Helo Indonesia

Dr. Budiyono: MK Terjebak Pusaran Politik Putusan Usia Kepala Negara

Nabila Putri - Nasional -> Politik
Selasa, 17 Oktober 2023 09:13
    Bagikan  
Dr. Budiyono: MK Terjebak Pusaran Politik Putusan Usia Kepala Negara

Dr. Budiyono (Foto Ist/Helo)

LAMPUNG,HELOINDONESIA.COM -- Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila) Dr. Budiyono, SH, MHS melihat adanya keanehan atas munculnya kesan quo vadis keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas syarat usia calon presiden dan wakil presiden RI.

"Surat penarikan dan surat pembatalan penarikan kepada para pemohon memunculkan adanya  “misteri” yang menyelimuti penarikan dan pembatalan penarikan tersebut yang hanya berselang satu hari," ujarnya kepada Helo Indonesia Lampung, Selasa (17/10/2023).

Akibatnya muncul kesan, katanya, MK terjebak dalam pusaran  politik sekaligus meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik. Dua hakim konstitusi Prof Saldi  Isra dan Prof Arif Hidayat bersikap berbeda (dissenting opinion) memberikan isyarat keanehan tersebut.

Baca juga: PAW DPRD Lampung, Sugianto Gantikan Ahmad Fitoni, PAW Wahrul ke Zamzani Masih di Kemendagri

Prof Saldi Isra yang sudah menjadi hakim konstitusi sejak 11 April 2017 atau sekitar enam setengah tahun yang lalu mengatakan baru kali ini mengalami keanehan yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar.

"Dalam waktu yang begitu cepat,terjadi perubahan putusan yang diambil dalam putusan sebelumnya tidak pernah terjadi, karena putusan MK Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan No.90/PUU-XXI/2023," ujar Budiyono.

MK akhirnya mengabulkan kepala daerah yang belum berusia 40 tahun bisa menjadi capres atau cawapres selama memiliki pengalaman menjadi kepala daerah. “Baru kali ini saya mengalami peristiwa ‘aneh' yang ‘luar biasa' dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar," katanya Saldi.

Dirunut prosesnya, kata Budiyono, hakim konstitusi dan sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman tak hadir pada Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) tidak dihadiri hakim konstitusi dengan alasan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan (conflict of interest) pada Selasa (19/9/2023).

Baca juga: Gubernur Arinal Hadiri Acara Sholawat Bersama Masyarakat Pekon Bulu Rejo Pringsewu

Hasilnya, enam hakim konstitusi, sebagaimana amar Putusan MK No.29-51- 55/PUU-XXI/2023 sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang.

Mereka yang hadir saat itu Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan MP Sitompul, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, dan M. Guntur Hamzah.

Kamis (21/9/2023, Ketua menyampaikan bahwa ketidakhadirannya pada pembahasan dan forum pengambilan keputusan pada Perkara No.29/PUU-XXI/2023; No.51/PUU-XXI/2023; dan No.55/PUU-XXI/2023 alasan kesehatan, bukan untuk menghindari conflict of interest sebagaimana disampaikan sebelumnya

Jumat (29/9/2023), kuasa hukum pemohon mencabut Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 meskipun pada akhirnya membatalkan penarikan atau pencabutan kedua perkara a quo pada Sabtu (30/9/2023). "Aneh, tak bisa diterima rasionalitasnya, peristiwa ini turut menguji integritas dan kenegarawanan seorang hakim konstitusi," katanya.

Di sisi lain, saat memutus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/20, putusan diambil dengan komposisi yang selama ini sepengetahuan saya belum pernah terjadi. Adapun komposisi tersebut adalah tiga hakim mengabulkan sebagian dengan memaknai syarat usia tetap 40 tahun sepanjang dimaknai berpengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih (elected official).

Baca juga: Dua Bripda Polda Lampung Sebelumnya Curi Innova Reborn

Misalnya berpengalaman sebagai gubernur/bupati/wali kota, dua hakim mengabulkan untuk sebagian dengan alasan yang berbeda terkait pertimbangannya, yakni hanya terbatas berpengalaman sebagai gubernur yang kriterianya diserahkan kepada pembentuk undang-undang, sebanyak 1 (satu) orang hakim memiliki pendapat berbeda (Dissenting Opinion)

Dengan  menyatakan bahwa pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), sebanyak dua hakim berpendapat bahwa perkara ini bukan merupakan permasalahan inkonstitusionalitas norma, tetapi merupakan opened legal policy.

