Helo Indonesia

Pemilu 2024 Bergeser dari Kontestasi Politik jadi Pertandingan Logistik Amplop

M. Haikal - Nasional -> Politik
Sabtu, 16 Maret 2024 19:20
    Bagikan  
Rekapitulasi hitung suara Pemilu tingkat kecamatan di Kendal dimulai hari ini. Foto: Anik
Rekapitulasi hitung suara Pemilu tingkat kecamatan

Rekapitulasi hitung suara Pemilu tingkat kecamatan di Kendal dimulai hari ini. Foto: Anik - Rekapitulasi hitung suara Pemilu tingkat kecamatan di Kendal dimulai hari ini. Foto: Anik

HELOINDONESIA.COM - Praktik money politics berupa amplop ternyata masih jadi penentu kemenangan seorang caleg dari partai politik.

Pemilihan caleg bukan lagi berdasarkan keinginan untuk membangun akuntabilitas politik wakil rakyat.

"Sambil terus mengikuti proses rekapitulasi nasional di KPU, mari kita lihat kembali realitas di lapangan yang cenderung tidak mendukung hadirnya pemilu yang sehat dan demokratis," demikian utas yang dibuat mantan politisi Partai Demokrat, Anas Urbaningrum pada Sabtu (16/3/2024).

Menurutnya, Pemilu telah bergeser dari kontestasi politik menjadi pertandingan logistik alias amplop. 

Baca juga: Nonton Drama Korea Flex X Cop Episode 14 Sub Indo

"Gejala “amplopisme” sudah hampir merata di seluruh Dapil dan tingkatan pemilihan," ungkap Anas.

Anas mengaku mendengar cerita dari caleg yang berhasil maupun tidak berhasil, termasuk memantau sendiri dengan detil di lapangan, rasanya sulit menemukan caleg yang tidak menggunakan teknik amplop. 

"Jika pun ada, prosentasenya sangat kecil. Jika pun ada ya," tambahnya. 

Menurut Anas ini terjadi lantaran terkait dengan pilihan sistem pemilu yang bertemu dengan realitas politik partai (dan caleg) dan keadaan para pemilih.

Baca juga: Nonton Drama Korea Doctor Slump Episode 15 Sub Indo

"Sistem proporsional terbuka yang selama ini saya yakini lebih baik, turut berkontribusi terjadinya “ brutalisme kompetisi” logistik," ujarnya. 

Sistem ini, lanjut Anas, sudah seperti mengundang dan bahkan (hampir) memaksa para caleg untuk menempuh ideologi “amplopisme” dalam mendapatkan dan mengumpulkan suara. 

"Ironi banget!" tambahnya.

Lanjut Anas, sudah menjadi lazim kalau terdengar ada caleg DPR yang habis puluhan miliar untuk berhasil. Bahkan tidak sedikit yang masih gagal juga. 

"Di beberapa daerah saya bertemu dengan fakta bahwa untuk DPRD Kabupaten/Kota perlu miliaran juga. Ada bahkan yang habis 1,5 miliar bahkan lebih yang juga tetap belum berhasil. Sungguh realitas yang mengerikan dan menyedihkan," paparnya.

Baca juga: Kandang Jebak Harimau Telah Terpasang di Kebun Kopi, Umpan Kambing

Anas menilai bahwa kondisi ini sudah jauh dari tujuan dasar sistem proporsional terbuka untuk membangun akuntabilitas politik wakil rakyat dan mendorong partai untuk memperbaiki rekruitmen politik. 

"Keadaan di lapangan sudah cenderung destruktif. Budaya politik demokrasi bukan saja tidak terbentuk, tetapi bibit-bibit yang telah tersemaikan sudah tergejala layu," jelasnya.

Pemilih termobilisasi oleh kuasa logistik atau daya magnetis amplop ini, sambung Anas, mengubah cara pandang dirinya tentang sistem proporsional terbuka yang ternyata diselenggarakan dengan penuh distorsi. 

Karena itu, terang Anas, sudah saatnya kembali mengevaluasi lagi sistem pemilu. 

Baca juga: Kemenparekraf Ajak Wisatawan Berpartisipasi dalam Trail of The Kings Danau Toba

"Jika keadaan lapangan begini, sistem proporsional semi terbuka perlu dilihat lagi : kembali ke nomor urut, kecuali caleg yang mendapatkan 1 kuota kursi," paparnya. 

Bahkan, ujarnya, mungkin sekalian sistem proporsional tertutup : coblos partai saja.

Jika sistem proporsional semi terbuka yang dipilih (kembali) atau bahkan sistem proporsional tertutup, tambah Anas, yang perlu “ditertibkan” adalah partai, khususnya dalam proses rekruitmen dan penyusunan daftar caleg. 

"Partai harus disiplin dan menghindari transaksi politik gelap dalam proses penyusunan nomor urut dalam daftar caleg," tandasnya.