bjb Kredit Kepemilikan Rumah
Helo Indonesia

Bar-bar is Back

Nabila Putri - Nasional -> Peristiwa
Kamis, 4 Mei 2023 09:23
    Bagikan  
Prof. Sudjarwo (Foto Ist.)
Prof. Sudjarwo (Foto Ist.)

Prof. Sudjarwo (Foto Ist.) - (Foto Ist.)

Oleh Prof. Sudjarwo*


BAR-BAR identik dengan sekehendaknya, tanpa hukum, tanpa etika. Saat hukum dan etika sudah ada, teknologi informasi begitu mudah diakses, interaksi sosial begitu gampang, ternyata sifat bar-bar itu masih bahkan bisa dibilang makin menggila hingga Generasi Z saat ini.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bar-bar artinya tidak beradab, bangsa yang belum beradab (sifatnya kasar dan kejam). Melansir dari Wikipedia, orang barbar (bahasa Latin: Barbarus, bahasa Belanda: Barbaar, bahasa Inggris: Barbarian) adalah manusia yang dianggap biadab atau primitif.

Istilah ini lazim digunakan sebagai suatu generalisasi (penyamarataan) berdasarkan stereotip (pemahaman berasaskan prasangka subjektif) yang beredar luas di tengah masyarakat.

Orang barbar dapat saja merupakan warga sebuah bangsa yang oleh sebagian pihak dinilai kurang beradab atau kurang tertata (misalnya masyarakat kesukuan), namun dapat pula merupakan anggota dari kelompok budaya "primitif" tertentu (misalnya kaum Nomad) atau kelas sosial tertentu (misalnya gerombolan bandit), baik di dalam maupun di luar bangsa si penilai.

Sebagai ungkapan atau kiasan, istilah "orang barbar" dapat saja digunakan untuk menyebut orang yang kasar, kejam, beringas, dan kurang peka menurut penilaian si pengguna sebutan.

Sementara hasil penelusuran sejarah kata: Istilah ini berasal dari Yunani Kuno terdengar seperti "bar... bar..." Orang Yunani menggunakan kata ini sebagai sebutan bagi orang-orang yang tidak berbahasa Yunani dan tidak mengamalkan adat-istiadat Yunani Kuno.

Pertanyannya sekarang adalah apakah sikap bar-bar ini seiring kemajuan teknologi dan peradaban manusia sudah tidak ada atau musnah? Ternyata fakta menunjukkan tidak selamanya benar. Ini dapat kita buktikan ternyata tingkat pendidikan tidak selalu berhubungan asimetris dengan kebudayaan bar-bar.

Sebagai salah satu indikasi yang dapat kita tangkap adalah ada ilmuwan yang dengan ringan mengucapkan “menghalalkan darah anggota dari suatu organisasi”, hanya karena alasan berbeda pendapat atau penafsiran tentang suatu obyek ilmu.

Sementara sebagai imuwan sudah seharusnya memahami wilayah Ontologi suatu ilmu itu pada umumnya bebas nilai, sementara setelah masuk pada wilayah epistemology dan axiology menjadi tidak bebas nilai.

Dengan kata lain diskusi seluas apapun, sedalam apapun, sejauh tetap berada pada koridor ontilogi, maka kita dapat menafsir apapun, dan itu adalah kebebasan hakiki dari ilmu.

Tampaknya di negeri ini, ada kekeringan filsafat yang seharusnya dipahamkan sebagai dasar berfikir dan bertindak; sehingga semua laku yang diwujudkan tetap ada pada koridor kemanusiaan.

Di negeri ini, tumbuh kealergian akan perbedaan, sehingga semua yang berbeda dengan dirinya diposisikan sebagai lawan. Tentu ini sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi yang sedang tumbuh.

Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah tumbuh pesatnya budaya baru yang dapat kita sebut sebagai “Budaya Medsos”; dengan ciri utama para anggota yang disebut nitizen itu diikat atas perhatian yang sama, dengan kata lain keterikatan antarmereka sangat cair.

Bisa jadi mereka sebelumnya mendukung fanatik sesuatu, namun bisa berubah seketika menjadi pembenci, jika ada alasan yang kuat untuk terjadinya perubahan.

Partai nitizen sangat tepat di labelkan kepada mereka; salah satu sifat khas mereka adalah responsif. Oleh karena itu, banyak kasus-kasus yang naik ke dunia maya menjadi bola liar yang bisa ditendang oleh nitizen dengan sesuka hati.

Adapun pro dan kontra untuk mereka sesuatu yang tidak dipersoalkan, namun yang penting adalah daya tekan yang mereka punyai untuk sesuatu peritiwa sosial, menjadi sesuatu yang utama.

Oleh karena itu istilah “bar-bar” untuk generasi milenial menjadi sedikit bergeser; karena menurut mereka bar-bar bisa menjadi baik jika diberi imbuhan “bar-bar budiman”. Memang aneh tampaknya bagi telinga atau pemahaman generasi "old".

Tetapi itu adalah kenyataan sosial yang harus kita hadapi saat ini, dimana kebudayaan sebagai penggerak peradaban berjalan begitu dinamis dan mencair.

Pertanyaan lanjut sudah siapkah kita dengan ke-bar-bar-an generasi yang akan datang dalam pengertian mereka, bukan dalam sudut pandang kita.

Norma yang kita jadikan parameter selama ini ternyata harus kita koreksi; banyak hal yang sudah bergeser, namun ada yang secara esensial terus mengemuka yaitu menghargai akan perbedaan, baik dalam arti sudut pandang, maupun dalam arti pendapat.

Kita tidak perlu menghalalkan darah bagi mereka yang berbeda dengan kita, karena perbedaan itu justru anugerah yang seharusnya kita syukuri, bisa dibayangkan jika tidak ada perbedaan antara siang dengan malam, isteri dengan suami; barang kali itu akan mengacaukan sistem yang ada.

Oleh karena itu bersyukurlah kita karena Tuhan menganugerahkan perbedaan pada kita, sesuai yang telah difirmankan pada kitab suci-Nya.

Berbeda bukanlah dosa dan dengan leluasa kita beri label bar-bar; sebab perbedaan dengan ke-bar-bara-an adalah suatu esensi yang berbeda; oleh sebab itu justru menafikan perbedaan itulah sejatinya ke-bar-bar-an dalam arti yang sebenarnya.

Mari kita rajut negeri ini dengan tetap menghargai perbedaan, karena rajutan itu akan tampak harmoni, indah dan menawan. Negeri ini akan damai manakala anggotanya tidak saling menghalalkan darahnya, justru saling menutupi kekuranganya, dan melengkapi keunggulannya.

* Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP-Unila