Helo Indonesia

Cara Bijak Penyelesaian Masalah Adat Secara Historiografi Kolonial

Herman Batin Mangku - Hiburan -> Seni Budaya
Minggu, 26 Mei 2024 14:56
    Bagikan  
Adat
Helo Lampung

Adat - Suttan Menang Betimbang

Oleh Muhammad Junaidi, SH*

GEGARA polemik soal maskot kera dalam pilkada oleh KPU Kota Bandarlampung yang dikaitkan dengan adat, saya jadi ingin mengulas sedikit tentang masyarakat adat dalam Distrik Telukbetung lewat literasi masa lalu.

Dalam perspektif saya, hukum adat mengenal "asas teritorial", dimana aturan adat berlaku mengikat dan terlaksana oleh otoritas adat dalam wilayah yang dikuasainya.

Batas batas wilayah antarkebuayan yang kemudian berkembang menjadi marga, menjadi penanda keberlakuan hukum adat dan otoritas yang menyelesaikannya.

Asas teritorial ini dihormati oleh para pemimpin adat. Sistem penyelesaian dilakukan bertingkat, tergantung persoalan dan mereka yang terlibat.

Meski ada perbedaan namun sistem penyelesaian dilaksanakan mulai dari perwatin oleh pemimpin adat dalam satu kampung kemudian “upaya hukum” dilaksanakan oleh perwatin marga.

Kita ambil contoh misalnya di 4 Marga Katimbang. Paksi-paksi (pemimpin adat di desa) bersama-sama dengan bandar membentuk proatin merga dan bersama-sama pula memutuskan semua hal terkait adat di dalam marganya.

Dan, jika permasalahan melibatkan penduduk lintas marga atau melibatkan bandar secara pribadi maka penyelesaian dilakukan oleh ratu yang merupakan kepala marga ratu dan dianggap sebagai kepala federasi dari marga-marga yang ada di Katimbang. (Nota Over Marga halaman 35 dst)

Sama halnya juga penyelesaian adat di Paksi 4 Skala Brak pada masa lalu yang dikenal sebagai Marga Belalau dikatakan administrasi peradilan di Belalau dilakukan oleh dewan empat yang disebut Paksi Ampat.

Hanya masalah-masalah besar yang diputuskan di dalamnya. Hal-hal yang lebih kecil ditangani secara pribadi oleh masing masing kepala adat yang berkuasa di wilayahnya. (Belalau; Tijschdrif Van Nederland Indie; 1866, Hal 376)

Banyak contoh persoalan adat yang penyelesaianya dilakukan oleh otoritas adat setempat dimasa lalu yang bisa kita baca dalam ragam literatur dari masa lampau. Dari semangat literasi ini kita bisa memahami bahwa didalam hukum adat berlaku asas teritorial.

Berdasarkan teritori ini juga kita bisa melihat marga-marga yang ada di bumi Lampung ini dari peta marga tahun 1910 juga peta marga 1928, namun jauh sebelumnya yakni pada tahun 1866 atau 62 tahun sebelum terbitnya peta marga itu, Belanda telah mencatat keberadaan Institusi adat yang ada di lampung yang dikategorikan sebagai pemerintahan marga.

Melalui buku Adat Recht Bundul Vol 32 Hal 139-142, saya mencoba mencatatkan kembali dan agar tampak penyebutan tempat juga orang dimasa lalu saya menuliskan versi aslinya dalam tulisan aslinya.

Kita memulai catatan bahwa pada tanggal 16 Maret 1866, Pemerintah Distrik Telukbetung melaporkan perihal institusi adat di Distrik Telukbetung.

Pada masa itu, Distrik Telukbetung terbagi atas 10 marga, yakni Marga Telukbetung, Marga Hurun, Marga Minanga, Marga Saboe, Marga Ratay, Marga Punduh, Marga Pidada, Marga Pugung, Marga Tegineneng, dan Marga Kedaton.