Seorang hakim memiliki pendapat berbeda (Dissenting Opinion), yaitu permohonan pemohon dinyatakan gugurPerkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 Ditarik Tetapi Tetap Dilanjutkan

Perbuatan hukum pemohon yang melakukan pencabutan perkara sepihak atas inisiatifnya sendiri tanpa berkoordinasi dengan pemohon principal karena malu dan khilaf yang disebabkan oleh adanya miskomunikasi internal dalam tim kuasa hukum terkait penyerahan hardcopy berkas permohonan sebanyak 12 rangkap, menurut penalaran yang wajar, alasan kuasa hukum dimaksud tidak dapat diterima rasionalitasnya.

Adanya perbedaan waktu penerimaan surat pembatalan pencabutan perkara antara keterangan kuasa hukum pada persidangan hari Senin (3/10/2023), dengan waktu yang tertera pada Tanda Terima Berkas Perkara Sementara (TTBPS), yakni pada pukul 12.04 WIB, sedangkan berdasarkan keterangan kuasa hukum pada persidangan, surat pembatalan pencabutan perkara diterima pada pukul 20.36 WIB.

Baca juga: Jadi Bacaleg DPR RI, Nunik Tak Lagi Wagub Lampung

Adanya perbedaan nama petugas PAMDAL MK yang menerima surat pembatalan pencabutan perkara menurut kuasa hukum Pemohon diterima oleh Dani (PAMDAL MK), namun nama yang tercantum dalam Tanda Terima Berkas Perkara Sementara (TTBPS), yakni Safrizal (PAMDAL MK).

Pola dan keterangan yang disampaikan Kuasa Hukum dan Pemohon Principal Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 (Almas Tsaqibbiru Re A) juga sama dengan pola dan Keterangan yang disampaikan Kuasa Hukum dan Pemohon Principal Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 (Arkaan Wahyu Re A), meskipun waktu persidangan untuk melakukan konfirmasi pencabutan atau penarikan permohonan dijadwalkan berbeda.

Artinya, keterangan kuasa hukum dan Pemohon ihwal pencabutan dan pembatalan pencabutan perkara dilakukan secara sadar dan by design. (vide Risalah Sidang Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, bertanggal 3 Oktober 2023 juncto Risalah Sidang Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023, bertanggal 3 Oktober 2023, hal.6-13

Sabtu (30/9/2023), terdapat surat pembatalan penarikan permohonan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUUXXI/2023 yang dikirim oleh Rudi Setiawan yang merupakan staf kuasa hukum Pemohon dan diterima oleh Pamdal MK. (vide Risalah Sidang Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023, bertanggal 3 Oktober 2023, hal. 9-10).

Baca juga: Lampung Gelar Doa dan Aksi Donasi untuk Rakyat Palestina

Permasalahannya yaitu mengapa surat pembatalan penarikan permohonan diregistrasi dibagian Kepaniteraan pada hari Sabtu, 30 September 2023 di hari libur dan bukan pada hari Senin, 2 Oktober 2023.

Berdasarkan  pendapat 2 hakim konstitusi, ada keanehan dan keganjilan dalam putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang jarang atau tidak pernah terjadi dalam sejarah MK dimana ada beberapa hakim memberikan kritik terhadap terhadap para koleganya sendiri.

Bahkan ada kegelisahan dari seorang hakim akan keberlanjutan MJ menyangkut Marwah dan kewibawaan kelembagaannya sebagai Guardian of Konstitution sehingga akan membuat ketidakpercayaan masyarakat terhadap mahkamah konstitusi ini sangat membahayakan masa depan bangsa dan negara Indonesia.

Keanehan dan keganjilan yang diungkapan oleh kedua hakim konstitusi tersebut secara tidak langsung memberi isyarat kepada masyarakat atau publik bahwa ada “intervensi politik". "Wajar kalau seorang hakim konstitusi Prof Saldi mengungkapkan quo vadis Mahkamah Konstitusi?" tutup Budiyono. (HBM)