Helo Indonesia

Mengenang Tragedi Jumat Kelabu 23 Mei Mahasiswa di Banjarmasin Gelar Aksi Teatrikal

Anang Fadhilah - Nasional -> Peristiwa
Kamis, 23 Mei 2024 12:27
    Bagikan  
Tragedi 23 Mei
Jumat Kelabu

Tragedi 23 Mei - Mahasiswa Uniska gelar aksi teatrikal kenang tragedi 23 Mei. (ist/heloindonesia).

BANJARMASIN, HELOINDONESIA.COM - Dari kawasan eks Mitra Plaza di Jalan Pangeran Antasari, barisan hitam itu bergerak perlahan menuju Jalan Pangeran Samudera, Banjarmasin Tengah.

Para perempuan itu mengenakan pakaian serba hitam, dari ujung kaki hingga ujung kepala, dengan coretan merah darah melingkari mata mereka.

Di pertigaan Pasar Sudimampir, tak jauh dari turunan Jembatan Antasari, mereka berdiri mematung sambil membentangkan spanduk bertuliskan, "Menolak Lupa Tragedi Jumat Kelabu, 23 Mei 1997."

Mereka kemudian membentuk lingkaran, namun pecah berpencar saat mendengar pukulan gendang dari ember plastik. Mereka berlari dan menjerit ketakutan, saling menunjuk, lalu terkapar.

Aksi teatrikal ini, yang dibawakan oleh 23 anggota Sanggar Titian Barantai (STB) Universitas Islam Kalimantan (Uniska), menarik perhatian masyarakat. Meski tanpa dialog, penonton dapat menangkap pesan yang ingin disampaikan para mahasiswa.

"Oh, ini mengenang tragedi Jumat Kelabu itu kan?" ujar Ahmad, salah satu warga yang mengabadikan momen tersebut dengan ponselnya. "Semoga tidak ada kerusuhan lagi di Banjarmasin," harap warga lainnya.

Tragedi tersebut merupakan kerusuhan politik terbesar menjelang Reformasi. Tim Pencari Fakta dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat 123 korban tewas, 179 orang hilang, dan 118 korban luka. Kota Banjarmasin luluh lantak akibat penjarahan dan pembakaran yang mengakibatkan perekonomian mundur.

Ketua Umum STB Uniska Banjarmasin, M. Riko Fakhrurozi, mengatakan aksi teatrikal ini merupakan upaya merawat ingatan bahwa di Banjarmasin pernah terjadi tragedi kelam. "Kita tidak ingin tragedi itu terulang, cukup sekali saja," ujarnya, Rabu (22/5). Melalui aksi ini, mereka ingin mengingatkan tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi.

Ketua pelaksana, Noor Khalifah, menjelaskan bahwa dalam sejarah Indonesia, tragedi ini termasuk wilayah abu-abu. Pelaku utama, jumlah korban pasti, dan pemicu kerusuhan tidak pernah benar-benar terungkap. "Jadi kami tampilkan hanya dengan gerakan," kata Noor Khalifah, Kamis (23/5/2023).

Sebagai pengingat, pada 23 Mei 1997, Banjarmasin berubah menjadi lautan api dan kekacauan. Kerusuhan massal ini meletus seiring dengan kampanye Golkar pada hari terakhir kampanye Partai Persatuan Pembangunan menjelang Pemilu Legislatif Indonesia 1997. Insiden ini dikenal sebagai "Jumat Membara" atau "Jumat Kelabu," salah satu peristiwa paling tragis dalam sejarah Orde Baru.

Ketertutupan pemerintah pada masa itu membuat sulit mendapatkan laporan akurat tentang apa yang terjadi. Informasi yang beredar di media massa sangat terbatas dan tidak mencerminkan skala sebenarnya dari tragedi tersebut.

Pada hari naas itu, putaran terakhir kampanye Pemilu 1997 bertepatan dengan hari Jumat, yang menjadi jadwal kampanye Golkar. Awalnya, kampanye direncanakan berlangsung setengah hari dengan kegiatan simpatik yang menyasar kalangan bawah seperti buruh, pengojek, dan tukang becak. Setelah salat Jumat, kampanye akan dilanjutkan dengan acara hiburan rakyat di Lapangan Kamboja yang direncanakan dihadiri oleh tokoh-tokoh penting dan artis ibu kota. Namun, semua rencana tersebut berubah menjadi malapetaka besar yang tak terduga.

Hingga siang hari, kehidupan di pusat kota Banjarmasin berjalan normal. Mal terbesar di Banjarmasin kala itu, Mitra Plaza, dipenuhi pengunjung dan pembeli seperti biasa. Pegawai pusat perbelanjaan berlantai empat itu pun bekerja seperti biasa. Mitra Plaza, yang terletak di tepi Sungai Martapura, memiliki berbagai fasilitas: lantai pertama berisi perkantoran termasuk kantor Bank Bumi Daya (BBD), lantai kedua menjual pakaian, lantai ketiga diisi oleh swalayan Hero, toko buku Gramedia, restoran cepat saji CFC, dan sebuah bioskop, sementara lantai keempat menawarkan diskotek, kedai kopi, dan tempat hiburan seperti biliar.

Namun, semua berubah dalam sekejap mata. Mitra Plaza yang semula menjadi pusat aktivitas ekonomi dan sosial berubah menjadi pusat kerusuhan. Tragedi yang terjadi di Banjarmasin pada hari itu meninggalkan luka mendalam yang tidak mudah terlupakan, menyisakan cerita kelam dalam sejarah Indonesia.