Marga Telukbetung terdiri dari 13 kampung yakni Negrie Pesisir, Koeripan, Lonthar, Boemie Waras, Gedong Pakoean, Oeloe Gading, Kedjadian, Pekon Ampay, Kotta Karang, Perwatta, Ketegoewan, Koewala dan Lempassing

Marga Hurun terdiri atas 3 kampung yakni Koenjayan, Penjandingan dan Kotta Negrie.

Marga Minanga terdiri atas 6 kampung yakni Menanga Oedik, Lagoen, Menanga Lah, Menganga Doh, Padang Dalem dan Gebang Doh.

Marga Saboe terdiri atas 4 kampung yakni Pekon Ampy, Soeka Djaja, Saboe dan Padang Ratoe.

Marga Ratai terdiri atas 9 kampung yakni Pekon Loh, Sanggie, Doerian, Penjandingan, Repong, Lebak Dalem, Hannebiah, Tambangan dan Way Orang

Marga Punduh terdiri atas Peken Ampay, Kebatang, Koeyayan, Oemboel Limoes, Marga Poendoe, Oemboet Sebiang, Penjandingan, Moeling Ellaya (mulangmaya), Soeka Djaya dan Madja.

Marga Pidada terdiri atas Kotta Djawa, Ora Sabah, Attar Sebrang, Soebadjaya, Batoe Radja dan Bawang.

Marga Pugung terdiri atas 15 kampung yakni Koeroengan Njawa, Negrie Saktie, Sriemengantie, Negrie Katoen, Kagoengan Ratoe, Kesoegian, Goenoeng Betaan, Marga Kaya, Tandjong Kemala, Rantau Tidjang, Tioeh Memen, Bandjar Agoeng, Tandjong Heran, Halangan Ratoe, Negara Saka

Marga Tegineneng terdiri atas 12 kampung yakni Poeloe Iwa, Roeloeng Lebah, Kedjaksain ,Roeloeng Helok, Mandah, Hadoeyang, Boemie Agong, Gedong Gemantie, Merak Batin, Moara Poetih,Soekse Bandjar, Hadji Mena.

Marga Kedaton terdiri dari Kampung Djagabaya,Tandjong Hening, Kedaton, Penengahan, Segala Midar, Boemie Harta, Goenoeng Terang, Radja Basa, Natar dan Tandjong Iman.

Selanjutnya dalam laporan tersebut , kepala distrik juga menyampaikan jawaban atas pertanyaan Pemerintah Kolonial di Batavia mengenai siapakah yang berhak menjadi kepala marga untuk marga-marga yang telah disebutkan di atas.

Dari catatan ini, kita mengetahui bahwa pada tahun 1866 tersebut Pemerintah Belanda ingin mengembalikan otoritas kepala kepala adat untuk menyelenggarkaan tertib pemerintahan sesuai Keputusan Pemerintah Belanda tanggal 17 Juni 1857 Nomor 30.

Keputusan itu menyatakan bahwa penduduk terpelihara hak-hak dan lembaga-lembaga domestik dan politiknya.

Selanjutnya dilaporkan bahwa Marga Telukbetung dipimpin oleh Raden Demang, putra sulung Pangeran Igama Ratoe, bekas kepala Marga Telokbetong. (Van de marga Teloktong adalah Raden Demang, oudste zoon of Panjimbang van Pangeran Ign- ma Ratoe, vroeger margahoofd van Telokbetong).

Dari Marga Hoeroen, karena yang berhak atas posisi ini diberhentikan pada saat itu, sehingga kepala marga yang baru harus ditunjuk. (Van de marga Hoeroen: De rechthebbende op deze be- trekking is indertijd ontslagen, en dus zal een nieuw marga- hoofd moeten worden benoemd).

Dari Marga Menanga, untuk ini, ada seorang kepala marga bernama Raden Singadjie, yang sesuai dengan posisinya. (Van de marga Menanga: Hiervoor bestaat een marga- hoofd, met name Raden Singadjie, welke voor zijn betrekking geschikt is).

Dari Marga Sabo, ada kepala marga untuk ini yaitu Batin Radja Dipoera yang sangat pantas dengan posisinya. (Van de Marga Saboe: Hiervoor bestaat een marga- hoofd met name Batin Radja Dipoera, welke voor zijne be- trekking zeer geschikt is).

