Kalah Bukan Soal, Sebab Kita Masih Punya Rasa Dendam

Sabtu, 1 Juli 2023 06:14
(Foto Ist)

Oleh Robby Aslam*

KELUARGA Alumni UKMBS Unila (KAULA), hingga Selasa malam (27/06/2023), tetap istiqomah melakukan kegiatan rutin yang bertajuk "Satu Malam Dua Tujuan" di Graha Kemahasiswaan Universitas Lampung. Kegiatan itu dihadiri oleh berbagai kalangan dengan latar belakang yang berbeda-beda, tetapi memiliki arah dan mimpi yang sama.

"Seni, Pemoeda, dan Pergerakan" menjadi tema yang diangkat malam itu. Menghadirkan pembicara: Ari Pahala Hutabarat (Pemerhati budaya), Neri Juliawan (Aktivis Kaula), dan Chepry Chairuman Hutabarat (Pendiri Klasika). Seperti biasa, acara dimulai pukul 19.30 dan dibuka dengan beberapa buah lagu yang dilantunkan oleh pemusik Orkes Bada Isya.

Di awal perbincangan, Ari Pahala Hutabarat (APH) mengajak kita untuk melihat lebih jauh, bahwa seni memiliki kapasitas untuk mempertanyakan kembali dogma-dogma atau kode-kode normatif yang dipakai untuk memahami dunia. "Seni memiliki paham bahwa realitas atau kenyataan yang kita jalani saat ini tidak pernah bersifat netral. Ia merupakan buah dari konstruk para penguasa. Bukan *given* atau situasi terberi dari Tuhan," katanya.

APH mengajak kita memahami bahwa seni dan pemuda memiliki watak yang sama sebagai "penggugat". Dua hal tersebut sama-sama punya peran untuk menolak sesuatu yang dianggap stabil dan menempati posisi yang sama sebagai oposan. Tugas utamanya adalah memberikan tandingan dari semua wacana mapan yang ada di peradaban. "Sebab itulah, jika ada individu yang ngakunya seniman atau pemuda tapi masih terseret arus mainstrem, maka ketahuilah bahwa kalian telah dihegemoni!" ujarnya dengan nada meninggi.

Baca juga: Kelebihan Honor, Kepala BPPD BL Minta Tim Satgas Covid Kembalikan

Neri Juliawan, pembicara berikutnya, menyambung dengan pernyataan bahwa tidak ada satupun sejarah yang tidak dimotori oleh pemuda. Hal ini mesti dijadikan semangat bahwa pemuda saat ini harus memiliki kesadaran bersama atas ketertindasan apabila revolusi sebagai jalan menuju perubahan.

Ia memulai dari sejarah sumpah pemoeda. Menurutnya sumpah pemoeda terjadi dikarenakan para pemuda waktu itu memiliki imajinasi yang sama tentang toleransi dan nilai yang menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan. Oleh karenanya, jika pemuda tidak memiliki imajinasi tentang apa yang ingin dicapai, apa yang ingin dibentuk, keadaan seperti apa yang diharapkan ke depan, maka yang ada hanyalah kegelapan. Problemnya, apakah pemuda saat ini memiliki visi dimaksud. Ada kecenderungan mereka pasrah dan menganggap realitas merupakan suatu kebenaran mutlak.

Realitas hari ini, masyarakat kita hidup dalam sebuah ilusi yang diciptakan oleh para penguasa. Sebuah dunia yang semata didesain hanya untuk kepentingan ekonomi dan politik. Sebuah dunia yang di dalamnya terdapat ‘gerombolan’ atau sekumpulan makhluk yang selera, opini, sikap, cita-cita, nasib, hingga orientasi hidupnya digantungkan pada kuasa di luar dirinya. Si miskin tetap jadi miskin dan si kaya makin jadi kaya raya.

Realitas dunia inilah yang akan mengantarkan kita menuju ke ketidaksadaran. Penguasa tidak menginginkan warganya memiliki imajinasi. Bungkam, turuti, patuhi, jangan membantah, dan jalani saja, itulah yang mereka harapkan. Kita tertunduk, kepala diinjak, gerak dibatasi, dan pada akhirnya, hanya bisa berdoa di dalam hati tanpa bisa melakukan apa pun. Atas ujaran ini, peserta terdiam, tak merespon, tapi dari sinar mata mereka terlihat ada kemarahan yang sama atas realitas yang ada saat ini.

