Helo Indonesia

Membedah Makna Beradu Punggungnya Sandiaga-Anies

Nabila Putri - Lain-lain
Senin, 5 Juni 2023 09:45
    Bagikan  
Prof. Sudjarwo

Prof. Sudjarwo - (Foto Ist.)

Oleh Sudjarwo*

TULISAN ini terinspirasi berita yang disajikan oleh media yang kita baca ini tentang pernyataan politikus nasional Sandiaga Uno, calon wakil presidennya Prabowo Subianto pada Pilpres 2019. Jelang Pilpres 2024, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) ini terang-terangan beradu punggung dengan bakal calon presiden Anies Baswedan.

Walau persahabatannya dengan Anies yang telah didukung PKS dan Nasdem sebagai bacapres, Sandiaga mengatakan punya visi dan gagasan yang berbeda dengan Anies. Dia mengatakan gagasannya kini mempercepat pembangunan, bukan perubahan yang digadang-gadang Anies menuju Pilpres 2024.

Banyak pihak yang terkejut dengan pernyataan ini, namun sejatinya hal itu lumrah dalam dunia politik yang memiliki jargon “tidak ada teman abadi kecuali kepentingan”.

Bingkai tulisan di atas sebagai penggantar untuk berfikir apa sebenarnya makna “beradu punggung” itu sejatinya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), beradu punggung adalah ungkur. Arti lainnya, berungkuran. Ada lagi yang memberi batasan “saling membelakangi”.

Tampaknya diksi yang terakhir ini lebih tepat untuk digunakan sebagai pisau analisis dari fenomena beradu punggung. Bagaimana kekejaman (kata ganti halus dari kebiadaban) manusia dalam mengukuhkan diri atas kekuasaan yang dimiliki.

Tidak bisa terbayangkan sebelumnya suami-istri yang diikat oleh pertalian sakral dengan label pernikahan, dapat bersikap atas dasar pilihan politik yang berbeda, harus beradu punggung dengan suami, sebagai imam dalam kehidupannya.

Semua dialaskan atas nama demokrasi dan hak dasar manusia; yang semua itu mengalahkan aturan “ketuhanan” sebagai tataaturan kehidupan, yang keberadaannya jauh sebelum manusia itu lahir di dunia.

Sahabat karib yang selama ini semakan-setidur; bisa bubar hanya karena memiliki pilihan yang berbeda. Betapa banyak anak durhaka dengan orangtua karena didorong oleh sikap pilihan politik yang berbeda.

Bagaimana yunior yang selama ini dibina untuk tumbuh dewasa, ternyata dengan tega mengayunkan pedang memenggal kepala sang senior; hanya karena beda ambil posisi.

Betapa runyamnya dunia saat berhadapan dengan kontestasi politik yang tidak disikapi dengan “dewasa” dalam berpolitik. Pemahaman akan hakekat perbedaan tampaknya masih banyak gagal dalam aspek ontology.

Haru biru epistemology dan axiology ternyata membutakan mata hati untuk melihat dunia lebih jernih. Lebih ironis lagi kondisi ini melanda banyak orang pandai dalam ukuran kognisi, namun tidak beriringan dengan kedewasaan konasi dan afeksi.

Berebut “kursi” menjadi semacam tujuan hidup, padahal Ayatul khursi sudah dihadirkan sebagai pengingat, bahkan sangat lancar saat membacanya; namun menjadi kering saat mengamalkannya.

Memperkosa perasaan sendiri untuk tidak taat, bahkan ingkar, terhadap berbuat baik dalam ukuran etika; menjadi tontonan yang tidak layak ditonton. Anehnya saat sekarang hal seperti itu dianggap sebagai sesuatu yang lumrah terjadi dan layak dipertontonkan kepada publik.

Seolah urat malu sudah putus sehingga “menelanjangi diri sendiri” di muka khalayak sudah merupakan sesuatu yang biasa. Pembenaran akan suatu kealpaan cukup dengan ucapan “maaf” sudah dianggap selesai; sementara perbuatan itu berulang dikemudian hari, itu soal lain.

Rangkain perbuatan dianggap segmented, bukan long term; sehingga banyak hal menjadi beradu punggung karena soal remeh temeh.
Penghargaan yang semula tumbuh karena “rasa takzim”, berubah menjadi “permintaan” untuk dihargai.

Tentu saja akan mendistorsi kewibawaan dari suatu label status, akibatnya orang hanya membungkukkan kepala saat berhadapan, dan mencibirkan bibir saat beradu punggung. Ternyata Filsafat Ethika sudah lama tercerabut di negeri ini, yang tinggal hanya robot-robot bernyawa yang bergerak karena mekanistik, sebagai bungkus kepentingan, apapun namanya.
Salam Senin ceria.

*Pemerhati Pendidikan dan Sosial