Dari Marga Ratay, ada kepala marga bernama Radja Gedong yang dianggap cocok untuk jabatannya. (Van de marga Ratay: Hier bestant mede een margahoofd, met name Radja gedong, die geacht kan worden geschiktheid voor zijne betrekking te hebben).

Dari Marga Pundoh, ada kepala marga bernama Batin Perbah yang juga cocok dengan jabatannya. (Van de marga Poendoeh: Ook hier bestaat een marga hoofd met name Batin Perbah welke mede voor zijn betrekking geschikt is).

Dari Marga Pedada, ada kepala suku bernama Batin Sangoen Ratoe, yang meski sudah tua, sangat cocok dengan posisinya. (Van de marga Pedada: Ook deze marga heeft ook een hoofd, met name Batin Sangoen Ratoe, die, alhoewel oud, zeer geschikt is voor zijne betrekking).

Dari Marga Pogong, ada pimpinannya, yaitu Radja Benguk, yang meskipun sudah lanjut usia, adalah orang yang bertubuh kuat, yang pasti telah berjasa penting bagi negara dalam berbagai ekspedisi di kabupaten-kabupaten tersebut. (Van de marga Pogong: Ook deze marga heeft haar hoofd met name Radja Bengok, die, alhoewel op gevorderden leef- tijd, iemand is van een krach- tig gestel, die bij verschillende expeditiën in deze districten den lande belangrijke diensten moet hebben bewezen).

Dari Marga Teginenang dan Kedaton, kepala marga yang diakui adalah Merak Batin, Pangeran Djaya Trono. Namun diragukan apakah orang ini sah atas hubungan ini. Dia tidak dipilih oleh rakyat, tetapi fungsinya ditugaskan kepadanya oleh mantan Residen Wijnen. (Van de marga Teginenang en Kedaton: Wordt erkend als margahoofd het hoofd van Merak Batin, Pang- eran Djaya Trono. Of deze per- soon wel de regthebbende op deze betrekking is, wordt be- twijfeld. Hij is niet door de be- volking gekozen maar hem zijn zijn functies opgedragen door den gewezen Resident Wijnen).

Nama kampung yang tertulis di atas mungkin telah banyak yang tidak lagi ada karena perpindahan atau karena berganti nama. Namun setidaknya historiografi kolonial mencatat dengan rapih nama kampung dan juga nama pemimpin adat di masa itu.

Sayangnya kebuayan yang membentuk suatu kampung dalam distrik Telukbetung ini belum banyak saya temukan. Yang saya tahu bahwa saudara saudara saya di Kampung Adat Kedaton kebanyakan berasal Buay Nuwat yang berarti masuk dalam Pubian Telu Suku.

Hanya saja saya baru menemukan dalam catatan perjalanan Kohler pada bulan September 1855 yang ia beri judul REIS DOOR EEN GEDEELTE DER LAMPONGSCHE DISTRIKTEN dalam TIJDSCHRIFT VOOR INDISCHE TAAL LAND EN VOLKENKUNDE 1856 Halaman 133-149 kita bisa menemukan kampung dan buay yang sempat ia catat.

Dari catatan Kohler ini, saya juga menemukan kembali kebenaran identitas keadatan datuk datuk kami dimasa lalu, karena dalam catatan sejarah kampung adat Labuhan Ratu Bandar Lampung, Pulau Iwa adalah kampung kediaman pendahulu kami pasca pindah dari Landscap Buay Turgak di Semaka sekira tahun 1840 an. Kepindahan ini akibat serangan Belanda dalam ekspedisi memadamkan perlawanan Dalom Mangku Negara kepala buay Binyata yang berpusat di Teratas Tumbay.

Sebelum di Pulau Iwo datuk datuk kami pernah mukim sebentar di suatu tempat bernama Way Tippo yang saat ini masuk wilayah Kabupaten Pringsewu. Barulah pada tahun 1876 orang orang tua kami, pindah ke wilayah Marga Balau dan mendirikan Kampung yang diberi nama Labuhan Ratu.

