Helo Indonesia

Bustami Prihatin Budaya Lampung Terancam Punah

Nabila Putri - Hiburan -> Seni Budaya
Jumat, 28 Juli 2023 17:48
    Bagikan  
Tabikkkk Suhu

Tabikkkk Suhu -

LAMPUNG, HELOINDONESIA.COM - Keluarga Alumni UKMBS Unila (KAULA) dan segenap pemerhati kebudayaan di Lampung kembali berkumpul di Graha Kemahasiswaan Universitas Lampung dalam acara "Satu Malam 27an", Kamis (27/7/2023) malam.

Pada episode 21 ini hadir Senator Lampung Bustami Zainudin gelar Raja Sepulau Lampung sebagai narasumber, juga pemerhati budaya dan pemberdayaan masyarakat desa Neri Juliawan. Tema yang diangkat cukup menggelitik yaitu “Kebudayaan Lampung dalam Perspektif Senator”.

Ari Pahala Hutabarat (seniman & budayawan) yang mengaku separuh Lampung karena Ayah Batak dan Ibu asli Bumi Agung Lampung Utara yang didapuk menjadi moderator, membuka dialog dengan sangat cair dan "gayeng".

Dialog 27an dibuka dengan sangat manis oleh penampilan Orkes Bada Isya' dan kemudian dilanjutkan dengan diskusi yang membahas perihal kebudayaan di Lampung saat ini.

Sebagai prolog, Ari mula-mula menyajikan permasalahan kebudayaan di Lampung secara umum. Ia memaparkan bahwa kebudayaan adalah hasil respon manusia terhadap dirinya sendiri, manusia lain, lingkungan, hingga Tuhan. Kebudayaan merupakan semua hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Nilai itulah yang kemudian menjadi landasan utama dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kebudayaan merupakan identitas bangsaAri kemudian mengutip pemikiran Ir. Soekarno tentang Trisakti, ”Sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat perlu dan mutlak memiliki tiga hal: berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara kebudayaan.” Pemikiran original, local pride yang luar biasa keren.

Baca juga: Rutan Sukadana Jawab Adanya Kabar Prostitusi di Rutannya

Ari kemudian mengajak kita untuk melihat kondisi kita sekarang, memangnya kepribadian apa yang masih melekat di diri kita? Kita nyaris tak punya lagi identitas, kita habis-habisan digempur oleh kebudayaan asing, mulai dari Korea, Amerika hingga Eropa," tambahnya.

Sebagai kawan ngobrol, Neri Juliawan menggiring permasalahan menjadi lebih spesifik. Ia mengajak hadirin untuk menyoroti hal terkait implementasi UU Pemajuan Kebudayaan. Menurutnya selama ini, alih-alih berfokus pada nilai-nilai yang melekat pada diri masyarakat, kita hanya berfokus pada objek-objek ‘luaran’ kebudayaan saja.

“Kita hanya bermain di permukaan. Bicara kebudayaan, bukan sebatas memakai siger dan tapis. Intinya, strategi pemajuan kebudayaan tak bisa hanya berkutat pada benda, tapi juga pada manusianya. Mustinya objek kebudayaan itu inheren dalam masyarakatnya, ujarnya tegas.

Nara sumber utama malam itu, Bustami Zainudin Putra Asli Lampung Way Kanan membuka dialog dengan mengulik karakter dan filosopi dasar orang Lampung Piil Pesenggiri.

Orang Lampung punya piil, tidak boleh dimaknai secara sempit, sekedar merasa punya harga diri, dengan ekspresi mudah tersinggung dan marah. Bukan itu. Jati diri orang Lampung punya karakter yang kuat- tangguh, egaliter, terbuka. Karakter khas orang Lampung yang terbuka (nemui nyimah), suka bekerjasama, bergotong royong (sakai sambayan), bergaul-egaliter (nengah nyappur), dan punya juluk, adok (bejuluk adok) adalah satu kesatuan. Baik terinternalisasi secara individu maupun menjadi karakter komunal.

Bustami (gelar Raja Sepulau Lampung) mengambil contoh kongkrit dan spesifik mengenai masalah ini, yakni dalam konteks bahasa.

Baca juga: Tetapkan Kabasarnas Tersangka, KPK Minta Maaf

Saking terbukanya orang Lampung, menjadikan seluruh warga masyarakat yang tinggal di Lampung bisa dengan sangat nyaman menggunakan bahasa daerahnya masing masing.

Realitas yang menjadi keunikan dan kekuatan, tapi juga menyiratkan keprihatinan dan kegelisahan. Kalau kondisi ini terus berlanjut, bagaimana nasib budaya Lampung ke depan.

Bustami menjelaskan berdasarkan penelitian UNESCO, dalam tempo 20-30 tahun ke depan, bahasa Lampung diprediksi akan punah.

Menurutnya, selain karena populasi masyarakat bersuku asli Lampung yang sangat sedikit, yakni sekitar 13-20%, juga karena masyarakat Lampung sangat minim melakukan upaya-upaya untuk melestarikan budayanya kita sendiri.

