bjb Kredit Kepemilikan Rumah
Helo Indonesia

Pengadilan yang (Tidak) Mengadili, Diadili yang Tak Berhak Mengadili

Helo Lampung - Nasional -> Peristiwa
Selasa, 21 Maret 2023 10:36
    Bagikan  
Pengadilan yang (Tidak) Mengadili, Diadili yang Tak Berhak Mengadili

Prof. Sudjarwo

Oleh Prof. Sudjarwo*

MEMBACA berita yang dibentang oleh media oline pada layar mungil, berapa waktu lalu memuat pendapat seorang ahli hukum menyatakan bahwa suatu perbuatan dari suatu peristiwa hukum yang disidik oleh instansi penegak hukum sebenarnya masih dalam ranah sumir.

Pada media online yang lain memuat peristiwa penganiayaan berat yang korbannya masih belum siuman akibat tendangan dan pukulan, penegak hukum lain atas nama undang-undang, menawarkan penyelesaian perkara di luar pengadilan.

Ada guru yang semula menjadi pendukung berat seorang pimpinan kepala daerah karena saking cintanya kepada idola, pak guru menyampaikan kritik jenaka lewat postingan, ternyata berakibat pak guru dipecat pada dua sekolah tempat dia mengajar.

Sama halnya dengan guru yang karena sibuk menjabat sebagai organisasi masa keagamaan, entah petir dari mana menyambar sang guru, harus rela dipindahkan oleh kepala daerahnya atas usul camat pindah jauh.

Tapi apa hendak dikata ?buruk muka cermin dibelah?, sekalipun salah tetap saja yang namanya "kepala" harus menang dalam pengadilan karena yang mengadili dirinya sendiri.

Beda terbalik dengan orang nomor satu di negeri ini, dihujat, dinyirnyir, difitnah dirinya, anak, istri, orangtua, terakhir ijazah, dia tetap tersenyum bahagia. Walau, semestinya aparat yang membidangi tidak perlu menunggu laporan karena ini pencemaran nama baik simbol negara. Mereka diam saja.

Sementara ada kecoak keluar dari lumbung, diburu sampai menggunakan undang-undang terampuh. Tampaknya pemimpin ini merasa bahagia karena menurut keyakinannya dosa-dosanya sudah ada relawan yang memikulnya.

Masih banyak lagi peristiwa yang jika kita urutkan saat ini menjadi begitu panjang, namun tetap seragam, yaitu diadili oleh mereka yang tidak berhak sebagai pengadili. Namun apa hendak dikata, sekarang pergantian peran tidak harus berganti kostum.

Sekalipun berkaos singlet, karena yang bersangkutan sebagai penguasa, bisa saja masuk ke wilayah pertemuan terhormat yang orang lain harus berseragam resmi.

Pro dan kontra atas pembiaran hal di atas seolah berjalan dengan dalih atas nama demokrasi. Pertanyaannya apakah menumbuhkan pohon rindang, harus disertai membunuh rumput di bawahnya.

Pertanyaannya bagaimana menyeimbangkan antara rimbunnya pohon dengan tumbuhnya rumput, disitu harus ada regulasi yang jelas sebagai tata aturan main, dan harus ditaati oleh semua pihak.

Jangan yang merasa jadi pohon seenaknya menyedot apa yang ada di dalam tanah dan menghirup sinar matahari semau-maunya, sehingga rumput tidak kebagian.

Sebaliknya rumput harus tau diri bahwa dirinya ada pada bagian bawah dan harus tidak jauh dari tanah, jangan berharap menjadi pohon menjulang, karena tidak punya kerangka penopang diri.

Persoalan kerancuan itu timbul sebenarnya karena sahwat ingin berkuasa yang ad a pada diri manusia diyakini seolah tidak terbatas, bahkan tidak perlu regulasi untuk mewujudkannya.

Oleh karena itu pelanggaran dianggap sebagai ?kecelakaan kerja?; karena selama ini tidak pernah kedapatan akan pelanggaran aturan. Lebih parah lagi ?pelanggaran? pada orang lain, dianggap lahan subur untuk mendapatkan ?cuan?, terlepas apakah dengan cara yang santun atau dengan cara yang tidak hormat.

Dunia seperti ini jika dicermati seolah sudah jungkir balik, bisa dipahamkan jika pegawai pemerintah serasa anggota lembaga swadaya masyarakat, pejabat pemerintah serasa raja sehingga lebih tepat dipanggil ?Paduka, atau Baginda?.

Rakyat jelata sudah bak kaisar, yang semua maunya harus diturut dengan berlindung pada jargon ?suara rakyat suara tuhan?.

Tata aturan hanya diberlakukan bagi mereka yang tidak tau aturan atau medan, bagi mereka yang paham dikenakan ?tahu sama tahu?; dipermukaan tenang, di bawah ?menghasilkan cuan?.

Tidak salah jika ada warganegara yang frustrasi lalu berkata ?biarkan hukum karma yang menghakiminya?, kalimat itu sebenarnya wujud keputusasaan akan kekuatan hukum formal yang ada di negeri ini.

Ketidakpercayaan itu kemudian disandarkan kepada ketentuan Tuhan sebagai pemilik hidup. ?Nikmat mana lagi yang kau dustakan wahai manusia? peringatan surah ArRahman itu bukan hanya didengar telinga lahir, tetapi mari kita coba mendengarnya dengan telinga batin.

* Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial Pascasarjana FKIP Unila