bjb Kredit Kepemilikan Rumah
Helo Indonesia

Kisah Uga dalam Kepercayaan Sunda Terbukti, Usai Pemaksaan Penggenangan Proyek Waduk Jatigede Muncul Bencana Alam dan Pandemi Covid-19

Kamis, 7 September 2023 19:42
    Bagikan  
waduk, jatigede,
Foto: tangkapan layar

waduk, jatigede, - Ilustrasi waduk Jatigede dan kisah uga dalam tradisi Sunda.

HELOINDONESIA.COM - Dalam tradisi kebudayaan Sunda, terdapat uga,petatah-petitih dan ungkapan sesanti sebagai rambu ketika manusia harus melakukan harmonisasi dengan alam.

Dalam budaya masyarakat Sunda terdapat tradisi peperenian.

Dalam kamus bahasa Sunda Satjadibrata (2005), peperenian adalah naon-naon anu disimpen, artinya berbagai hal yang tersimpan.

Dalam konteks peperenian pun bisa termasuk ethnowellness yang masih tersimpan dalam memori kolektif masyarakat atau pustaka budaya.

Dalam hal ini berupa Ethnowellness knowledge yang masih tersimpan dalam memori kolektif masyarakat atau pustaka budaya lokal berupa pengetahuan perspektif etnik Sunda yang berkaitan dengan pengetahuan tentang kebugaran, metode, ritual dan ciri-ciri kesehatan dari manusia.

Baca juga: Sejak Tahun 2012 Banyak Hotel Bintang 4 dan 5 Lengkapi Fasilitas Spa, ASITA Ungkap Alasannya

"Baris dipaké dina waktu anu kacida perluna, artinya akan digunakan dalam waktu atau kondisi yang sangat diperlukan sekali," ucap Antropolog Universitas Padjadjaran, Ira Indrawardana di Jakarta pada Kamis (7/9/2023).

Secara filosofi, pepatah yang dimaksud adalah sesuatu atau berbagai hal yang bisa sewaktu-waktu atau dalam skala waktu yang berkala sesuai kebutuhan akan digunakan ketika kondisinya sangat dibutuhkan.

"Dalam konteks ethnowellness knowledge sebagai peperenian kebugaran ini, berbagai pengetahuan perspektif etnik (Sunda) yang berkaitan dengan pengetahuan kebugaran, metode, ritual dan ciri-ciri kesehatan dari manusia yang masih dianggap penting dan bisa digunakan sewaktu-waktu atau sesuai kebutuhan secara berkala," ungkap Ira.

Sementara itu, lanjut Ira, ethnowellness dalam konsep budaya Sunda adalah menjaga harmoni dan keseimbangan hidup antara manusia dan alam.

"Budaya Sunda mengenal konsep moral guidance (petunjuk moral) dalam berbagai pepatah-petitih yang sarat makna moral dan dalam frase bahasanya berkaitan dengan unsur alam," papar Ira.

Baca juga: Pengamat Politik Yunarto Wijaya Mendadak Sindir Prof Musni Umar yang Memuji Surya Paloh

Konsep moral tersebut tertuang dalam berbagai Uga atau Cacandran (pertanda perubahan jaman yang diungkapkan dalam rangkaian kalimat seloka yang mengandung unsur alam).

"Istilah uga bagi masyarakat Sunda sudah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan di daerah Jawa Barat masih hidup dan berjaya," jelasnya.

Menurutnya, lingkungan alam bagi orang Sunda dipercayai memberikan sumber kehidupan.

"Manusia Sunda, selain memanfaatkan alam sebagai sumber kehidupan, juga memelihara dalam berbagai tradisi dalam upaya melestarikan alam," tegasnya.

Dengan demikian, sambungnya, sikap manusia Sunda yang sadar, akan memelihara alam agar terjaga secara harmoni, menuntut kesehatan lahiriah dan batiniah dari dalam individunya.

Baca juga: Ridwan Kamil Dipastikan Menjadi Cawapres Ganjar Pranowo di Pilpres 2024

"Menjaga kesehatan pribadi (lahiriah dan batiniah) sebagai upaya menjaga kebugaran diri sebagai “jagat leutik” (dunia kecil) juga selaras terimplementasikan dalam merawat kelestarian alam sekitar sebagai “jagat gede” (dunia besar)," jelasnya.

Dikatakan Ira, kesadaran harmoni kosmis ini diantaranya diimplementasikan dalam berbagai uga,petatah-petitih, dan ungkapan sesanti.

Dia mencontohkan pepatah petitih atau peribahasa Sunda seperti, “Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak." (Peribahasa ini kira-kira memiliki arti 'gunung tidak boleh dihancurkan, dan lembah tidak boleh dirusak‘)

Sementara itu, contoh uga:  Kabuyutan Cipaku Darmaraja Sumedang: “Lemah Sagandu Diganggu Balai Sadunya” (apabila kabuyutan Cipaku diganggu bencana bagi dunia).

"Percaya atau tidak menurut kepercayaan masyarakat setempat, uga ini dianggap terbukti, manakala kawasan proyek waduk Jatigede ini dipaksakan untuk tetap dilakukan penggenanganan, maka setelah penggenangan terjadilah berbagai peristiwa bencana alam dan wabah pandemi Covid-19 khususnya di Indonesia," ulasnya.

Baca juga: Masyarakat Tidak Boleh Anggap Remeh Kualitas Udara Buruk, Begini Himbauan dari Pandu Riono

Disinggung soal kebugaran dalam perspektif budaya Sunda lama, Ira mengungkapkan, pengetahuan itu terdapat dalam beberapa Naskah Sunda Kuna.

Di antaranya dalam naskah Sunda Kuno Carita Raden Jaya Keling (Kropak 407), Naskah Sunda Kuno Pitutur Ning Jalma (Kropak 610), Naskah Dalem Pancaniti (1834-1862), Naskah Sunda Kuna Sanghyang Sasana Maha Guru (Kropak 621)

"Kedua naskah Sunda kuno Carita Raden Jaya Keling (Kropak 407) dan Pitutur Ning Jalma (Kropak 610) memiliki persamaan isi, yaitu menerangkan bahwa baik perempuan maupun laki-laki dalam menjaga kebugaran atau kesehatan tubuhnya harus melalui proses “mengenal akan diri pribadinya” atau dikenal dalam istilah Sunda yaitu “kudu wawanohan jeung awak”," paparnya.

Jadi, kata Ira, peperenian tidak sebatas menjelaskan tentang hal-hal unsur jasmaniah tubuh tetapi juga menjelaskan tentang aspek “kejiwaan dan spiritual” yang melingkupi keberadaan jasmani manusianya.