HELOINDONESIA.COM - Pemerintah Indonesia memiliki target bebas HIV/AIDS di tahun 2030. Salah satu kebijakan yang harus dilakukan adalah dengan Tes Viral Load (VL) HIV.
"Cara ini merupakan tes darah yang penting untuk mengukur keberhasilan orang dengan HIV dalam menjalankan pengobatan," ujar Legal Expert Jaringan Indonesia Positif (JIP), I Made Adi Mantara dalam acara Media Brief Advocate4Health bertemakan "Akselerasi Percepatan Viral Load Dalam Penanggulangan HIV 95-95-95" di Novotel, Kota Tangerang pada Senin (28/8/2023).
Dikatakan Adi Mantara, tes ini dilakukan secara rutìn setiap 6 bulan atau minimal dilakukan 1 kali dalam setahun.
Menurutnya, tes VL dilakukan secara rutin karena durasi pengobatan orang dengan HIV harus dilakukan seumur hidup.
"Tujuan dari hasil tes ini untuk melihat apakah pengobatan berjalan efektif atau tidak dan dilakukan dengan mengukur kadar atau jumlah virus HIV dalam diri orang dengan HIV," jelasnya.
Baca juga: Ada Bacaleg Mantan Napi dan 2 Pejabat Desa di Pesawaran
Jika hasil tes VL menunjukkan pengobatan ARV pada orang dengan HIV tidak berjalan dengan baik, lanjutnya, bukti ini dapat menjadi dasar bagi dokter untuk menentukan pengobatan selanjutnya.
Disinggung soal adanya Indikator 95-95-95, Adi Mantara menyebutkan bahwa maksud dari angka-angka tersebut adalah: pertama, 95% orang yang perkirakan hidup dengan HIV akan mengetahui status HIV-nya (testing).
Kedua, 95%orang yang telah mengetahui status HIV mendapatkan pengobatan ARV dan perawatan V.
Ketiga, 95% lainnya telah mendapatkan terapi ARV mengalami supresi virus yang dapat diketahui melalui tes VL.
Ketiga indikator tersebut sudah masuk dalam kebijakan Peraturan Kementerian Kesehatan RI Nomor 23 tahun 2022 tentang penanggulangan V dan IMS.
Adi Mantara menegaskan, pemerintah sudah berkomitmen dalam menyediakan pengobatan ARV dalam rangka mendorong jumlah virus dalam tubuh orang dengan HIV dapat supresi sehingga berdampak pada penularan HIV yang lebih rendah.
"Berdasarkan indikator di atas, Pemerintah perlu meningkatkan angka cakupan HIV, angka pengobatan ARV dan tes VL untuk mengakselerasi keberhasilan program penanggulangan HIV," terangnya.
Namun, berdasarkan hasil yang dipaparkan Kementerian Kesehatan Rl per Desember 2022, indikator 95% pertama saat ini baru tercapai 81%. Adapun indikator kedua baru tercapai sebanyak 42% dari temuan 95 pertama. Indikator ketiga, baru 20% yang mendapatkan tes VL dari temuan 95 kedua.
Baca juga: Elektabilitas Kurang Bersaing Jadi Penyebab Munculnya Isu Anies Diduetkan Dengan Ganjar
Oleh karena itu, saat ini pemerintah bersama dengan LSM dan masyarakat terus berupaya melakukan akselerasi dalam meningkatkan capaian 95.95.95.
"Beberapa di antaranya dengan melakukan skirining berbasis komunitas, menyediakan pengobatan ARV dengan rejimen yang lebih sederhana, termasuk membuka penganggaran APBD untuk dapat mendukung program nasional dalam penanggulangan HIV," papar Adi Mantara.
Stigma dan Diskriminasi
Nining Ivana, Community Development JIP tak menampik bahwa stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV masih terus terjadi.
"Tentunya ini menjadi tantangan terbesar dalam penanggulangan HIV di Indonesia," jelas Nining.
Baca juga: Ganjar: Kampus Tempat yang Tepat Uji Gagasan dan Pikiran Kandidat Capres
Kendala lainnya, menurut Nining, untuk mencapai target 2030, masih banyak masyarakat yang takut untuk melakukan tes HIV.
"Mereka takut diketahui status HIV-nya dan takut datang ke layanan HIV untuk mendapatkan pengobatan," urainya.
Nining mengatakan, stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV sulit dihilangkan lantaran adanya informasi yang salah terkait dengan HIV di masyarakat .
"Bentuk-bentuk stigma yang terjadi juga beragam. Misalnya, pengusiran dari lingkungan sosial dengan alasan bahwa masyarakat sekitar menolak, pemberhentian dari pekerjaan karena kualitas kinerja dan berbagai bentuk diskriminasi lainnya," papar Nining.
Baca juga: Resmi Beroperasi, Begini Cara Naik, Harga Tiket, Daftar Stasiun, Jadwal dan Rute LRT Jabodetabek
Karena itu, sambungnya, pencapaian indikator 95-95-95 harus menjadi tanggungjawab antara pemerintah dan masyarakat.
Di antaranya dengan memastikan tersedianya lingkungan yang nyaman dan aman bagi orang dengan HIV, menyediakan kemudahan akses layanan kesehatan, bekerja, berkeluarga dan melakukan aktivitas lainnya.
"Sehingga bisa mendorong orang dengan HIV tetap produktif buat masyarakat dan lingkungan sekitar," jelasnya.
Timotius Hadi selaku Advocacy Specialist program Advocate For Health, Jaringan Indonesia Positif (JIP) menyatakan, kesulitan dalam mengakselerasi tes VL karena distribusi reagent yang tidak merata.
Baca juga: Pengamat Sebut Dukungan Budiman sudjatmiko Blunder Fatal Bagi Prabowo
"Jadi kadang teman-teman di lapangan berebut, dan kriteria yang dapat menerima tes VL tersebut juga sangat subyektif dari petugas kesehatan di sana. Kadang yang rajin datang ambil obat dan sudah lama, justru tidak kebagian. Padahal tujuan tes ini kan untuk melakukan monitoring" tambahnya.
Adapun dari sisi pembiayaan, menurut Hadi, tes inì juga masih dirasa sangat mahal.
"Jika dibanding dengan beberapa negara dì Asia Tenggara, harga tes VL di Indonesia masih yang termahal di antara negara lain di Asia Tenggara," paparnya.
Baca juga: Demi Nonton Konser God Bless, Ganjar Pernah Jual Celana dan Jaket Milik Orang Tua
Jika upaya-upaya akeselerasi di atas dilakukan, ujar Hadi, maka ada optimisme untuk mencapai "Ending AIDS" pada 2030.
"Hanya saja sekarang diperlukan peran berbagai pihak untuk nenyukseskan upaya ini, baik dari sisi penyedia layanan, LSM, komunitas dan juga orang dengan HIV," kata Hadim
Sedangkan untuk keberlanjutan program, tegas Hadi, pemerintah diharapkan dapat menambah jumlah kuota tes HIV.
Di antaranya layanan kesehatan dan menekan pembiayaan tes VL HIV agar lebih terjangkau dengan pembebanan biaya VL melalui BPJS atau melalui dukungan pendanaan APBD daerah.