Helo Indonesia

2 Koruptor Pengadaan APD Covid 19 ini Layak Dihukum Mati, Berikut Penjelasan Kasipenkum Kejati Sumut

Rabu, 13 Maret 2024 22:31
    Bagikan  
Hukuman Mati
Foto: ist

Hukuman Mati - Kedua tersangka dr. AMH, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, sebagai pengguna anggaran dan RMN, seorang swasta atau rekanan terancam hukuman mati akibat korupsi pengadaan alat APD.

HELOINDONESIA.COM - Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) telah menetapkan tersangka sekaligus melakukan penahanan terhadap 2 orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam perkara dugaan Penyelewengan dan Mark Up Program Pengadaan Penyediaan Sarana, Prasarana Bahan dan Peralatan Pendukung Covid 19 berupa Alat Perlindungan Diri (APD) di Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun Anggaran 2020 pada Rabu (13/3/2024).

Kedua tersangka tersebut adalah dr. AMH, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara sebagai pengguna anggaran dan RMN, seorang swasta atau rekanan.

Tim Pidsus Kejati Sumut telah melakukan Kerjasama dengan PPATK untuk mencari dugaan adanya aliran dana terkait dugaan korupsi tersebut ke berbagai pihak.

Kasipenkum Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Yos A Tarigan dalam keterangan persnya mengungkapkan, sebelumnya Tim Pidsus telah menemukan bukti permulaan yang cukup.

Baca juga: Sehabis Sahur, Jangan Lupa Ucapkan Dzikir Ini, Pahalanya Ga Main-main

Sejumlah pihak terkait pun telah dipanggil untuk dimintai keterangan sehingga kasus tersebut ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan.

"Dalam rangka efektivitas proses penyidikan, serta berdasarkan pertimbangan obyektif dan subyektif sebagaimana diatur dalam Pasal 21 KUHAP, kedua tersangka dilakukan penahanan selama 20 hari ke depan," kata Kasipenkum.

Kedua tersangka ditahan di dua tempat berbeda yaitu Rutan Pancur Batu dan di Rutan Labuhan Deli.

Penahanan dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Tingkat Penyidikan.

Kasipenkum menjelaskan, kejadian bermula ketika tahun 2020, telah diadakan pengadaan APD (Alat Pelindung Diri) dengan nilai kontrak sebesar Rp. 39.978.000.000 (tiga puluh sembilan miliar sembilan ratus tujuh puluh delapan juta rupiah).

Baca juga: Pelatih Persik Targetkan Menyapu Bersih Enam Laga untuk Posisi Championship Series, Hanya Tersisa Tiga Tempat

Salah satu rangkaian dalam proses pengadaan tersebut adalah penyusunan Rencana Anggaran Biaya (RAB).

Dalam penyusunan RAB itu ditandatangani oleh tersangka dr. AMH dan diduga tidak disusun sesuai dengan ketentuan.

Sehingga nilai dalam RAB tersebut terjadi pemahalan harga mark up yang cukup signifikan.

Dalam pelaksanaannya, RAB tersebut diduga diberikan kepada tersangka RMN.

Sementara RMN membuat penawaran harga yang tidak jauh berbeda dari RAB tersebut.

"Selain terjadi mark up, juga ada indikasi fiktif, tidak sesuai spesifikasi serta tidak memiliki izin edar atau rekomendasi dari BNPB, dan tidak dilaksanakannya ketentuan Perka LKPP Nomor 3 Tahun 2020 poin 5," terang Kasipenkum.

Berdasarkan hasil perhitungan kerugian negara yang dilakukan oleh tim auditor, perbuatan kedua koruptor tersebut telah merugikan negara sebesar Rp. 24.007.295.676,80 (dua puluh empat milyar tujuh juta dua ratus sembilan puluh lima enam ratus tujuh puluh enam rupiah delapan puluh sen).

Baca juga: Selipkan Sabu di Atap Rumah, Warga Wayhalim Masuk Bui

Kasipenkum menjelaskan bahwa para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 jo Pasal 18 Undang–undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Tak hanya itu, Kasipenkum juga menjerat keduanya dengan pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.

"Undang-undang itu menegaskan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan kepada tersangka," tambahnya.

Baca juga: Selama Ramadan, OPD Kendal Tadarus Alquran One Day One Juz

Kasipenkum pun menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

"Dalam hal ini dugaan korupsi APD di Provinsi Sumatera Utara tahun 2020 dilakukan pada saat Pandemi Global," tandasnya.