bjb Kredit Kepemilikan Rumah
Helo Indonesia

Sulitnya Tetapkan AHY dan Cak Imin Jadi Cawapres, Unsur Piara Anak Macan, Persaingan, Bohir, Gimik Ikut Bermain?

Winoto Anung - Nasional -> Politik
Rabu, 14 Juni 2023 11:17
    Bagikan  
AHY dan Cak Imin
Facebook/ Agus yudhoyono

AHY dan Cak Imin - Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) saat bertemu di Cikeas. (Foto: Facebook/ Agus Yudhoyono)

HELOINDONESIA.COMDunia politik Indonesia berputar-putar lama, dan seperti tidak ada arah pasti. Saling bertemu untuk berkumpul, tapi juga saling tekan, diperparah oleh cawe-cawenya Presiden Jokowi.

Gambaran koalisi-koalisi sudah muncul, pertama kali hadir Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yang ternyata hanya Bersatu sebentar, sekarang bisa dikata bercerai. Tiga anggotanya, Golkar, PAN, PPP, sudah punya mainan sendiri-sendiri.

Kemudian terbentuk Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), masih awet, tapi masalahnya tetap awet juga, yakni soal calon wakil presiden (cawapres) tak kunjung ditetapkan, padahal Cak Imin (Ketum PKB) sangat berharap. Padahal sudah punya capres, yakni Prabowo Subianto.

Setelah itu, terbentuk Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP), dengan anggota Partai Nasdem, Partai Demokrat, PKS. Koalisi ini sudah punya capres, yakni Anies Baswedan. Masalahnya yang ramai jadi polemik dan membuat gaduh, yakni soal siapa cawapres yang akan ditunjuk.

Baca juga: Bocah 15 Tahun Bunuh Pemuda 25 Tahun Usai Orgen Tunggal

Koalisi lainnya, dikomandoi PDIP, dengan capresnya Ganjar Pranowo yang dideklarasikan akhir Ramadhan, dan juga masih belum menentukan cawapres. Ketua DPP PDIP Puan Maharani menyebut ada 10 nama tokoh yang masuk bursa cawapres untuk berpasangan dengan Ganjar Pranowo.

Empat koalisi punya masalah masing-masing, KIB yang terbentuk paling awal, sama sekali belum menentukan capresnya, apalagi cawapres. Koalisi KIB ini masih terombang-ambing, karena salah satu anggotanya, PPP sudah nyempal dan bergabung ke Koalisi Ganjar Pranowo.

Lantas, Koalisi KKIR yang beranggotgakanj Gerindra dan PKB, sudah punya capres, yaitu Prabowo Subianto. Logikanya, Cak Imin jadi cawapresnya, namun hingga hampir setehun terbentuk, ternyata cawapres belum juga ditetapkan. Cak Imin gerah.

Lantas, Koalisi KPP, punya capres Anies Baswedan, penjaringan cawapres masih berlangsung, namun sudah beberapa kali disebut anggota Tim 8 dari KPP itu, menyebut sudah mengerucut satu nama cawapres.

Baca juga: Tolak AHY Jadi Cawapres Anies, Nasdem Pilih Tokoh NU, Pengamat: Apapun Demokrat Diminta Ikhlas

Toh, ternyata itu belum tuntas. Buntutnya, Nasdem dan Demokrat ribut, saling serang soal cawapres. Belakangan, Nasdem blak-blakan menolak AHY sebagai cawapres pendamping Anies. Hal ini disampaikan Gus Choi (Effendy Choiri) dari Nasdem, saat diskusi di Podcast Akbar Faizal. Gus Choi yang menginginkan cawapres dari kalangan NU (Nahdlatul Ulama).

Untuk cawapres dari Ganjar Pranowo, tampaknya masih melalui beberapa tahap lagi, karena saat ini masih 10 nama yang disebut.

Persaingan Antar Parpol

Persaingan dalan dunia politik hal biasa, dan di situ pula salah satu esensi politik. Persaingan untuk menang. Tujuan politik salah satunya memang untuk menang dan berkuasa.

Di situlah yang tercermin pada penentuan cawapres di Koalisi Perubahan dan KKIR, meski nuanasanya berbeda. Diam-diam di koalisi KKIR terjadi persaingan, meski hanya dua parpol, yakni Gerindra dan PKB.

Baca juga: Ingin Tetap di Real Madrid, Modric Digoda Klub Arab Saudi dengan Bayaran Tujuh Kali Lipat Gajinya

PKB jelas ingin agar Cak Imin segera diumumkan jadi cawapres. Namun, Gerindra ogah-ogahan, dan bahkan kabarnya menolak. Ada persaingan di belakang layar, Gerindra ingin tokoh lain yang menjadi cawapresnya.

