BEW, Berpulangnya Manusia Estetis dan Amanat Sang Jurnalis Sejati

Rabu, 15 Maret 2023 07:47
Heri Wardoyo dan Bambang Eka Wijaya (Foto Ist/Helo Indonesia Lampung)

Oleh HERI WARDOYO*

?????? ????? ?????? ?? ???? ???? ????? ? ?? ???? ????? ?????.

_Bergaullah dengan manusia dengan pergaulan yang jika engkau mati, mereka akan menangisimu. Dan jika engkau hidup, mereka akan menyayangimu (Imam Ali ibn Abi Thalib)._


BAMBANG EKA WIJAYA (BEW), Pemimpin Umum Harian Lampung Post, kemarin siang 14 Maret 2023 berpulang dalam anugerah usianya yang ke-76. Dia kawan bagi siapa saja, memang, termasuk ratusan anak buahnya di kantor. Tapi almarhum lebih disegani karena kepintarannya dan disayangi karena memang BEW sangat baik hati. Kemarin, nyaris semua penziarah memberat batinnya. Bapak yang ramah dan tak pernah marah itu tutup usia.

BEW, kendati perokok berat semasa mudanya, selalu bugar dengan fisik tangguh. Dia amat jarang sakit. Namun, usia yang merayapinya, khususnya setelah istri yang teramat dicintainya berpulang sekian tahun lalu. Derajat kesehatan BEW perlahan berkurang. Merokok stop total. Keluar-masuk rumah sakit mulai jadi rutinitasnya. Dua tahun belakangan, almarhum bahkan mulai wajib hemodialiasis atau cuci darah, dua kali seminggu.

Medio 2022, saya sempat membesuk di rumah sakit, didampingi Direktur Utama Rumah Sakit Umum Abdoel Moeloek, Dokter Lukman Pura, KGH, spesialis ginjal dan jantung. Saya nyeletuk: Kalau merokok, kita sakit paru-paru, Pak. Tapi berhenti merokok bikin kita sakit rupa-rupa. BEW, juga dr Lukman, terbahak. Beliau melupakan komplikasi penyakitnya sebentar.

28 Februari 2023 kemarin, saya dipanggil beliau. "Mas Heri dipanggil Ayah sekarang. Ayah mau cerita banyak. Kemarin pas ke sini kan gak ketemu, bentrok dengan jam cuci darah. Katanya mau kasih tugas juga," pesan Dede Safara Wijaya.

Saya pun melesat lari. Masih di ruangan VIP 8 RSAM, seperti tahun sebelumnya. "Her, mata saya sudah tak lagi bisa melihat. Tapi masih banyak isi pikiran saya. Kamu mau membantu?" Pasti mau, Pak. Lalu dia menyergah cepat, "Kamu sanggup saya tugaskan?" Sanggup! kataku dengan kuat. Dalam hatiku, apa pun akan kulakukan asal beliau tenang hatinya, merasa senang, lalu cepat sembuh.

Perintah apa itu, Pak. Saya mulai tak sabar karena beliau tampak sejenak berpikir. Saya pun mendekatkan telinga, tapi urung. Suara beliau masih baik terdengar.

"Saya ingin kamu menulis. Tentang saya. Tentang jejak kewartawanan saya. Tulis dengan gaya Heri Wardoyo, jangan dengan gaya lain. 150-an halaman saja. Cuma kamu yang saya anggap mewarisi gaya penulisan saya," kalimatnya bergetar. Titik air di ekor mataku terbit, cepat kuusap. "Pasti, Pak. Siap, Pak. Izin, saya merekam perintah Bapak ini via telepon."

Ya silakan.

Jekrek. Perekaman dimulai. BEW meminta saya memulai buku yang kelak ditulis tersebut dengan cerita saat beliau wartawan di Medan, lalu diajak Surya Paloh memperkuat Harian _Prioritas_ di Jakarta sebagai redaktur khusus. Kantornya di kawasan Gondangdia, Cikini, markas DPP Partai Nasdem sekarang.

Saya pun diminta mencari Panda Nababan dan Wina Armada, keduanya wartawan senior. Keduanya kebetulan saya kenal saat kami bekerja bersama di Majalah Forum Keadilan, tepat 30 tahun lalu. Panda pemimpin umum, Wina wakil pemimpin redaksi.

Kebetulan pula buku terbaru Panda, _Lahir Sebagai Petarung,_ dalam dua jilid yang tebal, memang bestseller, saya sedang menunggu edisi ketiganya datang. Saat BEW berpulang, jilid pertama buku Panda baru separo kubaca.

Beliau berdua bos saya, Pak. Setelah itu, sampai sekarang, bos saya kan Pak Bambang... Senyumnya mengembang. Perilaku dan tuturku kepada BEW memang 100% begitu. Lepas, tanpa barrier. Beliau menganggap saya anaknya, dan BEW memang terasa ayahku "betulan". Berapa kali saya mau dipecat, tapi BEW yang pasang badan.