Kohler menuliskan "meninggalkan jalan utama di Tegineneng Selatan dan mengarahkan langkah ke arah timur, seseorang akan melewati jalan setapak yang berlanjut agak jauh ke arah tepi kanan sungai Sekampung, dalam waktu hampir tiga jam tibalah di Pulau Iwa, sebuah kampung dengan 22 rumah dan 311 penduduk yang terdiri dari 6 suku dan penduduknya merupakan Buay Terega.

Selanjutnya ia mencatat berturut turut ;

Kampung Jejur dan Muara Putih;
Djedjur hanya memiliki 5 rumah dengan 78 jiwa dan berada di bawah satu kepala dengan kampung Muarah-poetih dimana sebagian penduduk muarah poetih pindah dengan persetujuan bersama. Kedua kampung ini milik suku atau Kabuwai Kunang dan berjumlah 16 suku. Moeara poetih memiliki 15 rumah dan 158 jiwa.

Kampung Gedong; memiliki 20 rumah dan 327 jiwa, terdiri dari 8 suku, dan milik suku Besuk atau Kabuwai Besuk

Kampung Toeba ; memiliki 10 rumah dan 84 jiwa, terdiri dari 4 suku dan termasuk dalam suku Penamba atau kabuwai Penamba.

Kampung Bajor dan Negeri Jimanten; Bayur memiliki 9 rumah, dihuni oleh 71 jiwa dan terbagi 2 suku, dan Negri jimanten dengan 24 rumah dan 286 jiwa terbagi 5 suku. Kedua kampung ini adalah kabuwai Beliyuk.

Kampung Gedong, juga di tepi kiri sungai, memiliki 20 rumah dan 327 jiwa, terdiri dari 8 suku, dan milik suku Besuk atau kabuwai Besuk.

Kampung Toeba dan Batu Badak; Toeba memiliki 10 rumah dan 84 jiwa, terdiri dari 4 suku. Kampung Batoe-badak dengan 6 rumah dan 52 jiwa. Termasuk dalam suku Penamba atau kabuwai Penamba.

Kampung Boedjong, dengan 11 rumah dan 59 jiwa, terdiri dari 1 suku dan termasuk dalam suku Prelang atau kabuwai Prelang.

Kampung Goenong-sogi, dengan 30 rumah dan 221 jiwa, memiliki 6 suku dan terdiri dari Kabuwai Besusan, Kabuwai Dagang dan Kabuwai Peletja.

Kemudian seseorang melewati umbul Mando-wana, Negara Boemi, dan kampung Goenong-Raja dengan 20 rumah dan 312 jiwa terdiri dari tiga suku atau kabuwai yaitu Kabuwai Dagang, Kabuwai Penamba dan Kabuwai Besoesoen.

Jalan terus melewati umbul Kanjong-kawa, Tengo dan kampong Pamangan dengan 21 rumah dan 121 jiwa, milik Kabuwai Penamba.

Kita akan berjumpa kampung Batuk-badak yang mendapatkan namanya dari sebuah batu besar yang terletak di sungai dan tempat ini memiliki 17 rumah dan 96 jiwa dan 4 suku milik kabuwai Dagang.

Boenkok, dengan 16 rumah dan 199 jiwa, termasuk dalam suku atau kabuwai Hadji-Bajoeran dan terdiri dari 3 suku.

Kampung Poetak dan Kampung Negara Batin dengan 20 rumah dan 227 jiwa dengan 2 suku, milik suku Pamoeka atau kabuwai Pamoeka.
Kampung Negara-batin memiliki 60 rumah dan 346 jiwa terdiri dari 5 suku seperti kampung Poetak, milik suku atau kabuwai Pamoeka.

Assahan, dengan 15 rumah dan 70 penduduk, sebagian besar dihuni oleh orang asing, yaitu Jawa dan booginese. Kepalanya adalah orang lampong sekarang termasuk dalam suku Rujong atau kabuwai Runjung dan memiliki 4 suku.

