Hikayat Benuang Laki: Penjaga Meratus yang Tetap Mekar tanpa Tercemar

Kamis, 22 Agustus 2024 19:40
Pohon besar Benuang Laki menjadi ikon Desa Belangian di Pegunungan Geopark Meratus, Banjar, Kalsel. Kapal kelotok di dari dermaga Tahura Sultan Aldam adalah transportasi utama menuju Belangian. Foto: Wisnu S

BANJAR, LOINDONESIA.COM - Deretan pohon benuang itu tampak besar menjulang berdampingan dengan pohon karet, akasia, mahoni dan kemiri. Namun ada satu yang tampak menonjol, karena lebih raksasa ketimbang tumbuhan yang lain. Warga setempat menyebutnya dengan Benuang Laki atau Duabanga Moluccana dari famili Lythraceona.

Pohon ‘lelaki’  ini meski ditaksir sudah berusia 70 tahun, tapi kokoh berdiri. Posturnya setinggi 50 meter, dengan diameter 2 meter. Jika dipeluk, butuh sepasang tangan lima orang untuk merangkulnya.

Ibarat raja, Benuang Laki adalah raja pohon yang diapit oleh para panglima bersama murmillo gladiator dengan perisainya berupa daun yang lebat dan urat kayu nan kuat untuk menjaga Meratus dalam melindungi dari musuh-musuh asingnya.

Benuang Laki adalah pohon ikonik yang hanya bisa disaksikan di Desa Belangian, sebuah desa wisata yang berada di Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Desa ini masuk dalam kawasan pegunungan Geopark Meratus. Taman Bumi ini kini sedang jadi perbincangan setelah diusulkan dan dikunjungi tim ahli untuk menjadi UNESCO Global Geopark.

Belangian, desa yang juga masuk kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam ini ditetapkan melalui Keppres RI Nomor 52 tahun 1989 tanggal 18 Oktober 1989.

Kedamaian terasa saat menginjakkan kaki di Belangian. Kawasan hutan lindung yang kaya flora dan satwa tersebut akan terus memayungi  wisatawan dari teriknya sang mentari dengan kerindangan dan kesejukan. Sekitar 40 pengojek dari komunitas Ojek Wisata Lembah Kahung siap membawa wisatawan ke Benuang Laki atau air terjun Luwadibatu dengan air yang bening.

Ojek ini mayoritas penduduk asli Bengalian yang terlatih. Pasalnya, mereka membawa wisatawan dari pintu gerbang desa hingga lokasi pohon besar melalui jalan berkelok dan naik turun. Meskipun jalannya sudah dibeton tetap harus hati-hati mengingat medan yang curam.

Desa wisata ini menawarkan dua paket wisata yang bisa membuat pengunjung tertarik, lewat paket ’’Menunggal’’ yaitu kegiatan menanam pohon di gunung Kahung dengan ketinggian 1.456 mdpl  dan paket edukasi kerajian berupa menciptakan kain Sasirangan dengan metode ecoprint. Sasirangan adalah kain khas dari Kalimatan Selatan.

Menurut Pembakal (kades) Belangian,  Aunul Khoir, keunikan dari ecoprint Belangian adalah unlimited. Artinya, setiap kain dipastikan berbeda motif dan warna dengan lainnya. Selain itu, semua bahan warna berasal dari pepohonan hutan Kahung, nama hutan di desa ini. Corak warna kain misalnya diambilkan dari serat kayu ulin, olaban untuk warna arang, akar bungkidu, jangar (kunyit) dan kulit akasia maupun mahoni.

‘’Keunikan lain, banyak flora dan fauna yang ada di tempat kami. Di sini ada burung Harwai yang bulunya diyakini bisa mengusir hama tanaman. Ada kearifan lokal berupa mitos, bahwa siapa pun pengunjung yang minum air di Belangian akan kembali lagi ke sini,’’ katanya.

Aunul Khoir mengaku beruntung karena desanya hampir memiliki segalanya berupa keindahan alam yang lestari, hutan raya yang luas dan terjaga, aliran sungai Riam yang begitu jernih mengalir deras di bebatuan yang bersumber dari gunung.

Mayoritas penduduk Belangian yang tinggal di pegunungan ini adalah wajah bersahaja. Menurut Aunul, hutan di desanya masih perawan dan belum ada campur tangan modernisasi.

Nama desa yang telah diresmikan pada tahun 1985 yang kemudian bernama Desa Belangian ini diambil dari nama teluk/telaga yang ada di dekat dasar, yakni, Telaga Belangian. Dulunya bernama Liang Hantu karena konon orang yang meninggal arwahnya bergentayangan di sekitar sungai-sungai di desa tersebut.

Belangian sendiri berasal dari bahasa Suku Dayak, yang terbagi menjadi dua suku kata, yaitu "Balai" yang berarti tempat pertemuan dan "Ngian" yang berarti makhluk halus.

Keistimewaan warga Belangin adalah kemampuan untuk bertahan dari gerusan zaman. Ada kearifan lokal yang selalu menjaga 'iman' warga untuk melindungi budaya dan kekayaan lainnya dari modernisme  yang  meruyak tiada henti.

‘’Kami bersyukur hutan seisinya dan Geopark Meratus memberi penghidupan kepada kami. Ojek, wisata, air terjun, makanan khas, dan kerajinan. Kunjungan wisatawan memang belum maksimal. Baru 100-an seminggu. Mungkin karena melalui perairan untuk menuju ke sini. Akses ini yang sedang kami pikirkan, misalnya lewat jalur darat,’’ katanya saat kepada peserta Lomba Jurnalistik Tulis Porwanas 2024  di balai desa, Rabu 21 Agustus 2024.