Dulu dicurigai, indahnya Sandiaga uno ke PPP adalah dalam rangka untuk dijodohkan lagi dengan Prabowo. Namun, kecurigaan itu untuk sementara harus dihapuskan, karena PPP bergabung ke koalisi PDIP, koalisi Ganjar Pranowo.

Gerindra tampaknya masih bergerilya mencari tokoh yang cocok untuk kepentingan Pilpres, utamanya elektabilitias yang bisa lebih tinggi dari Cak Imin.

Persaingan di Koalisi Perubahan, terjadi, awalnya terlihat fair. Masing-masing parpol yang punya wakil di Tim 8 mengirimkan nama-nama untuk bakal cawapres.

Baca juga: Mensos Risma Akui Kesulitan Mendata Masyarakat Penerima Progam Bantuan Kemiskinan

Secara keseluruhan nama yang muncul adalah Ahmad Heryawan (Aher), AHY, Khofifah Indar Parawansa, Mahfud MD, Andika Perkasa, Ridwan Kamil, Yenny Wahid, dan lainnya. Belakangan dalam prosesnya, mengerucut kepada tiga nama, yakni Aher, AHY, Khofifah.

Dari tiga nama ini menampakkan siapa pendukungnya. Aher sudah jelas didukung PKS, AHY didukung Demokrat, dan Khofifah oleh Nasdem. Nah dengan konfigurasi seperti ini ketiga parpol wajar kalau terjadi persaingan agar jagonya terpilih menjadi cawapres.

Ternyata, yang belakangan muncul adalah persaingan kuat antara Nasdem dan Demokrat. AHY ngotot agar AHY jadi cawapres, Nasdem punya alasan kuat, untuk meraih suara NU, Khofifah yang selayaknya jadi cawapres.

Jelas, ini persaingan antar parpol yang sangat alot, meski Nasdem sudah punya Anies Baswedan sebagai tokoh yang diajukan jadi capres, dan sudah disetujui ketiga anggota koalisi.

Baca juga: Canggih, Robot YuMi Akan Dikerahkan untuk Membantu Proses Reboisasi di Hutan Amazon

Piara Anak Macan

Piara anak macan sudah menjadi kosa kata politik. Singkatnya bisa dimaknai, mengangkat seseorang untuk kedudukan tertentu, bagai piara anak macan.

Misalnya, kalau mengangkat seseorang jadi cawapres, kelak kalau sudah jadi wapres, bagai piara anak macan, menjadikan sosok itu menjadi tokoh yang punya nama berkibar, dan bisa menjadi saingan presiden untuk Pilpres berikutnya.

Hal ini juga tercermin dalam persaingan berbagai koalisi di atas. Sejarah mencatat, capres tidak akan mencari cawapres yang kelak akan menjadi pesaingnya. Di era pemilihan tak langsung, yakni presiden dan wapres di pilih MPR, Megawati saat naik jadi Presiden, waktu itu ada tokoh menonjol, yakni Akbar Tanjung dan piawai dalam politik.

Namun, yang dipilih sebagai Wapres adalah Hamzah Haz, yang oleh banyak pihak lebih bisa diatur, dan tidak berpotensi menjadi pesaing. Kalau Akbar Tanjung yang piawai dalam bermain politik, bisa-bisa menelikung kalau dijadikan wapres.

Baca juga: PSI Sebut Depok Carut Marut Butuh Sosok Kaesang, Netizen: Tak Usahlah Jelek-jelekin Pesaing, Itu Gak Simpatik

Lantas, di era Presiden SBY, dia memilih Boediono untuk Pilpres 2009. Artinya tidak memilih JK lagi sebagai cawapres. Boediono yang sudah tua, dan tidak berambisi politik, diperkirakan tidak akan maju lagi jadi capres. Menghindari piara anak macan.

Pengalaman lain, saat Jokowi memilih KH Ma’ruf Amin jadi cawapres, hitung-hitungannya juga begitu, tidak ingin piara anak macan. Itu terlihat, sebelumnya Jokowi sudah memilih Mahfud MD, tapi oleh pendukung Jokowi lebih memilih Sang Kyai yang sudah sepuh itu.

Soal piara anak macam, sebenarnya tidak sepenuhnya tidak menakutnya kalau menilik pengalaman yang ada. Jadi cawwapres memang nama seseorang tokoh akan berkilau, dan mungkin akan menjadi calon presiden serius untuk Pilpres berikutnya.

