Helo Indonesia

Percaya Gak Sih Musik Keroncong itu Asalnya dari China? Antropolog UI Ini Beberkan Budaya Peranakan Semarang

Sabtu, 10 Juni 2023 14:05
    Bagikan  
Budaya Tionghoa,
Foto: ist

Budaya Tionghoa, - Masjid Cheng Ho dan Antropolog UI Dr Jajang Gunawaijaya.

HELOINDONESIA.COMTradisi budaya nusantara ternyata tidak semua murni merupakan warisan turun temurun nenek moyang Indonesia lho.

Ada sebagian merupakan campuran atau perkawinan dari budaya bangsa lain karena berbagai interaksi sosial masyarakat dunia.

Percampuran hasil budaya ini bisa saja berasal dari transaksi ekonomi dan perdagangan antarumat manusia dari satu wilayah negara atau kerajaan dengan kerajaan lain di jaman dulu.

Salah satunya adalah adat istiadat tradisi budaya kesehatan Peranakan Semarang.

Baca juga: Menko Luhut Ajak Anggota Banggar DPR Ikut Uji Coba Kecepatan 300 Km/Jam Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Mengapa disebut sebagai Peranakan Semarang?

Konon, dulu ada komunitas masyarakat keturunan Tionghoa yang lahir dan dibesarkan di kota Semarang, Jawa Tengah.

Dalam perjalanan sejarahnya, terjadi perkawinan atau percampuran antara warga Tionghoa asli dengan masyarakat pribumi.

Sehingga dari proses  perkawinan itu menghasilkan beragam budaya yang juga mencampur antara budaya lokal dan budaya Tionghoa.

Antropolog UI,  Dr Jajang Gunawaijaya mengungkapkan kepada Heloindonesia pada Sabtu (10/6/2023), Pengaruh Kebudayaan Tionghoa di Jawa sudah ada sejak jaman Kerajaan Singosari, Kediri, Majapahit, Demak.

Baca juga: Stadion Manahan Solo Jadi Venue Kualifikasi Piala Asia U-23, Polda Jateng Jamin Keamanan Penyelenggaraan

Bahkan, pengaruh ini jauh sebelum kedatangan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) ke nusantara.

VOC adalah persekutuan dagang asal Hindia Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia yang didirikan pada 20 Maret 1602.

Menurut Dr Jajang, mereka tidak hanya berdagang tetapi juga bermukim di Semarang, Jawa Tengah.

"Klenteng Cheng Ho di Semarang menjadi bukti establishnya Komunitas Tionghoa di Jawa," ujarnya. 

Baca juga: Purnawirawan Pati TNI-Polri Deklarasi Dukung Ganjar, Mantan KSAL: Kita Butuh Pemberani Lawan Radikalisme

Bahkan Raden Fatah, Raja Demak pertama adalah putra Raja Brawijaya terakhir dari istri Putri Campa (Tionghoa) yang beragama Islam. 

"Jadi, pengaruh budaya Tionghoa di Jawa khususnya, telah sangat berakar. mulai dari budaya kesehatannya, arsitektur, makanan minuman dan ramu-ramuan, dan sebagainya," tutur Jajang.

Jadi budaya Peranakan Semarang ini, tegas Dr Jajang,  memiliki sejarah panjang di kota tersebut. 

"Bahkan sebelum VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) berkuasa di Indonesia dan membuka pelabuhan di Semarang pada abad ke-17," jelasnya.

Baca juga: PSI Ajukan Kaesang ke Pilwalkot Depok, Netizen: Gak Punya Kursi DPRD Kok Daftar, Jangan Bikin Kadrun Tertawa Ah

Dr Jajang membenarkan kalau budaya Peranakan Semarang merupakan hasil percampuran budaya Tionghoa dan Jawa.

Hingga kini Budaya Peranakan Semarang  memiliki ciri khas yang unik dalam segi bahasa, budaya, adat istiadat, tradisi kesehatan dan kuliner. 

"Dulu, Peranakan Semarang ini  dikenal sebagai pedagang dan pengusaha yang sukses dalam bidang perdagangan tekstil, rempah-rempah, dan produksi gula," ujarnya.

Baca juga: Gandi Tenteng Bustami Dengar Curhatan Infrastruktur Jelek Warga Jati Agung

Di masa kolonial Belanda, komunitas Peranakan Semarang memiliki posisi sosial yang relatif tinggi dan diperbolehkan mengakses pendidikan dan pekerjaan di administrasi pemerintahan Belanda. 

Namun, setelah Indonesia merdeka, mereka mengalami diskriminasi dan pengucilan dari hak-hak politik dan ekonomi selama beberapa dekade. 

Terutama saat rezim Orde Baru berkuasa. Yang patut disyukuri, menurut Dr Jajang,  Peranakan Semarang tetap mempertahankan warisan budaya dan tradisi mereka.

Baca juga: Gandi Tenteng Bustami Dengar Curhatan Infrastruktur Jelek Warga Jati Agung

Beberapa tradisi yang masih bertahan hingga kini seperti tarian ronggeng, lagu-lagu Gambang Kromong dan kuliner khas seperti lumpia Semarang dan nasi goreng babat. 

Sementara, lanjut Jajang, lagu kroncong itu asalnya dari Portugis.

"Tradisi budaya Peranakan Semarang ini terus bertahan dan berkontribusi pada keberagaman budaya Indonesia," papar Jajang. 

Salah satu tradisi Peranakan Semarang yang masih terlestarikan adalah Festival Arak-Arakan Cheng Ho yang digelar setiap tahun pada 19-20 Agustus.

Baca juga: Bangunan Sudah Tua, Gedung Staf Kodim 0715/Kendal Dipugar untuk Dibangun Dua Lantai

Festival ini sebagai bentuk peringatan kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Semarang 618 tahun lalu, terhitung di 2023.

Biasanya, acara dimulai dengan kirab membawa patung Dewa dari Klenteng Tay Kak Sie  menuju Klenteng Sam Poo Kong. 

"Festival ini dimeriahkan  dengan pertunjukan kesenian tradisional perpaduan budaya Tionghoa dan Jawa," ucapnya.