Dari Assahan sebuah jalan membentang ke pedalaman, ke utara ke kampung Goenong-sogi, dengan 4 rumah dan 40 jiwa, terdiri dari 1 suku, dan Kampung Panoengangan, dengan 9 rumah dan 45 jiwa, juga termasuk 1 sockoe. Penghuni kedua kampung ini termasuk dalam suku atau kabuwai Nunyai.

Selanjutnya Kohler mengarahkan perjalanannya dari Assahan kembali ke kampung Putak untuk melanjutkan perjalanan dari sana. Dua jalan setapak dari kampung yang disebutkan terakhir ini mengarah ke selatan, satu ke kampung Canggu di marga Waij-orang, dan yang lainnya, dalam arah yang hampir sejajar, ke kampung Ketibong yang juga disebut Tandjong-kari

Tandjong-kari atau Ketibong merupakan kampung yang cukup makmur, dengan 24 rumah dan 223 jiwa, terdiri dari 7 kabuwai atau suku, seperti Waij-Orang, Waij-Manie, Waij-Goenong, Pemakal Pati, Pemoeka Selima, Wai Koening dan Wai Puitis dan terdiri dari 14 suku.

Kampung Tandjongan memiliki 8 rumah dan 120 penduduk. Populasi termasuk dalam suku atau kabuwai Binjata dan berjumlah 3 suku.

Kampung Soekadjaja, dengan 3 rumah dan 31 jiwa, memiliki 1 suku dan termasuk dalam suku atau kabuwai Terlee. Kampung ini sangat rusak, karena sebagian penduduknya telah pindah.

Kampung Tarahan, dengan 10 rumah. dan 63 jiwa, terdiri dari 1 suku. Penduduknya termasuk dalam Kabuwai Binyata.

Selanjutnya Kohler mengarah ke daratan Teluk Betung dengan beruturut kampunh yang ia lewati adalah ;

Kampung Kadjadian, dengan 25 rumah dan 193 jiwa, terdiri dari 3 suku dan termasuk dalam suku atau kabuwai Binyata dan Kabuwai Perning (pernong)

Kampung Kategoehan, dengan 58 rumah dan 291 jiwa, dengan 5 soe kos, milik suku atau Kabuwai Wawang dan Kabuwai Bliyuk.

Kampung Negri, dengan 10 rumah dan 62 jiwa, menghitung 2 sucous dan milik suku Kabuwai Roendjong.

Kampung Kuripan, dengan 66 rumah dan 415 jiwa, dengan 9 suku dan milik suku atau Kabuwai Sangkan, Kabuwai Oedjang en Kabuwai Gadja.

Kampung Gedong Pakuwan, dengan 80 rumah dan 617 jiwa, dengan 9 suku, milik kabuwai Binyata.

Kampung Pekon Ampai, dengan 24 rumah dan 143 jiwa, 2 suku dan tergolong ke dalam suku atau kabuwai Mas siendi, Kabuwai Mengoh dan Kabuwai Djalang di waij.

Kampung Parawatta, dengan 9 rumah dan 83 jiwa, dengan 4 suku,milik Kabuwai Wawang dan kabuwai Massindi

Kampung Pasiisier, dengan 34 rumah dan 194 jiwa, dengan 4 suku dan termasuk dalam Kabuwais Roendjong-bulan dan Kabuwai Rawan;

Kampung Kota Karang, dengan 24 rumah dan 151 jiwa, dengan 3 suku dan milik suku atau kabuwai Nonyai, Kabuwai Perning, Kabuwai Djaja, Kabuwai Massiendi, Kabuwai Terega dan Kabuwai Djalang di wai.

Di sepanjang pantai masih terdapat kampung Boemi Waras, dengan 9 rumah, 76 jiwa dan 4 suku, milik kabuwai Hadji Rentjanang. Kampung Madja dengan 76 rumah dan 323 jiwa, dan Kangkung atau Sari, dengan 106 rumah dan 345 jiwa; kedua kampung terakhir ini berdekatan dan dihuni kebanyakan oleh orang Jawa dari Banten, yang telah menetap di sini.

Demikian sekedar catatan untuk mengingat apa kebuayan yang membentuk kampung adat dan marga yang ada di distrik teluk betung dimasa lalu.

* Suttan Menang Betimbang

 -