Helo Indonesia

Dilemma Spa Dikenakan Pajak Hiburan, Ada Pertentangan Antara Peraturan Menteri dan UU No 1 Tahun 2022

M. Haikal - Ragam -> Kesehatan
Jumat, 12 Januari 2024 19:22
    Bagikan  
Dilemma spa
Foto: tangkapan layar

Dilemma spa - Direktur Lembaga Sertifikasi dan Profesi (LSP) Pariwisata, Akhyaruddin Yusuf.

HELOINDONESIA.COM - Kenaikan pajak hiburan yang membuat resah para pengusaha spa di Bali yang terjadi dalam sepekan ini mendapat sorotan para pelaku pariwista.

Salah satunya dari Direktur Lembaga Sertifikasi dan Profesi (LSP) Pariwisata, Akhyaruddin Yusuf.

Soal kenaikan pajak spa dan tempat hiburan 40% hingga 75% itu karena banyak orang tidak paham dengan kebugaran.

"Kalau diskotik, tempat hiburan seperti karaoke menjual bisnis lain, tapi kalau spa menjual kebudayaan, aromaterapinya juga berdasarkan budaya," ujar Achyaruddin pada Jumat (12/1/2024).

Mantan Direktur Pengembangan Wisata Minat Khusus, Insentif, Event Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) ini mengatakan bahwa kenaikan pajak untuk spa wellness itu karena UU No 1 Tahun 2022.

Baca juga: Memaknai Malam 1 Rajab dan Doa Beserta Amalan-amalan yang Harus Dilakukan!

"Ada kesalahpahaman memaknai hiburan dan rekreasi untuk dunia spa. Sehingga mereka melihat bahwa ini rekreasi dan hiburan, bukan spa kesehatan dan kebugaran. Masalah itu sudah lama terjadi sejak saya menjabat (di pemerintahan) sampai sekarang," tuturnya.

Meski Menparekraf Sandiaga Uno juga sudah menyampaikan bahwa spa bukan masuk kategori sebagai pajak hiburan, menurut Achyaruddin, kenaikan pajak buat spa tak terhindarkan.

"Masalah ini sudah terjadi sejak saya menjabat di kementerian, bahkan menteri sudah membuat surat edaran, keputusan dan ketentuan bahwa spa itu tidak dikategorikan pajak hiburan. Tapi kenyataannya teman-teman di Bali melihatnya UU No 1 Tahun 2022 tentang keseimbangan keuangan pemerintah daerah dan pusat. Jadi begitu keluar peraturan pemerintah no 35 Tahun 2023 tentang pajak distribusi, mereka melihat UU No 1 Tahun 2022, spa adalah bagian hiburan dan rekreasi," paparnya.

Di satu sisi, lanjut Achyaruddin, Menparekraf sudah menyatakan di tahun 2021 bahwa spa bukan dari hiburan umum, tapi lebih pada pusat kebugaran dan kesehatan.

Baca juga: Makanan Pengganti Nasi yang Cocok untuk Diet Sehat

"Undang-undang itu DPR, inisiasinya departemen keuangan dan departemen dalam negeri. Menparekraf juga ada di pusat. Jadi ada pertentangan antara UU dan peraturan menteri. Karena ini sudah menjadi dilemma yang sudah lama sekali, tapi kan dulu kementerian pariwisata punya power, mereka memungut pajak paling besar 15% dan itu wajar," jelasnya.

Ironisnya, lanjut Achyaruddin, di era ke depan ini cara berfikir siapa yang salah dan benar kalau republik Indonesia ada kebijakan di antara kementerian dan lembaga negara yang tidak sinkron. Kementerian pariwisata ingin pariwisata bisa menumbuhkan ekonomi masyarakat, di satu sisi ada orang yang berfikir yang penting pajak.

"Dampaknya ini mempengaruhi investasi di bidang kebugaran dan kesehatan yang saat ini sedang menggerakkan Etna Prana yakni pusat kebugaran berbasis kebudayaan Indonesia," ujarnya.

Dikatakannya, meski Menparekraf sudah menegaskan bahwa spa tidak masuk dalam pajak hiburan, namun pelaksanaannya tidak bisa karena adanya UU No 1 Tahun 2022 pasal 50 tentang keuangan pusat yang berbunyi bahwa keuangan daerah yang di dalamnya ada diskotik, bar, karaoke dan tertulis ada spa.

Baca juga: Caleg PKB Tertipu Sabun Cuci Piring Berbau Air Comberan, Ribuan Botol Sudah Tersebar ke Masyarakat Kota Tangsel

"Ini karena mereka melihat spa dalam kondisi sempit, supaya menyalahkan spa yang pusat rekreasi cuma seberapa. Atau dia suka ke situ (spa hiburan). Tapi nggak mau lihat spa yang benar-benar berasal dari kebudayaan Indonesia. Kasihan terapis spa yang berbudaya Indonesia itu orang-orang baik. Kalau dunia spa yang menggunakan pola rekreasi itu terapisnya nggak jelas," paparnya.

Menurutnya, tempat hiburan yang menggabungkan karaoke, diskotik dan spa itu nggak jelas itu dan jumlahnya tidak seberapa banyak.

"Dari ribuan yang mengkombinasikan seperti itu cuma seberapa. Masa' yang tidak seberapa itu bisa mempengaruhi spa yang benar-benar berbasis budaya. Kan gak logis," ucap Achyaruddin.

Saat menjabat sebagai Direktur Pengembangan Wisata Minat Khusus, Insentif, Event Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Achyaruddin sempat menginisiasi Indonesia Wellness and Healthcare Tourism (IWHT) yang bekerja sama antara kementerian pariwisata dan kementerian kesehatan.

Baca juga: Drama Korea My Demon Episode 13 Sub Indo

"Spa-nya harus berlogo. Kalau berlogo IWHT berarti spa yang benar kebugaran berbasis budaya. Kalau yang tidak berlabel itu nggak masuk IWHT. Keburu kadung saya pensiun dan rencana ini tidak diteruskan," ujarnya.

Soal adanya rencana judicial review PHRI, Achyaruddin mengatakan, nggak ada gunanya. Ditegaskannya, yang harus direview itu UU No 1 2022 pasal 50.