Helo Indonesia

Jejak Lada Lampung, Terbaik Kedua Dunia

Herman Batin Mangku - Ragam
Kamis, 20 Juni 2024 23:47
    Bagikan  
.
Helo Lampung

. - Lada

OLEH BPK VII dan Disdikbud Prov Lampung

LADA Lampung merupakan lada terbaik dunia setelah Kerala Malabar, India Selatan (Stockdale, 2014:24). Ia mulai dibudidayakan akhir Abad 15. Lada biasanya ditanam bersama pohon dadap yang mengarahkan tunas lada.

Di daerah sekitar Sungai Tulang Bawang, pohon yang sering digunakan (di Batavia disebut selodong) berduri pendek tetapi sangat tajam di batangnya sehingga tunas lada mudah dilindungi dan menempel tanpa ikatan.

Setelah setahun tumbuh di sepanjang batang dadap tunas lada yang diikat dengan tali ijuk kadang dilepaskan kembali dengan hati-hati lalu diletakkan di tanah.

Orang bisa menyianginya dengan sejauh mungkin memperhatikan agar tidak teriris sampai beberapa bulan kembali dilingkari dan diikat sepanjang batang dadap.

Pada tahun ketiga tunas itu mulai berbuah dalam jumlah kecil. Pada tahun ketujuh, buah lada sudah sangat matang dengan berat 5 kati. Masa subur lada sampai 10 tahun.

Setelah itu buah lada berkurang sampai usia 16 tahun. Meskipun ia bisa bertahan sampai usia 20 tahun (TNI, 1862:146–47).

Selama tiga abad (16–18), belum ada komoditi atau faktor penggerak yang lebih besar pengaruhnya bagi sejarah Lampung selain lada.

Ketika Banten tumbuh dan berkembang menjadi pelabuhan internasional lada di Asia Tenggara pada Abad 16 sampai 18, Lampung menyuplai kebutuhan ladanya antara 80–90 % (Guilot, 2008:18–20).

Lada ke luar dari delapan daerah di Lampung yaitu Kalianda, Teluk Betung, Seputih, Semangka, Pamet, Sekampung, Niebung, dan Tulang Bawang (Broersma, 1916:169).

Kesultanan Banten menggunakan tiga pendekatan untuk mendapatkan lada Lampung. Pertama, pendekatan keagamaan yang dilakukan oleh sultan pertama Banten, Maulana Hasanuddin (1527—1570), dengan mengislamkan kerajaan Tulang Bawang dan daerah-daerah lain di Lampung.

Kedua, pendekatan kultural, di mana sultan Banten memberikan sejumlah gelar kebangsawan seperti Pangeran, Kyai Arya, Tumenggung, dan Ngabehi kepada para pemimpin Lampung yang membawa lada ke Banten.

Ketiga, pendekatan kekuasaan yakni kewajiban penduduk lokal untuk menanam lada sebanyak 1.000 pohon bagi pria yang sudah menikah dan 500 pohon bagi yang belum menikah.

Sultan Banten juga menempatkan empat pejabat yang disebut jinjem di Menggala (Tulang Bawang), Semangka, Seputih, dan Teluk Betung untuk mengontrol sistem produksi dan jaringan perdagangan lada.

Kontrol Banten terhadap lada Lampung dituangkan dalam dua piagam yang dibuat pada masa Sultan Abdul Mahasin Zainal Abidin (1690—1733), yaitu Piagam Bojong (1691) dan Piagam Sukau (1695).

Dalam piagam pertama disebutkan bahwa perahu yang membawa lada harus memiliki surat izin dari sultan dan punggawa Banten. Apabila ada yang melanggar ketentuan itu, maka perahu dan muatannya akan dirampas oleh pejabat.

Banten. Sementara itu, piagam kedua mengatur bahwa pedagang yang ingin membeli lada di Lampung harus memiliki surat izin dari Sultan Banten.

Selain Banten, lada Lampung juga diperebutkan oleh Palembang, Belanda (Batavia), dan Inggris (Bengkulu). Palembang menggunakan pendekatan kultural, yaitu kedekatan emosional antara leluhur mereka dengan orang Lampung.

Selain itu, Palembang juga menawarkan harga lada yang lebih mahal dibandingkan harga beli dari Banten. Di sisi lain, Belanda menggunakan jalan kekuasaan sementara Inggris memberikan perlindungan kepada produsen dan pedagang yang membawa ladanya ke Bengkulu.

Dari keempat pihak tersebut, Belanda merupakan pihak yang paling berpengaruh dalam monopoli perdagangan lada dari paruh kedua abad ke-17 sampai abad ke-18.

Aktivitas produksi dan jaringan niaga lada menjadi fokus Memoirs of A Malayan Family (Marsden, 1830) atau lebih dikenal dengan Hikayat Nakhoda Muda karya Inchi Lauddin yang disusun pada 1202 Hijriyah (1788 Masehi).

Karya ini pertama kali disalin dan dipublikasikan oleh William Marsden di London. Dalam memori ini disebutkan bahwa lada ditanam oleh orang Abung di pedalaman Teluk Semangka dan diperdagangkan oleh pedagang dan nakhoda Melayu-Minangkabau ke pelabuhan Banten dan Bengkulu.

Tokoh utama perdagangan ini ialah Entjik Tajan Nakhoda Muda. Atas usahanya membawa banyak lada ke Banten, maka ia kemudian diberikan gelar kehormatan Kiyai Demang Purwasedana oleh Sultan Banten.

Sejak itu ia dipercaya Sultan Banten untuk memantau perdagangan dan pengangkutan lada dari Teluk Semangka ke Banten. Pada saat itu, Banten berada di bawah kekuasaan Belanda.

Aktivitas Nakhoda Muda di Semangka diawasi secara ketat oleh aparat Belanda. Sebagian nakhoda membawa lada kepada Inggris di Bengkulu.

Akibatnya Belanda bertindak tegas terhadap Nakhoda Muda karena dipandang tidak mampu mengendalikan jaringan niaga lada. Ia dibawa ke Batavia.

Dalam perjalanan ia melakukan perlawanan. Ia berhasil meloloskan diri dan kembali ke Semangka, lalu pindah ke Bengkulu di bawah pengaruh Inggris.

Sejarah produksi dan niaga lada begitu kuat dalam ingatan kolektif masyarakat sehingga memberi inspirasi Fatsyahbudin untuk menggubah sebuah lagu populer berjudul Tano Lado. (Advertorial)

 -