Gilanya Warok Ponorogo Dulu, Lebaran di Alun-alun Ponorogo Badan Penuh Mercon, yang di Mulut Disulut

Minggu, 23 April 2023 11:16
Ilustrasi warok Ponorogo yang biasa muncul dalam kesenian Reyog Ponorogo. (Foto: Wikipedia)

JAKARTA, HELOINDONESIA.COM ? Kota Ponorogo selain dikenal memiliki kesenian reyog, juga sangat terkenal dengan sebutan kota warok, yakni semacam jawara yang digambarkan punya kesaktian.

Warok di zaman dulu sering bertengkar, lanjut berkelahi, saling hajar. Mereka sering membawa gemblak atau jathilan, yakni anak remaja pria yang ganteng, dijadikan klangenan, kesayangan.

Nah, pada zaman dulu para warok juga merayakan lebaran Idul Fitri, meski kalangan warok Ponorogo ini merupakan penganut abangan, kalau Islam, sebutlah mereka kalangan Islam KTP.  

Dalam buku Babad Ponorogo disebutkan, sebelum peyebar Islam datang, yakni Bathoro Katong dari Demak, para warok belum Islam. Warok Suromenggolo yang terkenal, dia belum Islam, juga Ki Ageng Kutu dari Jetis, dia malah tak mau jadi Islam, dan bertempur melawan Bathoro Katong.

Kembali pada cerita warok zaman dulu saat ikut merayakan Lebaran Idul Fitri di Alun-alun, digambarkan dalam Serat Centhini, pada jilid 4, (kitab ini berjumlah 12 jilid), bahasanya arkais, karena karya sastra Jawa klasik dari era Kraton Surakarta, di zaman pujangga RNg Ronggowarsito.

Di dalam Serat Centhini tersebut digambarkan, sejumlah warok ikut merayakan Lebaran Idul Fitri di alun-alun yang biasa ramai banyak orang. Ada gambaran, warok tinggi besar berhiasakan mercon di sekujur tubuh. 

Di Serat Centhini digambarkan gilanya warok Ponorogo zaman dulu berlebaran Idul Fitri di Alun-alun Ponorogo. Warok berhiaskan sekujur badan penuh mercon, di mulut, lantas disulut. Riuhlah di sana.

Mercon besar kecil direnteng panjang, lantas dislempangkan dan dililit-lilitkan di tubuh. Lubang hidung dimasukkan mercon, demikian juga di mulutnya diemut mercon besar. 

Dalam keramaian itu, mercon lantas disulut. Gya sinulet katon kadi Sang Hyang Agni/ kiprah sru gambira/ kang pedhak geger lumaris/ kang myat surak-surak suka// (Mercon segera disulut, maka terlihat seperti Sang Hyang Agni (Dewa Api)/ berjogetan seru riang gembira mereka/ orang-orang yang dekat geger berlarian/ yang melibat dan senang, segera sora-sorak suka ria).

Berikut ini petikan Serat Centhini yang menggambarkan warok Ponorogo zaman dulu saat ikut merayakan Lebaran Idul Fitri di Alun-alun Ponorogo, seperti termaktub dalam Pupuh Maskumambang (291), pada podo (bait ke-24-30). Disertakan terjemahan di bawahnya.

Pupuh Maskumambang

24) Bilih nuju marengi ari riyadi/ samya dhateng kitha/ mring lun-lun niningali/ wewah rerengganing badan//

25) Mrecon ageng alit rinenteng kinardi, kinendhit kalung srempang/ tuwin ginubetken tali/ usus-usus prapteng ngandhap//

26) Mrecon Ageng kinarya cundhuk sesumping/ pinindha jamangan/ leng irung dipun seseli, den emut mecoco mangang//

27) Gya sinulet katon kadi Sang Hyang Agni/ kiprah sru gambira/ kang p[edhak geger lumaris/ kang myat surak-surak suka//

28) Weneh nyunggi jathilan binusanan di/ mubeng-mubeng giyak/ papakan tan nedya nyingkir/ malah wantun nendhang ndugang//

29) Langkung malih warok gegek yen pinanggih/ sami warok tandya/ eker molahaken dhiri/ kabranang dadya kerengan//

30) Karowangan pepenthungan linggis wesi/ tep-antepan sela, udred dene kang kapilis, sastengah dher ginosongan //

Terjemahannya kurang lebih sebagai berikut:

24) Bila sedang saatnya berbarengan Hari Raya (Idul Fittri)/ mereka pada datang ke kota/ ke alun-alun melihat keramaian/ dengan memakai hiasan di badan//

25) Mercon besar dan kecil direntang dijadikan ikat di pinggang/ dijadikan kalung, srempang, dililit-lilitkan di badan, dibuat usus-usus (tali kolor besar) menjuntai sampai bawah.

26) Mercon besar dibuat hiasan di kepala, diletakkan di telinga/ dijadikan hiasan di kepala/ lubang hidung dijejalkan mercon/ mercon diemut sampai terlihat mecoco//

27) Mercon segera disulut, maka terlihat seperti Sang Hyang Agni (Dewa Api)/ berjogetan seru riang gembira mereka/ orang-orang yang dekat geger berlarian/ yang meliat dan senang, segera sora-sorak suka ria//

28) Ada lagi yang membawa jathilan (gemblak) di atas kepala dengan diberi busana bagus/ berkeliling-keliling agrresif/ lantas kalau berpapakan dengan pihak lain (warok lain) tak mau menyingkir/ malah berani saling tendang dan depak//

29) Ada lagi warok yang tinggi besar, kalau berpapasan/ dengan sesama warok langsung bereaksi/ tak bisa diam, selalu menggerakkan diri/ dan pada akhirnya gegeran (berantem)//

30) Mereka saling pentung mementung dengan linggis atau besi/ saling lempar batu/ bergulat seru, kalau ada yang tertimpa/ maka merah gosong lah mereka// (*)

(A Winoto)

Berita Terkini