Berkaca dari Kasus Musriyatun, Belajar Menghargai Guru

Selasa, 7 Maret 2023 10:18
Foto Pribadi/Helo Indonesia Lampung

Oleh Gunawan Handoko*

KETUA Komunitas Minat Baca Indonesia (KMBI) Provinsi Lampung
melihat nasib pegawai negeri sipil (PNS) sejak diberlakukannya otonomi daerah sungguh mengundang keprihatinan.

Jika ditilik dari kedudukan dan fungsinya, sesungguhnya PNS merupakan pekerja resmi pemerintah yang memegang kunci pengelolaan anggaran dan program, serta berbagai harta yang menjadi asset negara.

Dengan kata lain, PNS memiliki peranan yang amat penting bagi perjalanan pemerintahan, baik di Pusat maupun di Daerah.

Selama puluhan tahun, PNS (khususnya guru) dapat melaksanakan tugasnya dengan tenang dan penuh semangat tanpa dihantui dengan adanya rolling atau mutasi.

Bahkan tidak sedikit yang sejak diangkat menjadi CPNS hingga memasuki masa Pensiun bertugas di instansi yang sama, tidak pernah berpindah.

Sebagai pensiunan PNS, saya merasa trenyuh bercampur sedih atas kebijakan para kepala daerah yang sering bertindak semena-mena terhadap PNS. Tanpa landasan dan dasar jelas, jabatan seorang PNS dapat dicopot begitu saja atau berpindah-pindah tugas, tanpa mempertimbangkan kemampuan individu dengan bidang tugas yang harus diembannya.

Bahkan ada kepala daerah yang tidak henti-hentinya mengancam bawahannya, bahwa mutasi jabatan merupakan hak prerogatif dirinya selaku kepala daerah. Kapan saja, jabatan seorang PNS dapat dicopot dan diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki.

Beberapa hari lalu, contoh buruk telah menimpa Musriyatun, seorang guru SMP Negeri Way Seputih kabupaten Lampung Tengah. Guru berstatus janda dan masih mempunyai tanggungan 3 orang anak ini di mutasi ke tempat yang berjarak 100 kilometer dari tempat tinggalnya, hanya gara-gara tidak menghadiri acara Konfercab Muslimat NU kabupaten Lampung Tengah.

Pemindahan tempat bertugas tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Lampung Tengah Nomor 85/KPTS/B.a.VII.04/2023 tanggal 3 Maret 2023. Sungguh keputusan yang sangat arogan dan tidak manusiawi serta tidak berdasar sama sekali.

Tidak hadirnya Musriyatun dalam kegiatan tersebut bukan merupakan kesalahan, karena sama sekali tidak ada hubungannya dengan tugas pokok yang melekat pada profesinya sebagai seorang guru.

Kecuali jika Masriyatun meninggalkan tugas sebagai pendidikan, maka sudah sewajarnya untuk dijatuhi sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

Karena merasa tidak tahan dengan perlakuan tersebut, kemudian Musriyatun mengadukan nasibnya kepada Presiden dan Menteri Pendidikan melalui video yang dibuatnya.

Kejadian ini sontak mengundang reaksi dan tanggapan dari banyak pihak. Ungkapan rasa solidaritas dan kesetiakawanan pun berdatangan, baik dari kalangan pendidik itu sendiri maupun masyarakat umum.

Hampir semua menilai bahwa mutasi tempat bertugas tersebut sebagai hal yang tidak wajar dan arogan. Bahkan banyak yang menilai bahwa mutasi tersebut bukan sebagai bentuk pembinaan, melainkan hukuman dan penyiksaan. Inilah hak prerogatif yang dibelokkan dengan menabrak berbagai aturan yang telah ada, khususnya dalam memperlakukan profesi guru.

Sejak jauh-jauh hari Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh telah menengarai akan banyak guru maupun kepala sekolah yang bakal menjadi korban politik sehingga harus mengambil alih kewenangan daerah dalam melakukan mutasi bagi guru dan kepala sekolah, sekaligus untuk melindungi para guru dan kepala sekolah untuk tetap mengabdi tanpa harus di intervensi oleh Kepala Daerah.

Peraturan Mendiknas pun diterbitkan, tapi sayangnya para kepala daerah tidak patuh terhadap Permendiknas tersebut.

Sungguh ironis dan menyedihkan, terlebih terjadi di lembaga pendidikan dan korbannya adalah pendidik atau guru yang seharusnya kita hormati profesinya.

Kita berharap, ke depan semua kepala daerah paham yang dimaksud reformasi birokrasi. Bahwa melakukan mutasi dan mengganti para pejabat secara serampangan bukanlah tujuan dari reformasi birokrasi, terlebih jika hanya dilandasi dengan dendam politik. Dalam setiap kesempatan mutasi, para kepala dD
aerah tidak canggung-canggung mengaitkan mutasi yang dilakukan sesuai dengan amanat reformasi birokrasi.

Namun dalam kenyataannya justru semangat reformasi birokrasi telah terabaikan.

Lima tahun adalah waktu yang amat singkat bagi Kepala Daerah untuk memimpin daerahnya, maka jangan terlalu disibukkan dengan mutasi, sementara program untuk melakukan perubahan yang lebih baik bagi masyarakat justru terlewatkan.

Semoga kejadian yang menimpa pada diri Guru Masriyatun merupakan yang terakhir kali. Mari belajar menghargai guru.

* Aktivis dan Pendidik 
* Ketua Komunitas Minat Baca Indonesia (KMBI) Provinsi Lampung

Berita Terkini