Kebisuan Mencekam Dibalik Kekerasan Aparat Terhadap Mahasiswa Banjarmasin

Sabtu, 24 Agustus 2024 17:55
Pengamat Politik Kalsel Pengamat Politik Kalsel

Oleh: MS Shiddiq, S.Ag, M.Si, Ph.D *)

“The repression of students and civil society only deepens the wounds of democracy, for a nation that silences its youth silences its future." – (Nelson Mandela)

Secara sederhana ungkapan Nelson Mandela tersebut dapat dimaknai bahwa menindas atau membungkam mahasiswa dan masyarakat sipil tidak hanya merusak demokrasi, tetapi juga mengancam masa depan bangsa. Mahasiswa dan masyarakat sipil adalah penggerak perubahan dan suara kritis dalam sebuah negara. Jika mereka dibungkam, maka potensi untuk memperbaiki dan mengembangkan demokrasi pun ikut terhenti, yang pada akhirnya akan merugikan seluruh bangsa di masa mendatang.

Kekerasan yang terjadi terhadap peserta aksi mahasiswa di Jakarta, di Bandung dan sejumlah daerah lainnya termasuk yang terjadi di depan kantor DPRD Kalimantan Selatan pada Jumat, 23 Agustus 2024 malam, merupakan cerminan dari masalah serius dalam komunikasi politik dan kebijakan publik di negara kita. Puluhan mahasiswa (termasuk mahasiswa saya) berbagai kampus dan aktivis menjadi korban kekerasan. Apa hasilnya? Tindakan represif ini tidak hanya mengungkap kegagalan pemerintah dalam menjalankan dialog yang demokratis, tetapi juga menyoroti lemahnya tanggapan terhadap aspirasi warga terkait isu-isu sensitif seperti RUU Pilkada.

Di dalam negara yang demokratis, aksi protes adalah bentuk partisipasi politik yang sah dan seharusnya dihormati. Namun, respons aparat keamanan yang memilih jalan kekerasan alih-alih dialog, memperlihatkan bahwa pemerintah masih belum mampu mengelola perbedaan pendapat dengan cara yang damai dan terbuka. Lebih dari itu, kekerasan ini mencerminkan kegagalan komunikasi politik dan lemahnya kebijakan publik yang seharusnya mengutamakan pendekatan damai dalam menyelesaikan konflik.

Proses legislasi yang kontroversial, seperti dalam kasus RUU Pilkada, memerlukan partisipasi publik yang luas agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan keinginan rakyat. Namun, tanpa adanya transparansi dan keterlibatan masyarakat, kebijakan tersebut hanya akan menimbulkan ketidakpuasan yang meluas. Kekerasan terhadap mahasiswa yang menolak RUU ini menunjukkan betapa rapuhnya proses demokrasi kita jika tidak disertai dengan komunikasi yang efektif dan kebijakan yang responsif.

Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah keheningan yang memprihatinkan dari para calon kepala daerah di Kalimantan Selatan—baik calon gubernur, calon bupati, maupun calon walikota. Tidak ada satu pun dari mereka yang bersuara atau menunjukkan sikap terhadap kekerasan yang menimpa mahasiswa. Padahal, para mahasiswa ini berjuang untuk mempertahankan mekanisme demokrasi yang pada akhirnya akan memberi manfaat bagi mereka yang ingin maju sebagai calon kepala daerah.

Keheningan ini mencerminkan krisis kepemimpinan moral di kalangan para calon pemimpin daerah. Alih-alih menunjukkan empati dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, mereka lebih memilih diam, mungkin karena pertimbangan politik dan kalkulasi elektoral yang sempit. Sikap ini tidak hanya menunjukkan kurangnya keberanian moral, tetapi juga berisiko mengalienasi generasi muda yang semakin kritis dan berperan penting dalam proses demokrasi.

Ironisnya, mahasiswa yang mengalami kekerasan ini justru sedang berjuang untuk memuluskan jalan bagi munculnya calon-calon kepala daerah yang potensial. Namun, ketidakpedulian dari pihak-pihak yang seharusnya diuntungkan oleh perjuangan mahasiswa ini menimbulkan pertanyaan serius tentang siapa sebenarnya yang mereka perjuangkan.

Di tengah kondisi ini, kita harus merenung dan bertanya: ke mana arah demokrasi lokal di Kalimantan Selatan dan demokrasi nasional kita jika kepemimpinan moral dan tanggung jawab politik terus diabaikan? Jika para calon kepala daerah tidak mampu atau tidak mau membela nilai-nilai demokrasi yang fundamental, bagaimana mereka bisa diharapkan memimpin dengan baik jika terpilih nanti?

Peristiwa ini menggarisbawahi pentingnya refleksi kritis dan tindakan korektif dari semua pihak terkait, untuk mencegah eskalasi konflik lebih lanjut dan menjaga integritas demokrasi di Kalimantan Selatan dan Indonesia secara keseluruhan. Demokrasi yang sehat tidak hanya membutuhkan proses yang adil dan partisipatif, tetapi juga keberanian moral dari mereka yang bercita-cita menjadi pemimpin.

) *MS Shiddiq, Pakar Komunikasi Politik, Peneliti Senior CIDES Institute, Jurnalis, dan pernah menjadi aktivis demonstran IAIN/UIN Antasari Banjarmasin 1998.

Berita Terkini