Bansos Dibagikan Presiden Sendiri Tanpa Didampingi Mensos, Rezim Jokowi di Fase Neo Otoritarianisme  

Kamis, 8 Februari 2024 22:22
Beras dari Bulog yang dipakai untuk bansos disorot Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: tangkapan layar

HELOINDONESIA.COM - Guru besar Universitas Paramadina, Prof. Didin S Damanhuri menilai Bantuan Sosial  (bansos) saat ini sudah sangat jelas digunakan sebagai alat politik.

Hal ini disampaikannya dalam diskusi yang digelar Universitas Paramadina bekerjasama dengan LP3ES bertajuk “Bansos, Pengentasan Kemiskinan atau Tujuan Politik?” pada Rabu (7/2/2024) dan dimoderatori oleh Swary Utami Dewi.

Indikasinya menurut Didin adalah penggelontoran besar-besaran bansos sekira Rp 500 triliun.

Nilai ini, menurut Prof Didin, terbesar selama reformasi, tidak didukung oleh data kemiskinan yang sebetulnya sudah agak menurun meski tidak signifikan.

Baca juga: Tips Efektif agar Bangun Pagi Tanpa Merasa Sakit Kepala

“Jadi, semestinya kalau bansos digelontorkan dengan amat besar itu pertanda indikasi kemiskinan kembali meningkat, nyatanya kemiskinan sudah agak menurun, dan itu pertanda bansos telah menjadi alat politik, terlebih dibagikan menjelang pemilu 2024," katanya.

Indikasi lainnya, bansos dibagikan oleh Jokowi sendiri bukan melalui Kementerian Sosial.

Bahkan, lanjutnya, Kemensos tidak mendampingi Jokowi ketika bansos tersebut dibagikan. 

“Hal tersebut memperkuat bahwa terjadi proses politisasi bansos untuk kepentingan pemilu. Di banyak daerah pembagian bansos bahkan dilabeli dengan paslon 02 dengan pesan jika paslon 01 dan 03 menang maka bansos tidak lagi dibagikan” lanjutnya.

Baca juga: Harga HP Poco C65 Spesifikasi dan Fiturnya Lengkapnya!

Prof Didin mengatakan, dalam 5 tahun terakhir ada gejala Indonesia sedang dalam fase neo-otoritarianisme. 

"Beberapa pihak sudah memastikan gejala-gejala itu dengan bukti-bukti yang sangat kuat” tuturnya.

Prof Didin menjelaskan bahwa pada era Soekarno  memainkan isu Nasakom dengan perimbangan kekuasaan antara TNI-AD vs PKI.

Kemudian, Soekarno menciptakan suatu ekosistem hingga MPR ketika itu memutuskan sebagai presiden seumur hidup meski dengan dekrit Soekarno sendiri. 

Baca juga: Doa untuk Menghilangkan Kesulitan

Di era Soeharto menciptakan partai pelopor agar proses pembangunan ekonomi berlanjut dengan industrialisasi tanpa instabilitas politik dengan represi politik domestik. 

Sejak 2014, Presiden Jokowi tampil dengan program-program nyata dan populis dengan indikasinya parlemen yang pro kekuasaan semula 65% menjadi 85% pro kekuasaan.

Menurut Prof Didin, ada banyak mekanisme pelumpuhan check and balance di parlemen dalam mengontrol proses legislasi dan lainnya. 

"Ada 8 Undang-undang yang konon bukan merupakan kepentingan rakyat banyak seperti UU KPK, UU Minerba, UU Ciptaker, UU Kesehatan dan lainnya” ujar Didin.

Baca juga: Drakor Jewel in The Palace Musim 2, Ini Pemeranya!

Gejala lainnya, sambung Prof Didin, dengan memasukkan Gibran Rakabuming putra Jokowi melalui MK, dengan memanipulasi proses hukum dan politik sehingga menjadi cawapres 02.  

Setelah itu kita melihat bansos dijadikan alat politik untuk memenangkan kekuasaan dalam pilpres 2024. 

“Suara-suara kampus dan civil society tidak diindahkan, bahkan tidak ada dialog sebagaimana dulu Soeharto mengadakan dialog dengan para mahasiswa. Itulah yang disebut gejala otoritarianisme baru. Jadi, bansos sebagai instrumen pemenangan politik adalah bagian dari konstruksi politik otoritarian” tambahnya.

Dr. Elan Satriawan dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada melihat bansos saat ini sudah menjadi alat tujuan utama dari politik. 

Bansos juga dikategorikan sangat penting untuk penanggulangan kemiskinan, faktanya hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. 

Baca juga: Lawan Dinasti Politik Jokowi, Aktivis 98 Yogyakarta Aksi Jalan Mundur Sambil Arak Keris Pusaka Pajang Mataram

Bansos seringkali dijadikan sebagai strategi tetapi juga sangat rentan terhadap upaya-upaya politisasi.

“Hal yang harus dilakukan untuk penanggulangan kemiskinan bukan hanya bansos saja yang seolah menjadi satu-satunya jalan, karena jelas tidak akan cukup. Harus ada program afirmasi yang dapat menghilangkan atau mengatasi kendala-kendala yang membuat kelompok bawah atau miskin, bisa relatif setara dengan rakyat yang lain,” kata Elan.

Elan memandang harus ada program perlindungan sosial yang berfungsi untuk melindungi agar kesejahteraan mereka tidak jatuh. 

Khususnya dalam situasi krisis, contohnya ada peristiwa penggusuran kaki lima, atau kepala keluarga yang sakit berkepanjangan, dan lainnya. Krisis yang sifatnya agregat atau pun yang unik per individu.

Baca juga: 8 Cara agar Terhindar dari Penipuan WhatsApp yang Merajalela!

“Sayangnya program-program seperti UMKM, inklusifitas dan lain sebagainya tidak secara efektif dan sistematis dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan. Sejauh ini, yang dikenal masyarakat mengenai penanggulangan kemiskinan hanya Bansos," tambah Elan.

Dr. Ninasapti Triaswati, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia melihat tujuan dari adanya bansos memang pencapaian target dengan tujuan politiknya pengentasan kemiskinan. 

“Sebenarnya tujuan bansos itu komprehensif bukan hanya memberikan sejumlah uang atau makanan atau pendidikan, tapi dengan meningkatkan kesejahteraan ekonomi melalui berbagai kebijakan ekonomi dan keuangan” kata Nina.

“Jika dibandingkan periode saat ini nilai bansos Rp 496 triliun, sedangkan periode lalu sebesar Rp 476 T. Yang menjadi masalah bukan sekedar mencapai atau bahkan tepat sasaran tetapi juga soal pemerataan antar kelompok” lanjut Nina.     

Berita Terkini