Bila Dukung Anies, PPP Bisa Hilang Saat ini juga Karena Ditekan Penguasa

Kamis, 8 Juni 2023 06:51
Saata Menko Mahfud MD bertandang ke rumah Denny Indrayana di Melbourne, Australia. (Foto: Twitter/ @dennyindrayana) Twitter/ @dennyindrayana

HELOINDONESIA.COM - Situasi politik dan hukum di Indonesia sedang tidak normal, banyak saluran aspirasi ditutup, bahkan dipidanakan.

Demikian penggalan surat yang dikirimkan mantan Wamenkumham Denny Indrayana ke pimpinan DPR RI dari Melbourne Australia pada (7/6/ 2023) kemarin.

Soal hukum yang tidak normal, menurut Denny Indrayana, salah satunya  yang dialami oleh aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. 

"Mereka dikriminalisasi karena menyampaikan kritik dan pengawasan publiknya," ujar pakar hukum tata negara itu. 

Baca juga: Impian Fans Al-Ittihad Menjadi Kenyataan Setelah Benzema Resmi Teken Kontrak

Karena itu, lanjutnya, dia “terpaksa” membawa mata dan hati rakyat untuk ikut mencermati laporan ini.

"Saya berpendapat, Presiden Joko Widodo sudah layak menjalani proses pemeriksaan impeachment (pemakzulan) karena sikap tidak netralnya alias cawe-cawe dalam Pilpres 2024," paparnya.

Denny Indrayana membandingkan dengan   Presiden Richard Nixon terpaksa mundur karena takut dimakzulkan akibat skandal Watergate. 

Ketika itu, katanya, kantor Partai Demokrat Amerika dibobol untuk memasang alat sadap. 

Baca juga: Karim Benzema Resmi Kenakan Jersey Al Ittihad Hingga 2026

"Pelanggaran konstitusi yang dilakukan Presiden Jokowi jauh lebih berbahaya, sehingga lebih layak dimakzulkan," papar Denny Indrayana.

Menurut Denny Indrayana, ada tiga dugaan pelanggaran impeachment, yang dalam pandangannya patut diselidiki oleh DPR melalui hak angket.

Satu, Presiden Jokowi menggunakan kekuasaan dan sistem hukum untuk menghalangi Anies Baswedan menjadi calon presiden. 

"Bukan hanya Jusuf Wanandi (CSIS), yang dalam acara Rosi  di Kompas TV, haqul yakin memprediksi bahwa pihak penguasa akan memastikan hanya ada dua paslon saja yang mendaftar di KPU untuk Pilpres 2024," ungkap Denny Indrayana. 

Baca juga: Pengamat : Golkar Gamang Takut Bernasib Seperti NasDem, Dukung Anies Menterinya Dieksekusi

Denny Indrayana mengaku sudah lama mendapatkan informasi bahwa memang ada gerakan sistematis menghalang-halangi Anies Baswedan.

"Saya bertanya kepada Rachland Nashidik kenapa Presiden Keenam SBY di pertengahan September 2022 menyatakan akan turun gunung mengawal Pemilu 2024. Menurut Rachland, hal itu karena seorang Tokoh Bangsa yang pernah menjadi Wakil Presiden menyampaikan informasi yang meresahkan kepada Pak SBY," ungkap Denny Indrayana. 

Sebelumnya, lanjutnya, sang tokoh bertemu dengan Presiden Jokowi dan dijelaskan bahwa pada Pilpres 2024 hanya akan ada dua capres, tidak ada Anies Baswedan yang akan dijerat kasus di KPK.

Karena itu, tegas Denny Indrayana, Hak Angket DPR harus dilakukan untuk menyelidiki, apakah ada tangan dan pengaruh kekuasaan Presiden Jokowi yang menggunakan KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian, untuk menjegal Anies Baswedan menjadi kontestan dalam Pilpres 2024.

Baca juga: 6 Ribu Pejabat Belum Setorkan LHKPN ke KPK

Kedua, kata Denny,  Presiden Jokowi membiarkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, mengganggu kedaulatan Partai Demokrat, dan ujungnya pun menyebabkan Anies Baswedan tidak dapat maju sebagai calon presiden dalam Pilpres 2024.