Namun hal ini tidak sepenuhnya benar. Setidaknya ada dua fakta. Pertama, cawapres tidak akan berkilau kalau perannya dipersempit oleh Presiden. Sebab bagaimana pun wapres itu dalam konstitusi kita kedudukannya sebagai pembantu Presiden.

Baca juga: Tak lagi Pakai Kartu SIM, Indonesia Mulai Beralih Gunakan eSim Untuk Handphone, Ini Manfaatnya

Sebagai pembantu, harus menurut presiden. Tergantung presidennya memperlakukan wapres. Kita lihat, Wapres KH Ma’ruf Amin, seperti tidak terlihat fungsinya, karena dipersempit perannya oleh Presiden. Jadi, hal ini juga tidak sepenuhnya benar kalau menjadikan seseorang sebagai wapres, Bagai memelihara anak macan, kalau besar akan jadi macan beneran yang garang.

Hal kedua, boleh jadi memelihara anak macan, dan berkilau sepak terjang sang wapres. Itu terjadi di era Presiden SBY yang memiliki Wapres Jusuf Kalla (JK). Saat itu JK jadi Wapres hebat, karena diberi keleluasaan di bidang ekonomi.

Namun, meski berlaku piara anak macan, ternyata saat JK maju jadi capres bertanding melawan SBY pada Pilpres 2009, JK tetap kalah.  Padahal namanya berkibar, dan saat menjabat, JK malah sempat mendapat sebutan The Real President (Presiden yang sebenarnya).

Untuk saat ini, yakni terkait Pilpres 2024, tampak terlihat prinsip jangan piara anak macan. Penolakan terhadap Cak Imin dan AHY sebagai cawapres dikhawatirkan, kelak kalau jadi wapres, akan menjadi sosok yang berkibar.

Dia akan punya nama hebat, punya jaringan luas, punya logistik yang bertambah, dan punya masa yang bertambah pula. Inilah bayangan yang ditakutkan lawan-lawan politik, yakni kelak akan menjadi capres potensial untuk Pilpres berikutnya (2029).

Oleh karena itu, sebisa mungkin langkah Cak Imin dan AHY, serta tokoh-tokoh muda potensial, pantas dihalangi, jangan sampai jadi cawapres.

Sebab kalau jadi cawapres, dan terpilih menjadi wapres, akan mulus untuk running ke pilpres berikutnya. Hal ini juga berlaku di koalisi PDIP, yang tampaknya menyisihkan nama politisi muda potensial Sandiaga Uno, mungkin juga Erick Thohir.

Bohir dan Gimik

Nah, soal bohir ini juga sering menjadi perbincangan di jagad politik. Politisi Partai Gelora Fahri Hamzah sering menyebut bohir dan perannya. Singkat kata, bohir adalah orang kaya yang menyupali logistik untuk kepentingan politik.

Nah, dalam persaingan di internal koalisi, menarik juga kalau diterawang dari segi per-bohir-an ini. Seseorang tidak disetujui, mungkin karena bohirnya belum menyelesaikan sesuatu yang diharapkan pihak tertentu. Misalnya si A tidak disetujui parpol tertentu, karena belum ada bohir yang datang membereskan.

Meski agak berbeda, Denny Indrayana mengungkap adanya ketum parpol yang menawarkan harga partainya Rp5 triliun, dia tanpa menyebut nama parpolnya.

“Ketika sang tokoh yang didukung Prof. Mahfud menyatakan tidak memilih seorang pimpinan sebagai cawapres, tapi masih membutuhkan parpolnya sebagai rekan koalisi, sang ketum menyebut angka Rp 5 (lima) triliun sebagai harga jual partainya,” tulis Denny Indrayana.

Angka triliunan itu siapa yang membayar? Itu kan angka yang luar biasa besar. Katakanlah ratusan miliar, apakah parpol mampu membayar? Bisa diduga, adalah bohir yang mampu membayar. Hal ini termasuk dalam tawar-menawar posisi capres-cawapres, seing disebutkan adanya bohir yang diperankan.

Yang terakhir soal gimik. Ini soal permainan politik, yang kiranya koalisi dan tokoh capres-cawapresnya tetap menjadi pembicaraan ramai.

Jangan-jangan sikap Gerindra dan PKB, lalu Nasdem dan Demokrat itu hanya gimik, agar koalisi masih tetap menjadi pembicaraan umum, dan menjaga elektabilitas. (*)

(Oleh: Winoto Anung, wartawan Helo Indonesia)