Salah satu pengojek, Kariansa (46) mengakui mendapatkan berkah dari wisata geopark Meratus ini. Pendapatan pengojek dikelola Pokdarwis. Kalau pengunjung ramai misalnya ada mahasiswa yang melakukan camping, dia bisa mendapatkan rata-rata Rp 300 ribu dalam seminggu.

‘’Lumayan bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan beli bahan bakar serta perawatan motor. Karena medannya terjal, motor saya harus selalu sehat rantai, pijakan pedal dan remnya,’’ tandasnya tersenyum.

Untuk menuju Belangian, wisatawan memang harus melalui dermaga Tahura Sultan Adam dan naik kapal kelotok dengan menempuh waktu 1 jam melalui waduk Riam Kanan. Area waduk terlihat sangat indah ketika sunset tiba, di mana sang surya terlelap di peraduannya. Ada 200-an kapal kelotok yang bersandar di dermaga tersebut untuk mengantar wisatawan.

 Warga  Balangian di pegunungan Geopark Meratus memiliki cara tersendiri dalam menjaga alam terutama dalam hal pengelolaan lahan, tanah dan hutan. Mereka percaya keberadaa Katuan Larangan (hutan larangan) yang steril dari segala macam aktivitas bertani dan berladang.

Ada kepercayaan, hutan ini bersemayam arwah para leluhur sehingga warga tak boleh seenaknya menebang pohon-pohon dan membuka lahan. Ada semacam pamali atau kutukan, jika dilanggar mereka percaya desa akan dilanda bencana, kesialan dan karma. Itulah sebabnya, mengapa suka Dayak bersahabat dengan alam.

Kental Kearifan Lokal

 Bagi warga Belangian, kearifan lokal bukan sekadar warisan masa lalu, histori sejarah, seni, namun prinsip hidup yang telah mengakar untuk peduli pada lingkungan dan sesama. Tanpa sadar prinsip ini selaras dengan butir ke-15  kesepakatan global Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu pemanfaatan keberlanjutan ekosistem daratan, menjaga kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati.

 Desa ini menjadi posisi tawar yang sangat besar bagi sektor pariwisata di Kalimantan Selatan. Kehidupan masyarakat Desa Belangian, khususnya di pedalaman dan pegunungan, menjadi daya tarik istimewa bagi wisatawan mancanegara yang mengemas perjalanan sebagai pariwisata yang tidak sekadar melancong tapi menyelami identitas suku.

Tak heran seperti disampaikan mantan Ketua Pokdarwis Kaung Raya Hasriani, bahwa peneliti dari Amerika dan Kanada datang ke Belangian untuk melalukan riset di Belangian.

Petugas UPT Tahura Sultan Adam, Dinas Kehutanan Provinsi Kalsel Abidin Nahdi mengakui  hutan ini adalah sumber kehidupan bagi 350 warga atau 105 KK di Belangian. Alasannya, di sini tumbuh subur segala aneka pohon hutan tropis, seperti karet, kemiri, jengkol, jambu mete, trembesi dan lainnya.

Dia tak menampik, ada kepercayaan lagi bahwa berbagai jenis flora seperti anggrek, dan fauna semisal rusa dan uwa-uwa yang berada di hutan tersebut tidak boleh dibawa pulang apapun dalihnya.

Gubernur Kalsel Sahbirin Noor pun getol berpromosi dan menyebut Geopark Meratus adalah sebuah anugerah alam luar biasa yang diakui secara nasional pada 2018 dan saat ini sedang diusulkan untuk menjadi salah satu UNESCO Global Geopark.

Kolaborasi

Ketua Tim Dewan Pakar Komite Nasional Geopark Indonesia Prof Mega Fatimah Rosiana MSc PhD saat beserta sejumlah lembaga kementerian dan Badan Pengelola Geopark Meratus (BPGM) berkunjung ke Banjarbaru, Juni 2024 lalu, menyebut secara umum geopark ini tertata dengan baik. Ke depan, butuh kolaborasi dalam pengelolaan agar geopark ini memiliki daya jual, dan diakui oleh dunia.

Salah satu tantangan dari desa Belangian di kawasan Geopark Meratus, adalah marketing. Dibutuhkan konsep pemasaran yang dahsyat agar wisata bumi ini mampu memancing wisatawan untuk datang.

Ada baiknya, penentu kebijakan untuk merenungkan tentang teori marketing MO atau mobilisasi dan orkestrasi yang dikenalkan pakar pemasaran Prof Reinald Khasali dalam bukunya ''MO''.

Salah satu ciri era MO adalah munculnya mobilisasi berbagai isu melalui media sosial dengan menggunakan tagar. Dimulai dari hal-hal sepele, kemudian membesar hingga menciptakan gerakan mobilisasi yang diikuti banyak netizen, serta membangun ekosistem wisata untuk geopark ini. Teruslah membangun branding melalui ekosistem digital agar publik dunia terkesima dengan Meratus.

Tampaknya keunggulan dari Belangian yang bisa dijual dari sisi wisata adalah mitos atau hal tabu yang berkembang di masyarakat setempat untuk tetap menjaga orisinalitasnya. Seperti pohon Benuang Laki, maka performa desa, seni kriya Sasirangan, dan budaya tetap bisa bertahan pada segala zaman, tetap menaungi, menghidupi, mekar indah, tanpa tercemar oleh modernitas. (Wisnu S)

 

 

Berita Terkini