Helo Indonesia

Mitos Sang Capres

Nabila Putri - Opini
Rabu, 27 Desember 2023 13:03
    Bagikan  
Mitos Sang Capres

Gufron Aziz Fuadi

Oleh Gufron Aziz Fuadi

MENJELANG pemilu dan pilpres di Indonesia biasanya diramaikan dengan munculnya kembali mitos Ratu Adil atau Satria Piningit. Keduanya sering dipandang sebagai satu.

Satria Piningit atau Ratu Adil adalah sosok yang ditunggu dan didambakan oleh rakyat. Sosok yang mengayomi dan memiliki kewibawaan sejati yang akan membawa keadilan dan kesejahteraan rakyat, karena di dalam dirinya mengalir wahyu dari Tuhan.

Wahyu si sini jangan difahami sebagaimana wahyu kenabian tetapi wahyu keraton yang merupakan simbol kepemimpinan yang dalam bahasa wayangnya disebut wahyu Cakraningrat. Wahyu Cakraningrat ini pertama kali diberikan atau diturunkan kepada Abimanyu, salah satu putra Pandawa.

Abimanyu dipandang lebih pantas menjadi raja dibanding pamannya dari pihak ayahnya, Yudistira, maupun paman dari pihak ibu, Sri Kresna. Karena Abimanyu merupakan titisan dari Dewa Wisnu, Indra dan Soma yang merupakan tiga dewa prototipe pemimpin ideal.

Baca juga: Mengenang Bambang Ekalaya, Mereka yang Hadir Menunjukan Siapa BE (2)



Itulah mengapa dalam perebutan kepemimpinan di Indonesia sering dimitoskan bahwa seorang calon tertentu adalah Ratu Adil atau Satria Piningit atau yang dipilih menerima wahyu (Cakraningrat).

Kalau mitos Wahyu Cakraningrat dikaitkan dengan dunia pewayangan, maka Mitos Ratu Adil biasanya dikaitkan dengan ramalan Jayabaya.
Jayabaya adalah seorang raja yang mendapat julukan Ratu Adil karena mampu mempersatukan dan melakukan perubahan kepada kerajaan Kediri setelah terbelah dan porak poranda sepeninggal Raja Airlangga.

Mitos adalah kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan dianggap sakral. Biasanya berkaitan dengan dewan atau manusia setengah dewa atau orang tertentu yang akan dikultuskan. Dianggap benar benar terjadi, karena sesungguhnya peristiwa itu tidak ada atau tidak pernah terjadi.

Baca juga: Rutan Kotaagung Wisuda 56 Warga Binaannya Bisa Baca Alquran


Oleh karena itu salah satu ciri mitos adalah bahwa kisah yang diceritakan dianggap sesuatu yang benar benar terjadi. Seperti dulu pernah beredar cerita tentang walikota yang welas asih ketika pulang kerumah dinasnya sekitar kam dua malam didapatinya satpol PP yang berjaga tertidur diposnya.

Karena walikota ini adalah sosok pemimpin yang merakyat dan welas asih maka empatinya tinggi, sehingga dia kasihan bila harus membangunkan anggota pol PP tersebut. Dia sangat mengetahui betapa lelahnya kerja sebagai pol PP, sehingga dia lebih memilih memarkir mobilnya di luar pagar dan kemudian dia memanjat pagar untuk memasuki rumahnya...

Cerita ini santer beredar dikalangan masyarakat pedesan dan masyarakat yang berpendidikan rendah menjelang Pemilu dan Pilpres 2014. Cerita ini adalah bentuk mitos baru yang bertujuan menumbuhkan kesakralan tertentu. Seperti cerita mitos Wewe Gombel atau Leak dalam mitos Bali.

MITOS TERBUKTI AMPUH

Mitos berbeda dengan legenda.
Karena legenda yang juga merupakan kisah yang dianggap benar terjadi, tetapi tidak dianggap sakral, yang berakibat pada hal baik atau buruk yang akan terjadi ayau akan kita alami. Contohnya legenda Si Malin Kundang, legenda Si Pahit Lidah atau Bandung Bondowoso dan Roro Fitria eh Roro Jonggrang.

Bagi masyarakat pedesaan atau masyarakat berpendidikan rendah, penduduk Indonesia 51% berpendidikan SMP, cerita mitos berperan penting dalam mempengaruhi perilaku seseorang. Termasuk perilaku memilih. Oleh karena itu cerita ketokohan calon pemimpin sering dikaitkan dengan mitos tertentu atau dengan tokoh, yang melalui mitos telah dikultuskan.

Baca juga: Rekomendasi Destinasi Wisata dan Kuliner di Kota Semarang: Ini Daftar Selengkapnya


Kultus adalah penghormatan atau pemujaan yang berlebihan terhadap sesuatu, karena dianggap bertuah dan selalu benar. Bila kultus ini terhadap seseorang disebut kultus individu.

Kultus individu, pemujaan kepribadian atau kultus pemimpin (Cult of personality) muncul ketika seseorang menggunakan media massa, propaganda, atau metode lain untuk menciptakan figur pemimpin ideal atau pahlawan, sering kali melalui pujian yang berlebihan.

Kultus individu ini membuat seorang tokoh selalu dipandang benar tidak pernah salah. Kalaupun salah harus dicarikan dalil untuk membenarkan. Tidak boleh dikritik. Dan pengkritik haeus dipandang musuh, yang bila perlu dilaporkan ke polisi.

Mungkin karena budaya masyarakat kita adalah mikul duwur mendem jero, mengangkat dan mengenang kebaikan dan memendam dalam dalam kesalahan seseorang, maka kultus individu mudah dimunculkan.

Makanya banyak spanduk caleg pemilu 2024 menampilkan tokoh yang dikultuskan seperti Bung Karno dan Jokowi. Bahkan ada beberapa spanduk dan banner bertuliskan, kalau dulu hanya ada Sokarnoisme, sekarang Jokowisme.

Yang duduk disebelah saya tanya, emang ada ya mas, Jokowisme?
Saya jawab, embuhlah. Isme itu kan pemikiran atau ajaran. Sepertinya..., menurut Rocky Gerung, nggak ada deh ismenya...

Melihat dari budaya masyarakat yang mayoritas berpendidikan SMP, rasanya capres yang potensial adalah capres yang dengan individu yang dikultuskan dan mampu berbicara dengan bahasa kaumnya. Meskipun yang disampaikan belum tentu benar.

Baca juga: Jabatan Wakil Wali Kota Berakhir, H Sachrudin Pesan ke Masyarakat Jaga Kebhinekaan Kota Tangerang


Karena buat apa benar kalau susah dimengerti, lebih baik yang gampang dimahami, meskipun nanti pada akhirnya tertipu.

TIDAK JERA DITIPU

Tidaklah, karena kita kan biasa membohongi diri sendiri. Sudah biasa minum teh atau kopi tanpa gula tapi terasa manis, hanya karena yang menyajikan senyumsnya manis.
Di samping kita juga lekat dengan budaya nrimo atau lengkapnya nrimo ing pandum.

Yang menurut Koentjaraningrat adalah sebuah sikap penerimaan secara penuh terhadap berbagai kejadian pada masa lalu, masa sekarang serta segala kemungkinan yang bisa terjadi pada masa yang akan datang.

Wallahua'lam bi shawab
(Gaf)