bjb Kredit Kepemilikan Rumah
Helo Indonesia

Fakta Kepsek SMP Santa Clara Surabaya dan Kepsek Kristen Saat Belajar di Kampus NU

Satwiko Rumekso - Ragam
Sabtu, 14 September 2024 09:44
    Bagikan  
Siswa Katolik belajar di sekolah muslim
Unusa

Siswa Katolik belajar di sekolah muslim - Teori Manao, Suster Elisabeth

HELOINDONESIA.COM -Suster Elisabeth Hardiantinawati mengikuti Yudisium Pendidikan Profesi Guru (PPG), di Auditorium Kampus B Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), Jumat (13/9) siang

Perempuan yang akrab disapa Suster Elisabeth ini dikukuhkan sebagai PPG Dalam Jabatan Program Studi Bahasa Inggris. Ini adalah pertama kalinya Suster Elisabeth menginjakkan kaki di kampus Unusa, karena senelumnya dilakukan kuliah secara online

Saat pertama kali menginjakkan kaki di kampus Unusa, Suster Elisabeth yang juga Kepala SMP Katolik Santa Clara Surabaya mengaku cukup deg-degan. Ia risau akan pandangan dari mahasiswa lainnya.

Baca juga: Kehebatan RS Kemenkes Surabaya yang Dibangun dengan Anggaran Rp2 T

Penampilan Elisabeth berbeda dari mahasiswa di sini yang mayoritas muslim. Elisabeth memang memakai penutup kepala, tetapi bukan jilbab seperti kebanyakan mahasiswa muslim.

Perasaan risau tersebut juga sempat dirasakan Suster Elisabeth saat pertama kali mengikuti perkuliahan. Ia khawatir akan pandangan risih atau negatif dari teman-teman kuliahnya.

"Memang kita tidak bertemu secara langsung, hanya lewat online. Tapi saat kuliah online, kita juga harus menampilkan wajah. Saya sempat khawatir teman-teman akan merasa risih melihat penampilan saya, pokoknya hal-hal negatif yang saya pikirkan waktu itu," ungkap perempuan asal Yogyakarta ini.

Namun, seiring berjalannya waktu, kegalauan itu berangsur menghilang. Ternyata, baik dosen maupun mahasiswa lain dapat menerima kehadirannya. “Semakin menarik ketika beberapa dosen dengan ramah dan candaan memberikan kesempatan yang sama kepada saya untuk ikut aktif dalam proses pembelajaran,” katanya.

Baca juga: Daripada Eri-Armuji, Pilih Coblos Kotak Kosong, Berikut Ini Alasan Aliansi Surabaya Maju

Dari laman Unusa disebutkan Suster Elisabeth, yang merupakan alumni FKIP Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, meski usianya tidak lagi muda dibanding teman-teman satu kelasnya, ia merasakan materi yang diberikan oleh para dosen bisa diterima dan dapat menambah wawasannya.

Hal ini terlihat ketika pembelajaran dilakukan secara online dan tugas mandiri serta presentasi peserta, semua dikerjakan dan dikumpulkan dengan baik. Para peserta juga aktif berinteraksi dan berbagi pengalaman, demikian juga para dosen aktif menyapa dirinya.

"Bahkan saat pengukuhan, bapak rektor menyapa dengan mengucapkan salam dari berbagai agama. Saya senang mendengar sapaan bapak rektor, kampus ini memang sangat menghargai perbedaan," pungkasnya.

Baca juga: Sandy Walsh: Maaf Ragnar Itu Gol Saya ke Gawang Arab Saudi

Tidak hanya Suster Elisabeth, ada juga peserta lain yang berbeda iman, yaitu Teori Manao dari Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara. Ia mengajar di SDN Tebolo, Kecamatan Hibala, Nias Selatan.

Teori mengatakan bahwa PPG yang diikutinya di Unusa telah membuka wawasannya dalam menjalankan proses pembelajaran di kelas. “Kini saya jauh lebih siap dan percaya diri di hadapan murid-murid di depan kelas,” ujarnya.

Sebelum mengikuti PPG, kelas yang dia ajar cenderung pasif karena belum mengetahui cara membuat kelas menjadi hidup dan menyenangkan. “Kini semuanya telah berubah karena saya sudah punya bekal untuk itu. Sebagai kepala sekolah, saya akan menularkan apa yang telah saya peroleh dari PPG Unusa ke guru-guru di sekolah saya,” tambahnya.

Pria yang sudah 15 tahun menjadi guru ini mengakui bahwa materi yang diberikan selama PPG di Unusa telah banyak mengubah dan menginspirasi cara dia menyampaikan pelajaran kepada murid-muridnya. Selain itu, pengetahuan dan kemampuannya di bidang IT juga bertambah setelah mengikuti PPG di Unusa.

“Sebelumnya, kelas terasa monoton dengan pembelajaran tradisional seperti membaca dan mencatat. Hal ini membosankan bagi saya, apalagi bagi murid-murid. Kini kelas menjadi lebih hidup dan menyenangkan,” kata Teori yang asli Nias ini.

Ayah dua putri ini juga menceritakan kendala yang ia alami selama mengikuti PPG, seperti gangguan sinyal saat pertemuan online. “Saya mengikuti perkuliahan secara online bukan dari sekolah karena fasilitas di sekolah tidak ada. Jadi selama pelaksanaan PPG, saya kost di pulau lain yang memiliki jaringan internet,” jelasnya.

Alumni PGSD dari Universitas Terbuka tahun 2020 ini juga menceritakan kondisi di sekolahnya yang sangat minim. Tidak ada listrik, dan guru hanya berjumlah 9 orang, terdiri dari seorang PNS, 5 orang GTT, dan 3 orang P3K dengan 122 siswa dari kelas satu hingga enam. “Jangankan fasilitas internet, aliran listrik saja di sekolah kami belum ada,” pungkasnya.