bjb Kredit Kepemilikan Rumah
Helo Indonesia

Halima, Kisah Gadis Menggala Sebelum Siti Nurbaya

Herman Batin Mangku - Ragam
Senin, 22 April 2024 10:09
    Bagikan  
BUDAYA LAMPUNG
Helo Lampung

BUDAYA LAMPUNG - Bung Adi dan sampul buku kisah Halimah (Foto kolas Helo)

LAMPUNG, HELOINDONESIA.COM -- Jika Indonesia punya kisah Raden Adjeng Kartini, Minangkabau punya kisah Siti Nurbaya karya Marah Rusli tahun 1922, Lampung juga punya kisah tentang sosok wanita berbalut masih kentalnya adat budaya sebelum kemerdekaan RI. 

Kisah wanita Lampung itu tertuang dalam bentuk novel yang lebih tua lagi dari Siti Nurbaya, yakni Halima karya JB Neuman, mantan residen Lampung, tahun 1911. Halima merupakan kisah cinta dari Menggala, Kabupaten Tulangbawang Masa Kolonial.

"Karya JB Neuman jadi referensi Buya Hamka ketika menulis tentang Tuanku Rao," ujar politikus Partai Demokrat Lampung M Junaidi yang juga pecinta sejarah daerah ini.

Kata anggota DPRD Lampung ini, sebelum novel Halima, ia juga menulis novel berjudul Silama yang juga berlatar Negara Ratu dan Rantau Tijang, Kabupaten Tanggamus.

Di bab awal novelnya, JB Neuman mengungkapkan kegelisahannya tentang adat cakak pepadun yang dirasa sangat mahal harganya dan berakibat pada terganggunya perekonomian warga.

"JB Neuman juga membidik pernikahan yang mesti dilatarbelakangi kesamaan kedudukan adat pada masa itu," ujar Bung Adi, panggilan Junaidi yang menyelusuri sejarah daerah ini lewat refrensi Belanda.

Berlatar adat pepadun Kabupaten Tulangbawang. Halima digambarkan sebagai sosok yang sangat cantik jelita. Gadis yang tidak diketahui siapa ayahnya, ia adalah anak angkat dari salah satu penyimbang adat di Kampung Gunung Batin.

Putra sulung Raden Mencurung, kepala Perwatin Adat Kampung Kibang Menggala yang bernama Jamin sangat mencintainya. Namun, Raden Mencurung juga jatuh hati dengan Halima.

Raden Mencurung jatuh hati karena Halima memiliki wajah yang sama dengan sosok wanita bernama Dalie, mantan kekasih Raden Mencurung.

Berbekal niat ingin menjadikan Halima sebagai istrinya, sang putra dijodohkannya dengan Mariam, putri Batin Raja Mega, penyimbang adat Menggala. Bagaimana kisah lika-liku lainnya? Kisah ini berakhir dramatis. 

Kisah kasih tersebut terus bergulir dengan latar belakang adat budaya Lampung cakak pepadun dengan segala pernak perniknya. 

Menurut Bung Adi, sungguh pantas kiranya kisah novel ini diangkat ke layar lebar sebagaimana daerah lain yang telah lebih dahulu melakukannya.

Selain tokoh utama ada tokoh lain bernama Hatija putri Pengeran Tumenggung penyimbang Menggala yang sangat dicintai oleh Muhammad Nur sahabat kecilnya.

Dalam novep, juga diungkapkan, bagaimana masa itu banyak kepala adat Lampung yang bukan berdasar trah tetua kampung, namun terpilih karena sistem pemilihan yang dibuat oleh Belanda.

Perjalanan sejarah budaya ini yang kemudian dianggap masyarakat sebagai pengkerdilan sistem adat Lampung, ujarnya.

JB Neumann menuliskan perbedaan adat dan budaya antara timur dan barat dalam kalimat: Kami memuji cinta, kehormatan, kesetiaan, dan keberanian. Mereka (pribumi) juga memujinya.

Namun yang kita sebut cinta bukanlah apa yang mereka maksud dengan kata tersebut, dan kehormatan dalam pikiran mereka tidak seperti kehormatan yang kita junjung.

Kebaikan kita bukanlah kebaikan mereka, dan kejahatan mereka bukanlah kejahatan kita. Timur dan Barat. Surga yang lain, bumi yang lain. Tidak ada jembatan yang melewati jurang tersebut. (HBM)

 - 

Tags