Helo Indonesia

Tahun Politik, Latihan Tak Mudah Tekanjat

Nabila Putri - Lain-lain
Rabu, 27 September 2023 12:57
    Bagikan  
Tahun Politik, Latihan Tak Mudah Tekanjat

Prof. Sudjarwo


Oleh Sudjarwo*

SORE itu, saya terkejut membaca link berita siber dari teman tentang pejabat daerah ini yang menurut saya memiliki kekayaan cukup fantastis. Mobilnya jika diparkir memenuhi separo lapangan sepak bola. Teman tadi tidak memberi pesan apa-apa, hanya satu kata: tekanjat.

Saya jadi teringat masa-masa kuliah awal tahun 1970-an, waktu masih dibolehkan perpeloncoan. Kami para mahasiswa/mahasiswi baru diberi atribut lucu, topi karton lancip ke atas, terus baju memakainya di balik, celana juga di balik dan diberi gantungan berlabel macam-macam.

Salah satu teman mendapat label “Tekanjat”. Jika ditilik dari Kamus Besar Bahasa Indonesia yang online ternyata tekajat adalah berasal dari bahasa daerah (Lampung) yang artinya terkejut. Istilah ini juga populer di Sumatera Selatan, terutama wilayah Ogan Komering Ilir dan Palembang.

Baca juga: Elkan Baggott Bermain Penuh, Ipswich Town Berhasil Menang Comeback Atas Wolves

Kita biarkan pengalaman perpeloncoan tadi menjadi kenangan abadi yang dibawa mati. Kembali ke persoalan berita, maka dilakukanlah crosscek tentang kebenaran berita, sebelum melakukan telaah.

Ternyata ada sumber sahih yang mengatakan kebenaran berita itu perlu diragukan dengan sejumlah alasan yang sangat rasional.

Untuk yang kedua ini, penulis juga menjadi ikut tekanjat, apalagi konfirmasi itu diberikan oleh seorang jurnalis senior yang sudah malang-melintang di dunia kewartawanan dengan jam terbang yang kelas supersonik.

Berita serupa ini menjadi benar-benar salah jika dirunut musababnya, sebab ternyata pejabat ini memiliki suami yang memang dimungkinkan untuk memiliki harta sebanyak itu. Tidak banyak pembaca menyempatkan diri untuk melakukan pengecekan kebenaran; dan tentu ini bisa menyesatkan.

Apalagi kemudian disajikan dengan diksi yang tendensius karena ada kepentingan lain di sana. Kita bisa bandingkan bagaimana berita yang mewartakan kekayaan salah seorang bupati di Jawa Timur yang bersuamikan seorang menteri, tentu saja hartanya melimpah karena sebelum jadi menteri sang suami juga pernah jadi bupati di daerah itu.

Baca juga: Pemprov Lampung Gelar Bimtek Aplikasi e-KPB Bagi Mahasiswa

Namun beritanya sangat informatif sehingga kesan yang diperoleh setelah membaca berita akan berguman “wajar saja”. Stigma yang dibangun oleh narasi menyesatkan pada situasi sekarang ini sangat ampuh, bahkan ada semacam tim yang mempersiapkan diri untuk melakukan hal seperti ini.

Lebih gila lagi, sekarang, ada penyedia jasa untuk melakukan hal serupa, dengan imbalan yang tidak sedikit; tentu harga sangat berkorelasi dengan sasaran.

Namun rasanya dizolim jika kita menyalahkan yang benar, membenarkan yang salah; apalagi itu menyangkut marwah keluarga.

Hak-hak privacy individu sudah seharusnya kita hargai, sebab wilayah itu adalah milik pribadi seseorang dan merupakan hak dasar sebagai manusia.

Bisa saja kita tidak menyukai perangainya akan tetapi tidak manusianya, sekalipun ini sulit sekali karena memerlukan kematangan pribadi.

Baca juga: Pimum Helo Indonesia Hendry CH Bangun Terpilih Jadi Ketum PWI Pusat

Bisa dibayangkan seorang pejabat yang bergelar akademik tertinggi, begitu tidak menyukai tulisannya, kemudian menyerang orangnya; tentu ini menunjukkan “kepikunan” dalam bermanusia.

Berita-berita pikun ini sangat mudah berseliweran saat sekarang, sebab media sosial dengan mudah mengunggahsebarkan kepada penyukanya. Tentu saja jika menjadi lebih cepat menggandasebar jika tombol like-share ditekan oleh sejumlah orang.

Ternyata untuk menjadi pembaca berita sekarang lebih sulit dibandingkan dahulu sebelum ada sistem elektronik. Kecerdasan saja tidak cukup, perlu ditambah kejelian, ketelitian, kesabaran untuk melakukan cek ulang, dan masih banyak lagi.

Apalagi dengan adanya tahun politik, semua bisa saja diperpolitisir. Perkara beda sudut pandang antara anak dan bapak, karena kebetulan itu pejabat; maka ini dijadikan sasaran empuk untuk “dimainkan”. Pun, demikian jika kita tidak memiliki mental baja, untuk sekarang lebih baik jadi rakyat; karena rakyat ototnya kawat, dan perlu makan kuat. Kerja pejabat harus memberi makan rakyat.

* Guru Besar Universitas Malahayati