Kami sangat sering berbagi cerita lucu, sebagian malah ditulis dalam Buras, kolom tetap BEW di _Lampung Post_, yang mungkin sudah di atas 10 ribu tulisan. Jelas rekor dunia. Besuk saat itu pun saya tak mau anggap mendatangi rumah sakit. Meskipun beliau sakit agak serius, saya tak lalu memelankan suara, men-takzim-takzimkan sikap. No. Saya tetap anggap beliau sesehat dulu, sebugar dulu, dengan pikiran dan daya ingat ensiklopedik. Dan memang iya. Secara pikiran, BEW tak beda dengan belasan bahkan 20 an tahun lalu. Pikirannya tetap tangkas, daya ingat kuat, dan artikulasinya --- ya Allah --- betul-betul bukan seperti pasien penyakit seberat itu.

Kuceritakanlah keajaiban machine learning berbasis kecerdasan artifisial seperti ChatGPT. Bapak bisa perintahkan, dengan tulisan atau suara, bagaimana sebuah cerita pendek yang zaman dulu Bapak tulis, disusun ulang ala Hemingway kek, atau Karl May, atau gaya Motinggo Busye.

Bisa juga dibuat scarry seperti novel Abdullah Harahap, maupun dibuat surealistis seperti cerpen Danarto. Atau kasih perintah yang lebih medheni, Pak, suruh buat robot forex trading, atau saham. Apa pun. "Gaya tulisan saya apa masuk rekaman mesin itu, Her?" Ya pastilah, Pak. Saya yang ecek-ecek gini saja dikenali mesin pencari hahaha. Bapak mau Buras kusuruh ubah jadi style Art Buchwald? Cuma 1-2 menit tok prosesnya. Tambah kagum beliau. Dua tahun sakit seolah menjadikannya tak lagi up date dengan zaman.

Saya terus "menjual" kehebatan era data saat ini, dengan era internet of thing. Era saat data lebih berharga dibanding emas dan minyak. Mata beliau berbinar-binar. Daya hidupnya tampak menyala kembali. BEW terus menyimak. Bagaimana Kompas saya langgani cuma 100 ribu rupiah setahun, beritanya bisa juga dibacakan robot readernya.

Makanya cepat sehat dong, Pak. Nanti kita makan Sate Ompong lagi saban sore kayak dulu, atau menyiram nasi dengan kuah banyak di Begadang atau Puti Minang. Telinga Bapak kan panjang, kuping Budha itu, Pak. "Apa artinya, Her?" Ya Bapak ini bakal panjang umur. Sakit ini mah shelter sebentar aja. Usai ini ya Bapak sehat lagi kayak dulu. Oke ya Pak saya lanjut merekam.

Pak Bambang kemudian menceritakan tapak kariernya dulu di Medan. Dari awal sekali. Jika saya timpali humor, wajahnya bungah, ketawanya sesekali lebar, nyaris tampak seluruh giginya. Saat redaksi _Lampung Post_ menjenguk, saya sok tuan-rumahi. Kuabsen satu-satu sambil kuselingi jokes kesukaan beliau.

BEW lahir di Pondok Seng, Kerasaan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara 6 Oktober 1946. Setamat SMA, Bambang diterima belajar kerja di Waspada Teruna Group ( _Sketsa_ dan _Warta Teruna_) sebagai korektor, merangkap reporter, plus merangkap jual koran mingguannya setiap terbit. Awalnya BEW dibimbing menulis oleh Nazar Effendy Erde, pemimpin redaksinya.

Lalu bergabung ke harian _Sinar Indonesia Baru_ (SIB) saat terbit 9 Mei 1970, bersama Nazar Effendy Erde, M. Zaki Abdullah, Rifyan Ganie, dan A.F. Tahir Syam. Kariernya SIB sampai redaktur pelaksana (1985), lalu pindah sebagai redaktur pelaksana harian _Prioritas_ Jakarta, milik Surya Paloh. Karena sikap pemilik dan pengelola harian berwarna pertama di Indonesia lantang kepada Orde Baru dan diperingatkan berkali-kali, akhirnya surat izin usaha penerbitan pers alias pisau guillotine itu dikeluarkan. Matilah koran ikonik ini. Umurnya hanya berbelas bulan. Bambang Soesatyo, Ketua DPR RI lalu kini Ketua MPR RI, adalah salah satu wartawannya. Panda Nababan wakil pemimpin umumnya. Wina dan BEW redaktur khusus. BEW, yang selalu berani dalam tulisan-tulisannya zaman di Medan, seperti mendapat taman bermain di situ.

Setelah Menteri Penerangan Harmoko menutup napas _Prioritas_, medio 1988, almarhum kembali lagi ke Medan. Jabatan pemimpin redaksi mingguan _Bintang Sport&Film_ menanti.