"Mari lihat realitas di lapangan, hampir semua warga pendatang yang kemudian tinggal menetap, berkeluarga beranak pinak di Lampung, hidup nyaman dengan tetap memakai bahasa asal daerahnya masing masing. Orang Palembang tinggal di Lampung tetap dia bicara memakai bahasa Palembang, saudara kita yang dari tanah Batak tetap dengan fasih menggunakan bahasa Batak ya, yang dari Jawa, Sunda, Padang, dan Bali begitu juga. Giliran kita orang Lampung baru sehari dua hari tinggal di Palembang, udah ikut-ikutan pakai bahasa Palembang, nak kemano, berapo, Idak Katik dll," tambahnya dengan mimik serius.

Bagi Wakil Bupati - Bupati Way Kanan Periode 2005-2015, ini adalah kondisi yang memprihatinkan dan harusnya menjadi tamparan keras bagi para pemangku kebijakan.

Baca juga: Pencerahan, Titik Temu Hak Warga atau BUMN 329 Ha Lahan Wayberulu

“Lampung ini bagian dari NKRI, maka yang memiliki otoritas dalam hal ini adalah pemerintah, dan representasi pemerintah adalah pemimpin, mulai dari presiden, gubernur, bupati, walikota hingga jajaran terbawah pemimpin tiyuh/kampung/desa harus punya konsen dan komitmen yang sungguh dan nyata, begitu juga seluruh pihak yang kompeten dan masyarakat.

Para pemimpin punya tugas membuat kebijakan dan menerapkannya. Pemerintah harus hadir dan mau melakukan intervensi agar kebudayaan Lampung teristimewa wabil khusus bahasa Lampung bisa terselamatkan dan harus terus bisa dikembangkan,” tambahnya lagi.

Si Belang, (begitu juluk yang diberikan sang Paman kepada Bustami) memberikan apresiasi tinggi atas upaya Unila untuk terus membangun Bahasa Lampung melalui Program Studi Bahasa Lampung, bahkan sudah sampai pada program pasca sarjana (S2) Bahasa Lampung. Ini terobosan luar biasa. Namun demikian, Unila tidak bisa sendiri mesti mendapat suport dan lebih dari para pihak.

Pelestarian dan pengembangan Bahasa Lampung harus dilakukan secara holistik dan komprehensif. Karena kita tak bisa menutup mata, anak anak kita di Lampung betul mengenal dan bisa membaca huruf Lampung, tapi sangat sedikit yang bisa berbahasa Lampung.

Merespon ujaran dari para nara sumber, Fauzi Subing (Gelar Raja Penutup) sebagai ketua pelaksana kegiatan merasa bersyukur acara 27an bisa terus berjalan dan semakin membaik.

“Dari waktu ke waktu selalu hadir wajah-wajah baru. Malam ini juga turut hadir sahabat-sahabat dari DKL, Teater Satu, KoBer, Kelompok Studi Klasika, saudara saudara kita mahasiswa dari Patani, Sastrawan Lampung Isbedi Setiawan ZS, Udo Z Karsi, Arman Az, dan utusan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung dan Kota Bandar Lampung, sesuatu yang keren. Sayangnya, justru pihak Rektorat Unila sendiri tak menampakkan batang hidungnya. Saya berharap kepada teman-teman yang merasa jadi bagian dari gerakan ini untuk terus istiqomah, demi kemajuan Lampung ke depannya," katanya.

Baca juga: Pamer Alat Vital dan Cabuli Bocah SD, Tukang Kebon Bos Yayasan Pendidikan Terkenal Ditangkap Polisi

Mursalin (Gelar Raja Dermawan) anggota DPRD Lampung Timur, yang juga alumni UKMBS Unila, memberikan apresiasi tinggi kepada lembaga DPD RI yang menginisiasi penyusunan UU Pelestarian Bahasa Daerah. Jika usul inisiatif DPD RI ini bisa segera terwujud, tentu sungguh sangat bagi pelestarian dan pengembangan bahasa daerah ke depan, tak terkecuali bahasa Lampung.

Mursalin juga berharap, Senator Bustami juga bisa mendorong lahirnya Peraturan Daerah yang mewajibkan bagi setiap calon Bupati, Walikota, dan juga Gubernur di Lampung, jika dia bukan orang Lampung asli, untuk diLampungkan dulu sehingga siapapun yang nanti terpilih, dia adalah orang Lampung.

Terobosan ini mesti dilakukan sebagai upaya menjaga marwah dan bagian dari pembudayaan dan pelestarian Budaya Lampung. Damon Mak kham sapa lagi, Mak ganta kemeda lagi," ujar Mursalin dengan logat khas Lampungnya.

Beragam tanggapan dari peserta diskusi terus mengalir, saling melengkapi, yang intinya menyampaikan keresahan dan kegalauan akan nasib budaya Lampung ke depan, sambil terus berharap ada langkah langkah konkrit dan solutif tentang bagaimana Budaya Lampung mampu jadi tuan rumah dinegerinya sendiri.

Untuk melakukan upaya ini tentu membutuhkan sinergitas, kolaborasi dan kerjasama seluruh pemangku kepentingan, tak terkecuali kaum muda Milenial.

Dalam era yang serba digital ini, justru gaya dan model yang dilakukan oleh kaum Milenial terbukti dahsyat. Perlu tangan tangan kreatif model Bima dan Pandawara untuk pembangunan Budaya Lampung ke depan. (Gino Vanollie)