Helo Indonesia

Intelektual Trap Akademisi, Profesor Doktor Penjarakan Kampus

Nabila Putri - Lain-lain
Senin, 18 September 2023 11:09
    Bagikan  
Intelektual Trap Akademisi, Profesor Doktor Penjarakan Kampus

Dr. Budiyono, SH,MH

Oleh Dr. Budiyono, SH,MH*

TULISAN ini terinspirasi sindiran Prof. Sudjarwo terhadap kaum intelektual terutama yang masih memegang jabatan yang dimuat media siber Helo Indonesia Lampung berjudul “Filsuf Nyentrik Datang, Profesor Doktor Jadi Halu" (15-9-2023).

Prof. Sudjarwo adalah guru besar yang sering membuat tulisan di media yang mengunakan bahasa-bahasa yang enak untuk dibaca dan mencerdaskan atau membuat pembacanya tersenyum atas tulisan beliau.

Yang menggoda saya urun rembuk, pilihan kata “halusinasi” yang ternyata tidak lagi hanya menyerang rakyat jelata akan ketakutan naiknya harga beras, tidak bisa menyekolahkan anak, tapi ternyata sudah menyelusup ke kaum intelektual di kampus.

Kaum intelektual yang seharusnya jauh dari halu tak bisa beli beras, ternyata juga terkena "kecemasan" atas kedatangan orang yang berbeda pemikiran, takut mahasiswa tidak penurut, takut ikut berlabel ilmuwan pemberontak, takut dimarahi istri, takut jabatannya copot, takut kena pecat.

Tambahan dari saya, takut tidak dapat hibah penelitian atau pengabdian dari universitas apabila berbeda pendapat dengan pimpinan perguruan tinggi serta takut kenaikan pangkatnya dihambat, dan masih banyak lagi alasan-alasan lainnya.

Baca juga: Filsuf Nyentrik Datang, Profesor Doktor Jadi Halu

Gejala halusinasi, bahkan menurut beliau dalam tulisannya ada pejabat akademik dengan gelar tertinggi, profesor atau doktor waktu mahasiswa terkenal vocal dan tidak ada takutnya sama sekali setelah duduk di kursi empuk jadi "ayam sayur".

Ternyata, para akademisi atau intelektual hanya berani dan galak terhadap mahasiswa. Para calon intelektual yang hendak melatih kecerdasan kritisnya lewat diskusi publik ditolak dengan alasan khawatir kampus tidak kondusif, izinnya belum lengkap, bla-bla-bla. Yang ternyata, semua itu halu. Diskusi mereka berjalan penuhi gizi dan canda tawa.

Sebagai seorang akademisi, apa yang ditulis senior saya Prof Sujarwo tentang “halusinasi” yang menjangkiti para akademisi atau para intelektual terutama para profesor dan doktor perguruan tinggi merupakan suatu kritik terhadap para akademisi atau intelektual yang sudah “nyaman” dengan posisinya sekarang.

Enaknya seorang profesor atau guru besar sekarang mendapatkan tunjangan kehormatan yang cukup atau relatif besar apalagi di perguruan tinggi yang sudah berstatus Badan Layanan Umum (BLU), berbadan hukum, ditambah "remunerasi” bagi para dosen atau akademisi diperguruan tinggi.

Baca juga: Jauh dari Kekhawatiran Unila, Diskusi Publik Rocky Gerung Riang Gembira

Jadi, virus “halusinasi” tersebut sudah dimulai dengan gejala “hedonisme” dan akhirnya apatis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hedonisme merupakan pandangan yang menganggap bahwa setiap kesenangan dan kenikmatan dalam bentuk materi merupakan tujuan utama dalam hidup seseorang.

Orang yang memiliki pandangan hidup hedonisme beranggapan bahwa hal yang dapat mendatangkan kesusahan, penderitaan, dan tidak menyenangkan merupakan suatu hal yang tidak baik, musuh besar kemapanannya, bisa tak kondusif posisinya.

Orang dengan gaya hidup hedonisme tidak memedulikan kepentingan serta kebahagian orang lain sehingga orang tersebut menjadi pribadi yang egois. Gaya hidup ini yang digambarkan Prof Sudjarwo menjadikan para akademisi atau inteletual perguruan tinggi "halu" dan berujung apatis.

Apatis adalah sikap tak acuh terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitar,artinya para akademisi asik dengan hidupnya sendiri yang penting sudah melaksanakan penelitian, pengabdian, dan pengajaran.

Gejala-gejala ini merupakan tanda-tanda telah terjadinya "intelektual trap". Secara tidak sadar, para kalangan akademis atau ilmuan dengan peningkatan pendapatan melalui “industrilisasi pendidikan”, tidak lagi bisa kita melihat para akademisi yang kritis yang ada diperguruan tinggi terhadap penomena kehidupan sosial di masyarakat.