Chepry Chairuman Hutabarat, pembicara selanjutnya, menggiring para peserta ke persoalan-persoalan yang lebih kompleks. Ia mengatakan bahwa peran guru menjadi penting untuk terciptanya suatu pemberontakan atau gugatan-gugatan saat kita merespon realitas.

Baca juga: Man United Bakal Rekrut Onana Gantikan David De Gea

Problemnya, peran fundamental dan strategis guru saat ini diabaikan. Di mana guru yang merupakan wujud dari gaya tarik untuk mencapai kesadaran, justru tidak lagi dianggap relevan. Guru yang dianggap ideal dan keren hari ini adalah medsos, internet, atau apapun sebagai pusat informasi. Padahal kita tau, itu semua jelas-jelas dibuat oleh para penguasa untuk mengkondisioning kita agar selalu berada dalam ketidaksadaran. Membuat kita menjadi konsumtif dan hal-hal lain yang mematikan daya hidup manusia.

Akibatnya, sikap kritis hilang, cenderung pasif, apatis, dan tidak tahu sedang berdiri di mana saat ini. Kita tidak sadar bahwa ada kekuatan besar yang mengkondisioning kita, dan kita tidak tahu siapa yang kita hadapi saat ini.

Chepry Chairuman Hutabarat atau yang akrab dipanggil Bang Che kembali meneruskan pandangannya terhadap pemuda yang kehilangan daya juang. Ia melihat fakta sejarah ketika Indonesia berada diantara dua ideologi besar yang saling berlawanan yaitu komunisme dan kapitalisme, yang berhasil menstimulus seluruh arus gerak kehidupan sosial politik masyarakat dunia.

Namun, setelah tembok Berlin runtuh dan Uni Soviet berubah menjadi Rusia, kapitalisme keluar sebagai pemenang dan pemain tunggal yang mengatur peradaban.

Kapitalisme telah berhasil menanamkan ideologinya di kepala kita semua bahkan sampai ke hati, dan menentukan seluruh gerak dan langkah kita, hingga kita tak lagi punya tak visi dan imajinasi.

Ujaran Bang Che ini disamber oleh APH dengan narasi tegas "Bukanlah manusia jika tidak memiliki visi atau imajinasi. Oleh sebab itu, jika pemimpin, penguasa tidak punya visi kebudayaan maka dia bukanlah manusia! Bisa jadi bentuknya manusia tapi level jiwanya mungkin masih ayam,” ujarnya.

Baca juga: Prancis Rusuh Paska Polisi Tembak Mati Remaja, 40.000 Petugas Dikerahkan

APH melanjutkan bahwa kondisi hari sangat mirip dan memprihatinkan, nyaris tidak ditemukan sesorang ataupun sebuah grup yang tetap berani, konsisten, gagah berdiri di tengah arus mainstream yang sangat tidak waras dan membodohkan. Kita semua tidak lagi berani bercita-cita, berani bersikap berbeda, karena takut dianggap aneh dan nyeleneh, dalam arus yang nyaris seragam dalam balutan paham kapitalisme.

Melihat kondisi demikian, dibutuhkan orang-orang, entitas-entitas, dan group-group yang tetap konsisten, berdiri gagah menentang kestabilan dan kebenaran palsu, walau dalam kondisi sepi bahkan sendiri sekalipun.

APH bertutur akan kisah Ho Chi Minh, seorang tokoh revolusi Vietnam. Pada sebuah wawancara dengan wartawan, Ia mengatakan, “Prancis boleh mengambil apa saja dari negeri kami: kekuasaan, kekayaan, sumber daya, semuanya. Tapi ada satu hal yang lupa mereka ambil, dan karena itulah mereka akan jatuh. “Apa itu?” ujar wartawan. “Rasa dendam,” jawab Ho Chi Minh.

Rasa dendam itulah yang terus dipelihara oleh Ho Chi Minh sampai Prancis menemui kekalahan.” ujar APH tegas.

Dari cerita itu, APH mengajak kita untuk konsisten melawan arus mainstream dan kemapanan palsu yang kita rasakan. "Bukan menjadi soal bahwa kenyataan sekarang kita kalah, tapi rasa dendam (visi) harus terus dijaga, imajinasi imajinasi liar terus dihidupkan, suara kita harus tetap lantang, dan mata kita harus tetap melotot." Agar elan vital untuk menjadi pemenang peradaban dimasa depan bisa kita wujudkan.

***

*) Aktivis Kaula, Basis Orkes Bada Isya.

Berita Terkini

Buyan

Opini • 4 jam 47 menit lalu