Awal 1990, Bambang kembali diajak Surya ke _Media Indonesia_ yang baru diakuisisi dari pemilik lama, Teuku Youslisyah. Lagi-lagi BEW didapuk sebagai redaktur khusus. Akhirnya, sejak 1 Juni 1993, takdir membawa  BEW ke Lampung, menjadi pemimpin umum/pemimpin redaksi Harian Lampung Post, sampai akhir hayat. Menyatu dengan Lampung.

1998, Buras dirilis. Sebelumnya, tulisan BEW berat isinya walau ditulis mengalir. Laporan Bank Indonesia 8 halaman seukuran koran, angka semua, ditulis sangat lincah. Artikel satu halaman tersebut dimulai dari filsuf Cicero melihat kemiskinan. Itu tulisan pertama BEW yang kukenal dan saya langsung kesengsem: nih orang jago banget sih.

Buras lalu mengalir tiap hari dari ujung penanya. Idenya menggelegak. "Buras itu omong kosong di lapak tuak, Her. Macam _koyo-koyo_ (bualan) gitulah," ujarnya. Jelas ini ungkapan merendah.

Tulisan yang baik memang menerjemahkan keruwetan jadi seenteng kapas. Bukan cuma ringan, tapi jenaka juga. Kelas advance: bagaimana ide tidak membebani gaya, tapi gaya tidak menyebal dari ide. Level empu yang mampu sesungguhnya.

Kalau mati angin, saya sering dipanggil ke ruangan kerja beliau. Bergurau berdua. Sama-sama semau-maunya. Saling lepas kelakar.

Sekitar 20 tahun lalu, saya membuat rumah pertama, saya tempati sampai sekarang. Rumah satu-satunya milikku malah. Sampailah info itu ke telinganya. Saya disapa. "Her, kau buat rumah bagus ya?"

Iya, Pak, 1 M. "Oya, banyak duit kau ya." Jelas dong, Pak. Rumah saya satu m, kalau 2 m ya namanya rummah, jika 3 m tentu saja rummmah....

Lebih dua menit beliau terbahak. Kalau sudah begitu, pasti besok jadi Buras. Pasti. Berkali-kali itu terjadi.

Hari berganti minggu, minggu melipat jadi bulan, bulan bergulung menjadi tahun.
Buras beribu-ribu pun lalu mbrojol. Kendati lucu, Buras tampil prima. Cengengesan ala BEW ini sejatinya tulisan prima; dihasilkan dari pergulatan pemikiran beragam. Aktualitas, lalu sering ditautkannya dengan analogi.

BEW menuangkan semuanya secara berkelas. Pak Bambang memang memelihara ketertarikan pada banyak bidang. 
Dia akrab dengan teori-teori besar, dengan grand naratives. Tapi juga cinta detail. Almarhum senantiasa menghadirkan butir-butir pemikirannya. Komprehensif, stylish. Tapi kita tak merasa sedang digurui. Kita larut menikmati. We not reading, we relaxing.

Kepergian beliau menoreh begitu dalam, ya kenangan, ya nilai-nilai, atau juga gaya yang diwariskan. Juga, kerendahan hati seluas samudera. Gesture almarhum yang ngawulo sering membuat lawan bicaranya kikuk, apalagi kami anak buahnya.

Semua emosi yang bergulat bertahun-tahun selama interaksi dengan almarhum, membuncah seharian kemarin. Ke mana kami setelah beliau tiada. Bagaimana beliau membimbing kami lagi.

Saya kemudian teringat proses kita saat ke "naik langit" suatu hari nanti, dari buku Dr Hameroff, "Through the Wormhole, Channel Science): Katakanlah jantung berhenti berdetak, darah berhenti mengalir, mikrotubulus kehilangan status kuantumnya. Informasi kuantum dalam mikrotubulus tidak dihancurkan, tidak bisa dihancurkan -- hanya mendistribusi, menghilang ke alam semesta secara luas.

Saya memandang lama jasad beliau di rumah duka. Seperti bercerita transfer ilmu dan pengalaman di antara kami selama ini. Tak sanggup lama. Dadaku berguncang hebat. Air mata menderas.

Memang, dalam proses alam, ketika kematian menjemput, secara gradual raga kita terurai kembali: dari individu dan jasad yang utuh, organ, jaringan, sel, molekul, atom, ke zarah subatom. Kulit, otot, dan tulang. Semua terurai menjadi tak kasat mata, menjadi fosfor, fosfat, natrium, kalsium-hidrogen, serta sulfur yang menyuburkan alam sekitar. Dan zat yang telah menjelma menjadi milyaran atom ini kemudian melayang di udara?lalu dihirup lagi oleh segala yang hidup...

Hal baik berbuah baik. Niat mulia mendatangkan kemuliaan. Tuhan menciptakan dan menjaga alam fana ini dengan hukum fisika yang amat sempurna. Sampai kelak kita dipertemukan lagi di keabadian akhirat. Di sana insya Allah kita akan dipertemukan lagi, Bapakku.

* Wartawan Senior

Berita Terkini