Helo Indonesia

Bernafas Dalam Lumpur

Nabila Putri - Lain-lain
Kamis, 11 Mei 2023 08:53
    Bagikan  
Prof. Sudjarwo
(Foto Ist.)

Prof. Sudjarwo - (Foto Ist.)

Oleh Prof. Sudjarwo*


JUDUL tulisan ini terinspirasi dari judul film Indonesia pada tahun 1970. Film yang menggegerkan publik masa itu, judul film yang memiliki kesan kuat dan jalan cerita kontroversial pada masanya. Bisa dikatakan, film ini pendobrak "film panas" di Indonesia.

Di Bandung, film ini bahkan sempat dilarang diputar oleh Kodim setempat. Film yang kemudian dapat dikatakan menjadi pendobrak film-film panas penuh adegan seks, pemerkosaan dan dialog kasar.

Setelah Bernapas dalam Lumpur, muncul film-film sejenis yang menonjolkan seks seperti Tiada Maaf Bagimu, Manager Hotel dan Di Balik Pintu Dosa. Film berbumbu seks menjadi tontonan laris saat itu.

Bernapas Dalam Lumpur diadaptasi dari sebuah novel karya Asbari Nurpatria yang disutradarai oleh Turino Junaidy serta dibintangi oleh Rachmat Kartolo dan Suzanna.

Sinopsinya, Supinah yang kemudian bernama Yanti (Suzzanna) terpaksa meninggalkan anaknya di kampung untuk mencari suaminya yang merantau ke Jakarta. Harapannya pupus, sang suami ternyata sudah menikah lagi dan malah mengusirnya.

Dalam keadaan terlunta-lunta, ia terperangkap dalam jaringan perdagangan wanita. Pertemuannya dengan Budiman (Rachmat Kartolo), anak orang kaya yang sedang bertaruh dengan kawan-kawannya agar membawa pacar pada suatu pesta adalah awal dari perubahan perjalanan hidup Supinah.

Lewat liku-liku peristiwa yang dialami keduanya, Supinah dan Budiman, mereka akhirnya menikah di kampung halaman Supinah. Film ini direlis ulang tahun 1991 dengan bintangnya Meriam Bellina dan Rano Karno. Film ini tidak meledakan seperti film versi awalnya.

Kita tinggalkan sejarah perfilman. Saat ini, ternyata, bernafas dalam lumpur itu menjadi kehidupan sehari-hari dalam makna lain. Mereka yang dirundung kesulitan hidup diibaratkan bak hidup bernafas dalam lumpur, pagi makan, entah siang nanti; apalagi sore belum jelas adanya.

Bisa juga mewakili mereka yang berpenghasilan hanya sampai hari ketujuh tiap bulannya. Hari kedelapan sampai ke tigapuluh satu, mereka harus bernafas dalam lumpur. Kesulitan ekonomi melilit kehidupan mereka, sehingga harus berjuang untuk keluar dari kemiskinan bak keluar dari kubangan lumpur.

Namun bisa jadi kondisi itu mewakili pejabat yang mengalami kesulitan karena wilayahnya banyak infrastrutur yang bagai kubangan kerbau, sehingga dirinya seolah bernafas dalam lumpur; karena harus putar otak bagaimana mengatasi kendala yang ada.

Demikian juga masyarakat yang terdampak akan adanya kubangan di jalan; seolah mereka juga harus terengah-engah bernafas dalam lumpur, mencari celah agar tidak terperosok ke dalam kubangan.

Akan tetapi jauh lebih terasa manakala kita sebagai manusia mau merenung sejenak bahwa; dalam kehidupan ini kita sendirilah yang menggali lubang berlumpur setiap hari, manakala kita tidak mau mensyukuri akan nikmat yang Tuhan berikan.

Bahkan pengingkaran akan kesalahan atau kealpaan yang kita perbuat, kemudian melimpahkannya kepada orang lain. Itu berarti kita sedang melakukan penzholiman kepada pihak lain, untuk ikut sekaligus menanggung beban akan perbuatan kita; inilah sebenarnya bernafas dalam lumpur dalam arti sesungguhnya.

Bagaimana dalamnya lumpur yang kita gali jika kita yang berbuat orang lain yang kita minta untuk turut serta menanggungnya.

Pengingkaran akan kesalahan yang kita perbuat, yang seharusnya dengan kesatria kita tampil mengakuinya; apalagi itu dihadapan persidangan dunia dalam rangka pembelaan diri; maka sejatinya kita sudah melakukan kesalahan dua kali; pertama dzholim terhadap diri sendiri, kedua dzholim terhadap pihak lain yang dengan sengaja kita ciderai.

Tulisan ini bukanlah khotbah singkat, akan tetapi merupakan rambu-rambu sosial yang seharusnya sudah dimiliki oleh mereka yang memposisikan diri sebagai pemimpin.

Sesuai pepatah Minangkabau, yang namanya pemimpin itu didahulukan selangkah, ditinggikan seranting; oleh karena itu semua perbuatannya harus berorientasi kepada yang dipimpinnya bukan kepada diri atau kelompoknya.

Peristiwa masa lalu masih dapat dengan jelas kita baca, baik berupa sejarah atau ephos karya sastra orang terdahulu yang dapat kita jadikan suritauladan (termasuk sinopsis film di atas).

Hanya saja, apakah kita membacanya itu dengan hati, atau membacanya dengan suara. Tampaknya Pendidikan Budi Pekerti dan Pendidikan Membaca Dalam Hati seperti era tahun enampuluhan untuk Pendidikan Dasar perlu dihidupkan kembali, agar bangsa ini tidak kering akan “olah rasa” bukan hanya “olah pikir dan olah raga saja”.

Rasa sebangsa dan setanah air yang semula dipupuk dengan tegang rasa, seolah terkikis karena jebakan olah pikir yang begitu masif. Dominasi pikir dan raga seolah menepikan rasa, sehingga anak muda tidak tau etika, orangtua tidak tahu harus bagaimana.

Tampaknya kita terkondisi oleh situasi untuk bernafas dalam lumpur bersama.
Mari kita tidak perlu memutar kain sarung hanya ingin mencari tepinya, tetapi mari melangkah bersama untuk mencari solusi demi penyelamatan negeri dan masa depan generasi.

* Guru besar di Pascasarjana GKIP-Unila