bjb Kredit Kepemilikan Rumah
Helo Indonesia

Meraba Skala Magnitudo Gempa Sosial Hedonis Negeri Ini

Helo Lampung - Nasional -> Peristiwa
Jumat, 17 Maret 2023 09:01
    Bagikan  
Meraba Skala Magnitudo Gempa Sosial Hedonis Negeri Ini

Prof. Sudjarwo

Oleh Sudjarwo*


Kata hedonisme diambil dari bahasa Yunani hedonismos yang berasal dari akar kata hedone, artinya "kesenangan". Paham ini berusaha menjelaskan adalah hal baik apa yang memuaskan keinginan manusia dan apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan itu.

Hedonisme muncul pada awal sejarah filsafat sekitar tahun 433 SM atas munculnya pertanyaan filsafat: "Apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia?" Hal ini diawali dengan Sokrates yang menanyakan tentang apa yang sebenarnya menjadi tujuan akhir manusia.

Lalu Aristippos dari Kirene (433-355 SM) menjawab bahwa yang menjadi hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Aristippos memaparkan bahwa manusia sejak masa kecilnya selalu mencari kesenangan.

Pandangan tentang kesenangan (hedonisme) ini kemudian dilanjutkan  filsuf Yunani lain bernama Epikuros (341-270 SM). Menurutnya, tindakan manusia yang mencari kesenangan adalah kodrat alamiah.

Meskipun demikian, hedonisme, menurut Epikuros lebih luas karena tidak hanya mencakup kesenangan badani saja?seperti Kaum Aristippos--, melainkan kesenangan rohani juga, seperti terbebasnya jiwa dari keresahan.

Urusan lebih lanjut kita serahkan pada ahli filsafat untuk merenungkannya, mari kita turun ke bumi melihat kenyataan yang ada. Akhir-akhir ini, setiap manusia, apakah itu pejabat atau rakyat, memiliki kecenderungan yang sama bahwa apa yang dikerjakannya berujung pada mencari kesenangan, terlepas apa itu materi apa rohani.

Hal ini dapat kita lihat fenomena yang mengemuka, apapun dilakukan orang untuk mengejar kesenangan itu. Ada seorang Ibu karena berprofesi sebagai supir truk, beliau menjual sedikit lahan miliknya untuk menghiasi truk yang dimiliki agar tampak wah dengan biaya hampir separuh harga truk.

Saat diwawancarai oleh seorang awak media, beliau dengan ringan menjawab trucknya adalah jiwanya. Jawaban yang diluar nalar normal, namun itulah manusia dalam mengejar kesenangannya.

Karena itu jika ada pejabat atau rakyat yang mengejar kesenangannya dengan caranya, itu sebenarnya merupakan naluri yang di bawa sejak lahir, dan adalah kodrat dari Tuhan. Termasuk pegawai negeri yang beli Robicon, 
kepala sekolah SMA menggunakan mobil mewah pergi ke sekolah, dan masih banyak lagi.

Hanya yang menjadi persoalan adalah dengan cara apa dia memperolah, dan dimana dia menggunakannya. Itu menjadi pertanyaan tingkat dewa; karena berkaitan dengan moral dan kepatutan.

Kemudian jika dihubungkan dengan sipenanya; apakah sipenanya sudah bersih dari dosa; sebab bisa jadi orang teriak itu memang tulus memperingatkan atau mencari teman, lebih parah lagi tidak kebagian.

Meminjam istilah bahasa Palembang; kategori orang begini disebut ?crodekan? terjemahan bebasnya mau campur tangan urusan orang atau mengurusin kerjaan orang lain.
Namun demikian nanti dulu kita berdebat, orang ?waras? bisa menghitung, apa pekerjaan kita, berapa pendapatan kita, usaha sampingan apa kita; sehingga mendapatkan itu semua.

Jika kreteria keumuman tadi menjadi tidak umum, maka hukum crodekan tidak berlaku; yang ada ?patut diduga? itu yang paling tepat.

Persoalannya sekarang adalah bahwa di tengah masyarakat ada instrument sosial yang tidak kasat mata, tetapi ada dirasa, yaitu rasa kepatutan dan berkeadilan. Banyak diantara kita yang tidak menyadari atau malah bebal akan keberadaan instrumrn ini.

Bisa dibayangkan secara undang-undang formal tidak salah kalau kepala desa berambut gaya tertentu; namun menjadi pertanyaan apakah itu patut disandang oleh orang yang menduduki jabatan panutan masyarakat. Bagaimana dia harus memimpin rapat Karang Taruna, Remaja Masjid dan lain lain lagi, jika saat berada dihadapan mereka memakai gaya aneh.

Sepertinya di negeri ini sudah mulai banyak orang yang terganggu keseimbangannya; bisa dibayangkan pemberantas sekaligus menjadi penjual, pembina sekaligus menjadi pihak yang perlu dibina, penegak hukum sekaligus menjadi pelanggar hukum.

Ambiguitas seperti ini manakala terbuka pada ranah publik, mereka mencari pembelaan yang bahasa Palembangnya ?nak ngapo kau? terjemahan bebasnya mau apa kamu.
Sikap hedon menunjukkan kemewahan, pamer harta, pamer kekuasaan; sebenarnya ini merupakan sikap jahiliyah yang diperangi para nabi sebagai utusan Tuhan.

Namun karena tidak ada lagi nabi setelah Muhammad, SAW, maka jangan-jangan ini adalah sinyal sebagai tanda-tanda akhir jaman.
Belum lagi hukum sosial yang sudah dijungkirbalikkan, pelaku bisa bebas sementara pengadu bisa terhukum.

Dunia seolah menjadi semakin sempurna menuju satu titik, yaitu kehancuran. Tinggal bagaimana kita menyelamatkan diri dan keluarga dari ?gempa sosial? yang hampir setiap hari menggoncang kita.

Rusaknya negeri karena makin banyaknya keinginan yang harus dituruti, tanpa menyadari bahwa keinginan itu tidak bertepi.

Semoga Tuhan tidak harus menurunkan air bah seperti di era Nuh, tidak harus pula mengubur bumi ini seperti Kota Sodom dan Gumora. Namun manusia ranahnya hanya doa dan harap, ketentuan akhir mutlak di kehendak-Nya.

* Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila