Helo Indonesia

Politik Penguasa Cak Idak Bae

Nabila Putri - Lain-lain
Minggu, 5 November 2023 11:45
    Bagikan  
Politik Penguasa Cak Idak Bae

Prof. Sudjarwo

Oleh Prof . Sudjarwo*

MEMBACA tulisan Bung Herman Batin Mangku (HBM) beberapa waktu lalu di media ini yang berjudul “Jokowi Menang Banyak, Pahlawan atau Pecundang”. Pikiran beberapa hari jadi terusik atau bahasa gaulnya “kepikiran” terus menerus.

Sebegitu “teganya” HBM memberi judul tulisan itu, walaupun benar adanya. Beruntung beliau menulis di era sekarang, jika tulisan ini pada era Soeharto, saya yakin HBM akan tidak tahu jalan pulang untuk selamanya.

Opini yang HBM tuangkan dalam tulisan itu lugas, apa adanya, walaupun agak sedikit emosional. Oleh karena itu tulisan ini mencoba memberi sedikit “saos” agar makin sedap untuk dicicip lidah “rasa dan karsa” sebagai mahluk berbudaya.

Untuk kali ini, kita masuk dari budaya kata yang hidup di Sumatera Selatan, tempat lahir dan hidup penulis menapaki dunia ini. Ada satu adagium “Plembang” yang khas untuk memberi label kepada mereka yang tampaknya lemah lembut, tapi sebenarnya keras bagai baja; adagium itu diberi label “Cak Idak Bae”.

Baca juga: Luhut Pamer Kondisi Setelah Sebulan Dirawat, Ini Perubahannya

Jika diterjemahkan secara lugas walau kurang pas kira-kira “seperti tidak terjadi apa-apa, walaupun sebenarnya ada apa-apanya”.

Tampaknya negeri ini banyak tokoh atau yang menokohkan diri sebagai tokoh berupaya tampil “cak idak bae” untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan atau diharapkan.

Tampil sekilas lugu dan komennya merendah seolah tidak butuh, tetapi sebenarnya dia ular naga lapar yang haus untuk memangsa apapun.

Bahasa Plembang orang seperti ini sering diberi label “mati-mati ulo”; maksudnya matinya ular, tampaknya mati tetapi lapar.

Bisa dibayangkan beberapa bulan lalu berkata “saya sebagai orangtua hanya meristui apa maunya anak” jadi bukan mengijinkan. Ternyata satu bulan berikutnya mendorong anaknya, bahkan mensponsori untuk mendapatkan sesuatu guna melestarikan “darah biru”-nya.

Baca juga: Bawaslu Mesuji Buka Posko Pengaduan DCT

Padahal, semula mengatakan “kami keluarga tidak tertarik dengan dunia politik, maka anak-anak saya biarkan jadi pengusaha”. Ternyata kemudian hari seluruh trah darahnya digiring untuk meneruskan kedinastiannya.

Bener-bener “cak idak bae” jadinya. Semula ogah-ogahan ternyata ular pemangsa yang lapar lagi berbisa. Apakah perilaku seperti ini salah? Tentu saja tidak, jika parameternya hukum formal.

Namun perlu diingat dalam kehidupan ini, ada hal yang lebih unggul dari itu, ialah kepatutan; dan yang satu ini parameternya adalah moral.

Bisa dibayangkan kalau orang Jawa Bilang “esuk dele, sore tempe” (pagi kedelai, sore tempe) atau mencla-mencle, tentu ini sangat tidak baik jika perilaku itu ditampilkan oleh pemimpin, apalagi sekelas presiden.

Memang politik “cak idak bae” itu pada sisi ini membawa korban luka perasaan banyak orang, bahkan sekelas Gunawan Muhamad dan Gus Mustofa Bisri yang terkenal memiliki jiwa kenegarawanan tidak diragukan lagi, sampai merasa ditipu dengan cara “mati-mati ulo” dari pemimpin negeri ini.

Maka tidaklah salah jika HBM yang memang jurnalis seniore mengungkapkan dengan bahasa satir apa yang menjadi pembuka dari tulisan ini.

Tulisan inipun sampai kehabisan kata untuk mengungkap rasa kecewa, selama ini digadang-gadang menjadi harapan, ternyata hampa.

Baca juga: Buaya 3 Meter Dievakuasi Damkarmat dan Warga Sukaraja, Bumiwaras

Namun semua itu yang salah kita atau paling tidak penulis, karena lupa akan peringatan orang-orang terdahulu yang bersumber dari Kitab Suci “janganlah kau mencintai sesuatu secara berlebihan, karena jangan-jangan itu akan mengecewakanmu, dan janganlah kau membenci sesuatu terlewat batas karena jangan-jangan itu yang terbaik bagimu”.

Memang sejauh kita berharap kepada manusia, bersiaplah kita akan kecewa. Selamat kepada HBM yang dikaruniai Illahi akan ketajaman mata batin dalam membaca laku lahir.
Salam Waras.

* Guru Besar Universitas Malahayati Lampung