"Tidak mungkin Presiden Jokowi tidak tahu, Moeldoko sedang cawe-cawe mengganggu Partai Demokrat, terakhir melalui Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung," tegasnya. 

Anggaplah Presiden Jokowi tidak setuju, dengan langkah dugaan pembegalan partai yang dilakukan oleh KSP Moeldoko tersebut, ujar Denny, Presiden terbukti membiarkan pelanggaran Undang-Undang Partai Politik yang menjamin kedaulatan setiap parpol.

"Juga lucu dan aneh bin ajaib ketika Presiden Jokowi membiarkan saja dua anak buahnya berperkara di pengadilan, membiarkan Kepala staf presiden Moeldoko menggugat keputusan yang dikeluarkan Menkumham Yasonna Laoly," paparnya. 

Baca juga: Baru 15 Pemain Ikut Pemusatan Latihan di Surabaya, Manajer Timnas Indonesia Kecewa

Jika tidak bisa menyelesaikan persoalan di antara dua anak buahnya sendiri, kata Denny Indrayana, Jokowi berarti memang tidak mampu dan tidak layak menjadi Presiden.

Karena itu, sambung Denny, Hak Angket DPR harus dilakukan untuk menyelidiki, apakah Presiden Jokowi membiarkan atau bahkan sebenarnya menyetujui—lebih jauh lagi memerintahkan—langkah KSP Moeldoko yang mengganggu kedaulatan Partai Demokrat.

Ketiga, tambah Denny Indrayana, Presiden Jokowi menggunakan kekuasaan dan sistem hukum untuk menekan pimpinan partai politik dalam menentukan arah koalisi dan pasangan capres-cawapres menuju Pilpres 2024. 

"Berbekal penguasaannya terhadap Pimpinan KPK, yang baru saja diperpanjang masa jabatannya oleh putusan MK, Presiden mengarahkan kasus mana yang dijalankan, dan kasus mana yang dihentikan, termasuk oleh kejaksaan dan kepolisian," jelasnya.

Bukan hanya melalui kasus hukum, kata Denny Indrayana lagi, bahkan kedaulatan partai politik juga diganggu jika ada tindakan politik yang tidak sesuai dengan rencana strategi pemenangan Pilpres 2024. 

Baca juga: Ketua DPRD DKI Irit Bicara Soal Polemik Ruko Serobot Bahu Jalan, Ada Apa?

Dia mencontohkan kasus yang menimpa Suharso Monoarfa misalnya diberhentikan sebagai Ketua Umum partai. 

"Ketika saya bertanya kepada seorang kader utama PPP, kenapa Suharso dicopot, sang kader menjawab, ada beberapa masalah, tetapi yang utama karena “Empat kali bertemu Anies Baswedan,” ucapnya.

Denny bercerita tentang  Soetrisno Bachir yang menanyakan, kenapa PPP tidak mendukung Anies Baswedan padahal mayoritas pemilihnya menghendaki demikian, dan akibatnya PPP bisa saja hilang di DPR pasca Pemilu 2024. 

"Arsul Sani menjawab, “PPP mungkin hilang di 2024 jika tidak mendukung Anies, tetapi itu masih mungkin. Sebaliknya, jika mendukung Anies sekarang, dapat dipastikan PPP akan hilang sekarang juga,” karena bertentangan dengan kehendak penguasa," ungkapnya.

Hak Angket DPR harus dilakukan untuk menyelidiki, apakah Presiden Jokowi menggunakan kekuasaan dan sistem hukum untuk menekan pimpinan partai politik dalam menentukan arah koalisi dan pasangan capres-cawapres?

Baca juga: Sosialisasi di Sekolah, Bacaleg DPD RI Tulus Purnomo Diperiksa Bawaslu Lamsel

 Meskipun demikian, Denny Indrayana sadar bahwa konfigurasi politik di DPR saat ini sulit memulai proses pemakzulan.

"Sebagai warga negara yang mengerti konstitusi, saya berkewajiban menyampaikan laporan ini," ucap Denny Indrayana. 


Berita Terkini