Masyarakat Pers Terusik, Ada Apa dengan Draft UU Penyiaran?

Selasa, 14 Mei 2024 20:14
Kebebasan pers terancam dengan beredarnya kabar adanya usulan dalam draft RUU Penyiaran Baru yang sedang digodog di Komisi 1 dan BaLeg (Badan Legislasi) DPR-RI. Foto: pexels

Oleh : Dr. KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB

MASYARAKAT Pers terusik, selama ini Kebebasan Pers di Indonesia sudah dirasakan nyaman dan "on the track" dengan UU Pers No. 40/1999 yang ditetapkan semenjak 23/09/1999 lalu dan dirasakan sudah sesuai dengan jiwa & semangat reformasi, mendadak ada usulan dalam draft RUU Penyiaran Baru yang sedang digodog di Komisi 1 dan BaLeg (Badan Legislasi) DPR-RI. 

Ini terjadi karena beberapa pasal dalam draft RUU Penyiaran itu dinilai berpotensi memberangus kebebasan pers.

Misalnya ada larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi sebagaimana yang dimuat pada Pasal 50 B Ayat (2) huruf (c) RUU Penyiaran tertanggal 27 Maret lalu..

Kenapa hal di atas dipertanyakan? 

Karena hal tersebut tidak sesuai dengan aturan sebelumnya yang sdh berjalan 25 tahun, UU No 40/1999 dan telah dengan sangat baik mengatur ihwal kerja & etika pers, termasuk soal kegiatan jurnalisme investigasi. 

Kalau sekarang mendadak muncul usulan untuk mengatur soal khusus ini (dengan KPI / Komisi Penyiaran Indonesia) bisa diprediksikan akan ada pasal-pasal tiitipan (baca: colongan) yang akan menghambat Kebebasan Pers selama ini. 

Baca juga: Sedang Berlangsung! Live Streaming Leg 1 Semifinal Championships series Liga 1 2023/2024 : Bali United vs Persib Bandung

Termasuk juga Penyelesaian Sengketa Pers yang selama ini ditangani baik oleh Dewan Pers, dalam RUU ini di Psal 42 akan dilakukan oleh KPI.

Memang anehnya pada konsideran draft RUU Penyiaran tersebut sama sekali tidak mencantumkan Undang-Undang Pers yang sudah ada sebelumnya, sehingga hal ini dalam sistematika Penulisan Draft RUU akan berpotensi Tumpang tindih sekaligus ketidakpastian hukum yg diaturnya. 

Sebagai mantan Anggota DPR-Ri di Komisi 1 yang menangani juga soal Pers dan Kominfo, bahkan sempat juga menjadi Anggota BaLeg DPR-RI selama sekitar setahun, mulai 2016-2017, saya sangat bisa memahami kejanggalan yg dirasakan oleh Insan Pers hari-hari ini.

Meski asumsi tersebut dibantah oleh beberapa Anggota Komisi 1 sekarang dan mereka kompak mengatakan bahwa DPR tidak memiliki maksud / tujuan untuk melemahkan keberadaan pers dan masih membuka ruang kepada insan pers, masyarakat sipil dan para pegiat untuk membantu menyempurnakan revisi RUU Penyiaran tersebut, namun sekali lagi wajar bilamana masyarakat sekarang memang harus mewaspadai ketidaksinkronan antara statemen yg disampaikan sebelumnya dengan hasil akhir yang terjadi. 

Baca juga: Resep Telur Congkel Jajanan Anak SD

Sebab contohnya sudah sering, misalnya dalam RUU Cilaka yg akhirnya jadi UU Ciptaker sekarang, banyak sekali terjadi ketidaksesuaiannya dalam pelaksanaan dan sangat merugikan masyarakat.

Mengapa Jurnalisme Investigasi ini menarik? 

Karena selain yang ada di media cetak dan online, visualisasi tayangan jenis ini di media elektronik memang menempati posisi tersendiri bagi masyarakat. 

Paska Indonesia memberi kebebasan untuk Stasiun TV swasta menayangkan berita, maka sejak 1989 saat RCTI dan SCTV menyusul di tahun 1990 memiliki program jenis ini langsung diminati masyarakat. 

