bjb Kredit Kepemilikan Rumah
Helo Indonesia

May Day, Kondisi Hidup Kaum Buruh Makin Merosot, UU Cipta Kerja Bawa Malapetaka

M. Haikal - Nasional
Selasa, 30 April 2024 19:11
    Bagikan  
May Day
Foto: tangkapan layar

May Day - Aksi buruh menjelang peringatan May Day pada 1 Mei.

HELOINDONESIA.COM - Kondisi kaum buruh saat ini menjadi lebih parah paska disahkannya Omnibus Law Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Sunarno secara umum terdapat beberapa masalah krusial pada UU Cipta Kerja sehingga berdampak buruk pada kesejahteraan kaum buruh.

"Seperti halnya fleksibilitas tenaga kerja, Omnibus Law Cipta Kerja telah menghilangkan jaminan kepastian kerja, yaitu dengan bertambahnya jangka waktu perjanjian sistem kerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)," ujar Sunar yang menjadi salah satu kordinator Gerakan Aksi Bersama Rakyat (Gebrak).

Ketentuan batas waktu maksimal dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang semula (UU 13/2003) maksimal paling lama 3 tahun dengan satu kali perpanjangan kontrak 2 tahun dengan tambahan maksimal 1 tahun, sekarang perjanjian kerja kontrak menjadi maksimal hingga 5 tahun.

Baca juga: Penumpang KM Lawit asal Wonosobo Melompat ke Laut, Tim SAR Terus Lakukan Pencarian

Artinya dengan durasi kontrak kerja yang panjang tersebut, maka buruh semakin tidak memiliki jaminan kepastian kerjanya alias sulit diangkat menjadi pekerja tetap atau Perjanjian Waktu Kerja Tidak Tertentu (PKWTT).

"Hal ini diperkuat dengan adanya PP No 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya, waktu kerja dan istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). System Kerja Outsourcing atau Alih Daya semakin diperluas. Sebelumnya soal outsourcing/alih daya diatur dalam pasal 64-66 UU 13/2003," papar Sunar.

Selanjutnya, sejak diberlakukan UU 6/2023 kemudian diatur lagi dalam PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan
Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Dengan dihapuskannya pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan sistem alih daya (outsourcing) Perusahaan penyalur tenaga kerja, sehingga dalam prakteknya para buruh yang bekerja di berbagai jenis pekerjaan dapat dikerjakan dengan sistem outsourcing atau alih daya.

Baca juga: Hari Kedua Tim Penilai Lomba Desa di 2 Desa.

"Artinya dengan perluasan jenis pekerjaan tersebut, maka segala permasalahan ketenagakerjaan yang timbul dalam hubungan industrial, maka banyak perusahaan yang
sudah tidak lagi berhubungan langsung dengan para buruhnya, meskipun setiap hari para buruh bekerja diperusahaan tersebut," jelasnya.

Karena perusahaan menganggap bahwa permasalahan ketenagakerjaan atau perselisihan hubungan industrial tersebut adalah menjadi urusan pihak perusahaan penyalur tenaga kerja.

Tak hanya itu, menurut Sunar, masalah lainnya adalah politik upah murah. Sejak tahun 2021 pasca Omnibus Law Cipta Kerja diberlakukan pemerintah menghapuskan variabel kebutuhan hidup layak sebagai pertimbangan dalam penetapan upah minimum sebagai rujukan penghitungan upah minimum yang berdampak pada bergesernya konsep perlindungan pengupahan secara luas. Sehingga Kenaikan upah tidak akan pernah mencapai kebutuhan hidup layak.

Pemerintah Mengeluarkan PP No.36 Tahun 2021 lalu direvisi menjadi PP No.51 Tahun 2023 tentang Pengupahan, yang menggunakan 3 variabel: pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu dengan rumus x yang justru mengurangi nilai angka upah buruh.

Baca juga: Madura United Lolos Championship Series, Arema Lolos Dari Degradasi, Berikut Hasil Selengkapnya

Pengurangan upah buruh yang paling mencolok adalah terkait upah sektoral yang sudah tidak diberlakukan lagi sejak tahun 2021 dan tidak ada kenaikan lagi hingga sekarang.

Bahkan, di awal tahun 2023 Menteri Ketenagakerjaan juga menerbitkan Permenaker No.5/2023 yang melegitimasi pemotongan upah buruh hingga 30 %/bulan dan perubahan waktu kerja sepihak bagi buruh di sektor industri padat karya berorientasi ekspor, dengan alasan mencegah PHK, karena kriris ekonomi global.

PHK dipermudah

Dengan adanya fleksibilitas sistem kerja kontrak maupun outsourcing pasca omnibus law cipta kerja maka secara otomatis pemutusan hubungan kerja (PHK) kaum buruh menjadi lebih mudah, karena proses PHK bisa hanya melalui pemberitahuan pengusaha kepada buruh tanpa didahului dengan perundingan.

Hal ini yang kemudian mengakibatkan ledakan angka buruh yang di-PHK sepanjang UU Cipta Kerja diberlakukan yang memanfaatkan mendompleng pandemic covid.

Baca juga: SMAN 1 Simpang Pematang Gelar Perpisahan

Sehingga Semangat dan tujuan untuk menciptakan lapangan kerja justru kontradiktif dengan realita di lapangan, yang tentunya juga berkaitan dengan perubahan nilai pesangon yang semakin kecil.

Pengurangan hak pesangon kaum buruh, yang sebelumnya dengan perhitungan 2 x PMTK bisa mencapai 32 bulan gaji, saat ini maksimal hanya 1,75 PMTK dengan maksimal perhitungan 25 bulan gaji, yaitu pesangon 19 bulan gaji ditambah 6 bulan gaji diambil dari JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) berdasarkan Peraturan Pemerintah No 36.

Bahkan pengurangan hak pesangon buruh yang di-PHK dengan alasan perusahaan merugi tanpa dilakukan metode audit berdasarkan ketentuan hukum dan perusahaan tidak tutup, maka pesangon buruh yang sebelumnya sebesar 2 PMTK kini dikurangi menjadi hanya 1 PMTK.

Terkait PHK karena perusahaan merugi dan tutup, hak pesangon buruh yang sebelumya 1 PMTK dikurangi menjadi hanya 0,5 PMTK.

Baca juga: Madura United Lolos Championship Series, Arema Lolos Dari Degradasi, Berikut Hasil Selengkapnya

UU Cipta Kerja juga sangat mengurangi kontrol negara terhadap hubungan kerja, karena banyaknya hal yang dikembalikan pada mekanisme kesepakatan para pihak, seperti soal batas waktu PKWT dan hak istirahat panjang yang bisa disepakati dalam perjanjian kerja.

Secara Sosiologis-empiris, pengaturan seperti ini sangat merugikan pekerja karena ketimpangan antara pekerja dan pengusaha membuat pekerja tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam melakukan perundingan dua arah secara berkeadilan.