetap menjadi asupan terbaik untuk bayi, terdapat situasi di mana pemberian susu formula menjadi alternatif yang dianjurkan, terutama jika ibu atau anak menghadapi masalah medis tertentu yang menghambat pemberian ASI," jelas Robert.

Dijelaskan Robert, setiap susu memiliki kandungan yang berbeda-beda. “Kecermatan dalam pemilihan susu formula sangat diperlukan agar dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bayi secara optimal, mendukung tumbuh kembangnya,” jelasnya. (Aji)