Sejarah mencatat, banyak nama acara unggulan stasiun-stasiun TV tersebut telah akrab di sanubari masyarakat, mulai dari SiGi (SCTV), BuSer (SCTV), Metro Realitas (MetroTV),Telusur (TVone), Kupas Tuntas (TV7), Berkas Kompas (KompasTV) sampai kepada Program-program yang menggunakan nama Anchornya sendiri : Aiman (KompasTV), AFD Now / Alfito Deanova (CNN), Rosi (KompasTV), Ni Luh (KompasTV), Rully Files (CNN) dan sebagainya.

Baca juga: Siap Maju di Pilkada Kendal, Wakil Bupati Ambil Formulir di PKB

Tidak jarang bahkan pembuatan liputan Jurnalisme investigatif di atas beresiko kepada jurnalis/reporternya, misalnya yang barusan dialami oleh salah satu Jurnalis senior dari sebuah TV Swasta saat Pemilu 2024 kemarin. 

Meski sempat diproses dan berjalan kasusnya, alhamdulillah dalam perkembangannya pelapor kemudian mencabut pengaduannya dan kasus tersebut dihentikan penyidikannya, meski sudah sempat dilakukan beberapa kali pemanggilan kepada sang Jurnalis bahkan penyitaan barang bukti dari yang bersangkutan meski statusnya masih sebagai saksi. 

Dalam kasus tersebut sebenarnya UU Pers sekali lagi sudah cukup bisa digunakan untuk menjembatani bilamana terjadi ketidaksesuaian pendapat antara satu pihak dengan pihak lain.

Oleh karenanya bilamana mendatang dalam RUU Penyiaran justru akan diberikan tambahan kepada KPI utk "cawe-cawe" dalam urusan materi jurnalistik, dikhawatirkan malah bisa terjadi saling sengkarut alias tumpang tindih kepentingan dari dua lembaga yg sebenarnya sudah punya tupoksi masing-masing, yakni Dewan Pers dan KPI. 

Baca juga: 508 pegawai PPPK Formasi Tahun 2023 Terima SK,Ini Pesan Sulpakar.

Bisa jadi justru masalahnya tidak cepat selesai sebagaimana penyelesaian sistem Mediasi seperti yang dilakukan Dewan Pers selama ini, namun berbuntut panjang karena melibatkan banyak pihak dan metode penyelesaian yang berbelit karena perbedaan mekanisme penyelesaiannya.

Memang Revisi atau Pergantian UU adalah suatu hal yang diperlukan bilamana UU eksisting dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakatnya, misalnya Revisi UU ITE / Informasi dan Transaksi Elektronik No 11/2008 menjadi UU No 19/2016 dan terakhir sekarang UU No 01/2024. 

Sementara ada juga UU lain yg sebenarnya sudah ketinggalan jaman karena teknologinya banyak yg sudah berkembang, yakni UU Telekomunikasi No 3/1989 yg revisi terakhirnya adalah UU No 36/1999 alias sudah berusia 25 tahun dari sekarang padahal Dunia Telekomunikasi sudah sangat berkembang dibandingkan tahun awal Millenium tahun 2000 lalu.

Kesimpulannya, kalau UU memang sudah saatnya direvisi karena sudah tidak sesuai jamannya lagi adalah hal yang wajar dan tidak akan menimbulkan pertanyaan. 

Baca juga: Polda Kalsel Ungkap Penyelewengan 4 Ribu Liter BBM Bersubsidi Ilegal di Martapura

Namun jika UU yg masih berjalan baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat mendadak ada (kepentingan ?) untuk diganti atau ditambahkan hal-hal yang justru menarik mundur alias mengekang demokrasi, tentu hal ini pantas menjadi pertanyaan besar: Ada apa (apanya?) di balik itu semua? 

Mengapa justru terkesan akhir-akhir ini reformasi makin jauh dari Harapan, demokrasi dikebiri dan malah korupsi, kolusi, nepotisme makin menjadi-jadi? 

Siapa lagi yang bisa mengkritisi kalau pers yang sehat dan bertanggungjawab malah dibungkam? Miris, benar2 Indonesia Emas 2045

akan menjadi Indonesia cemas kalau demikian ...

Berita Terkini