Helo Indonesia

Pegiat Medsos Palti Hutabarat jadi Korban Pertama Revisi UU ITE 2024 yang Baru Ditandatangani Jokowi

Sabtu, 20 Januari 2024 09:10
    Bagikan  
UU ITE
Foto: tangkapan layar

UU ITE - Pasal larangan menyebarkan berita bohong itu baru bisa dipidana jika berakibat memunculkan kerusuhan di dunia fisik. 

HELOINDONESIA.COM - Penangkapan terhadap pegiat media sosial Palti Hutabarat oleh Bareskrim Polri pada Jumat (19/1/2024) dini hari dinilai banyak yang salah.

Hal ini diungkapkan Profesor Henri Subiakto melalui akun media sosial X pada Sabtu (20/1/2024).

"Ini polisi jelas keliru dalam memahami dan menerapkan pasal 28 ayat (3) UU No 1 tahun 2024 tentang Revisi Kedua UU ITE," utasnya. 

Mantan ketua Panja Revisi Pertama UU ITE (2016) itu mengatakan, harus mengoreksi kesalahan polisi ini. 

Baca juga: Di Depan Awak Media Kendal, Anggota DPR RI Fadholi Bicara soal Banjir dan Ekonomi Desa

"Bagaimana mungkin Palti dikenakan pasal yang pengertian dan unsurnya tidak memenuhi," paparnya

Pemilik akun media sosial X (at)Paltiwest itu ditersangkakan melakukan penyebaran berita bohong. 

Ini bunyi pasalnya: “Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan "Kerusuhan" di masyarakat."

Menurut Henri, yang dimaksud “kerusuhan” adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik. Bukan kondisi di ruang digital atau siber sesuai penjelasan pasal 28 ayat 3.

Baca juga: Polri Beri Peluang Difabel Jadi Polisi di Apresiasi Stafsus Presiden Angkie Yudistia

Artinya pasal larangan menyebarkan berita bohong itu baru bisa dipidana jika berakibat memunculkan kerusuhan di dunia fisik. 

"Bukan keributan di dunia digital atau medsos. Ini poin pentingnya," ujar pemilik akun medsos X (at)henrysubiakto ini.

Dia mempertanyakan dimana kerusuhan yang timbul gara-gara repost Paltiwest.

"Ini penting karena merupakan unsur pidana dari pasal baru yang mulai berlaku di UU ITE tahun 2024 yang baru saja ditanda-tangani Presiden Jokowi," tegas pengajar ilmu Hukum Komunikasi dan Media di Universitas Airlangga itu.

Baca juga: Terkena Proyek Penataan Benteng Pendem, Tujuh KK akan Dibantu Biaya Sewa Rumah

Dikatakan, di UU ITE lama sebelum direvisi, tidak ada pasal delik materiel yang sanksi hukumannya 6 tahun ini. 

Pasal 28 ayat (3) merupakan pasal baru di UU ITE. Asal normanya dari UU No 1 tahun 1946 yang sudah tidak berlaku.

"Jadi penangkapan Palti ini merupakan kasus pertama yang terjadi dan dijerat dengan pasal 28 ayat (3) UU no 1/2024 tentang Revisi kedua UU ITE," paparnya. 

Sayangnya, penggunaan pertama kali pasal baru ini justru dilakukan secara salah. Pidana materiel diterapkan seolah merupakan pidana formil.

Baca juga: KKP Ungkap PNBP Pengelolaan Ruang Laut di Tahun 2023 Naik 212 Persen

Syarat unsur pidananya harus terjadi kerusuhan di masyarakat secara fisik tidak terpenuhi. 

Karena memang pasal ini bertujuan menghukum orang yang terbukti melakukan provokasi kerusuhan dengan berita bohong.

Persoalan kedua adalah, apa benar percakapan yg terekam dari aparat di Kabupaten Batu Bara tersebut adalah berita bohong alias faktanya tidak benar? 

"Sudahkah polisi memiliki dua alat bukti permulaan terkait rekaman itu sebagai hoax atau manipulasi fakta? Ini juga harus dijelaskan," tambahnya. 

Baca juga: KKP Ungkap PNBP Pengelolaan Ruang Laut di Tahun 2023 Naik 212 Persen

Karena itu, Henri meminta kasus sensitif seperti ini harusnya ada gelar perkara yg dilakukan secara terbuka dahulu.

"Hadirkan ahli-ahlinya, sehingga tidak terkesan polisi gegabah buru-buru menangkap orang dengan penerapan pasal secara salah," katanya. 

Sebagai ketua tim pembuat pedoman pasal-pasal tertentu UU ITE, yang kemudian jadi SKB antara Kapolri, Jaksa Agung dan Menkominfo di tahun 2021, Henri mengaku siap kalau diminta keterangan sebagai ahli untuk menjelaskan pasal-pasal yang diterapkan dalam kasus pidana ITE kepada saudara Palti ini. 

Hal itu penting agar penerapan pasal-pasal dipakai tidak diterapkan secara serampangan. 

Baca juga: Lestarikan Kearifan Lokal, Mahasiswa S1 Pariwisata USM Gelar Pentas Jawa

Terlebih pada surat perintah penangkapan, polisi juga menggunakan pasal-pasal lain yang sanksi hukumnya di atas 5 tahun sehingga bisa menahan tersangka. 

"Tapi pasal-pasal itu juga diterapkan secara salah. Termasuk dalam penggunaan pasal 32 UU ITE yang akan saya jelaskan juga di kesempatan lain," tambahnya. 

Di surat perintah penangkapan itu sendiri, menurut Henri, penulisan uraian pasal penyebaran pemberitahuan bohong yang dipakai polisi juga salah. 

"Yang tertulis masih bunyi pasal di UU No 1 tahun 1946 yang sudah tidak berlaku. Karena sudah diperbarui dalam pasal 28 ayat (3) UU No 1 th 2024 yang saya lampirkan pasal barunya," tandasnya.