Baca juga: Tiga Pelajar Tenggelam Satu Tewas Dua Selamat

Wajar saja kalau mahasiswa–mahasiswa tidak lagi punya daya kritis terhadap ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Segelintir calon pemimpin masa depan mencoba menggugah kekritisan kampus dipaksa ngobrol ilmiah di GSG tempat pesta.

"Intellectual trap" atau jebakan intelektual adalah seseorang yang merasa berada di puncak "kepintarannya" sehingga tak sadar tergelincir jatuh dan melakukan hal-hal yang "bodoh". Seharusnya, semakin pintar seseorang secara akademis maka semakin bisa berfikir cerdas.

Kesalahan berpikir atau tindakan dilakukan dengan sadar atau sengaja karena adanya gejala “halusinasi, hedonisme dan akhirnya apatis” yang terjadi dikalangan para akademisi atau intellectual di perguruan tinggi .

Sehingga para akademisi lupa apa yang sebenarnya menjadi tugas dan tanggunjawab mereka dimana mereka bukan mengajarkan ilmu pengetahuan tetapi lebih dari itu adalah moral atau intergritas karena lembaga yang selama ini yang masih dipercaya oleh masyarakat adalah lembaga pendidikan atau perguruan tinggi untuk menjadi alat kontrol terhadap kebijakan-kebijakan negara yang tidak berpihak kepada masyarkat.

Masyarakat masih menggangap lembaga pendidikan atau perguruan tinggi adalah lembaga yang netral yang akan menghasilkan para pimimpin yang bukan hanya pintar tapi bermoral dan punya intergritas.

Kebijakan pemerintah yang mendorong perguruan tinggi menjadi perguruan Tinggi berbadan Hukum (PTNBH) atau Perguruan Tinggi menjadi Badan Layanan Umum (PT BLU) dimana salah satunya pengangkatan dosen tidak dilakukan lagi oleh pemerintah tapi dilakukan oleh perguruan tinggi tersebut dapat menyebabkan dosen tidak lagi berpikir “merdeka, memenjarakan kampus, menselkan pikiran.

Para pemimpin perguruan tinggi yang terkena “intellectual trap” melakukan “penekanan” dan “ancaman” untuk tidak memperpanjang masa tugas mereka diperguruan tinggi tersebut serta memberi atau menjanjikan materi atau nonmateri dengan kekuasaan terhadap para akademisi yang kritis atau berbeda pendapat dengan kemauan pimpinan untuk mempertahankan kekuasaan mereka.

Baca juga: Pemprov Lampung Bersama APINDO Segera Menggelar PRL Oktober 2023 Mendatang

Intellectual trap menurut David Robson tidak hanya membuat para kaum intelektual tersebut tergelincir melakukan hal-hal bodoh saja, namun juga berusaha untuk menjustifikasi kesalahan tersebut dengan argumentasi-argumentasi yang justru membuat mereka semakin terlihat bodoh. 

“Intellectual trap" dapat berakibat terhadap para mahasiswa yang dihasilkan tidak lagi untuk berpikir “merdeka”. Bagaimana mahasiswa bisa berpikir “merdeka” bebas dari intervensi kalau pimpinan perguruan tinggi atau para dosenya sendiri tidak bisa berpikir “merdeka” karena sudah terkena “intellectual trap” akibat “halusinasi, hedonisme serta akhirnya apatis.

Perguruan tinggi hanya menghasilkan mahasiswa atau alumni “robot”. takut akan kehilangan jabatan, takut tidak dapat hibah penelitian dan pengabdian serta takut dihambat dalam proses kenaikan pangkat ini penyakit yang seharusnya tidak terdapat di lembaga pendidikan atau perguruan tinggi karena para intellectual atau ilmuan harus berpikir merdeka dan independen tanpa intervensi, tanpa ketakutan untuk menyampaikan hal yang benar.

Seperti apa yang ditulis oleh Prof Sudjarwo untuk menjadi renungkan kita semua bagi yang muslim setiap hari berucap “matiku…hidupku…kuserahkan kepada Mu ya Rob” tapi tidak termasuk jabatan, istri yang cantik, hartaku, pangkat dan kedudukanku, artinya secara sadar kita punya tuhan atau rob yang lain.

Prof Sudjarwo secara tidak langsung memberikan nasehat kepada para akademisi yang bergelar profesor atau doktor terutama yang menjadi pimpinanan perguruan tinggi untuk menghindari “intellectual trap” agar sadar bahwa jabatan, harta, kedudukan, pangkat itu semua pinjaman sementara dari Sang Maha Pemilik.

Kapanpun jika Beliau ingin menariknya atau memberikannya tidak ada satupun yang mampu menghalanginya. bahwasanya semakin banyak pengetahuan yang kita kuasai seharusnya membuat kita semakin takut kepada Allah.

* Dosen Hukum Tata Negara Universitas Lampung