Pilkada yang Silon

Jumat, 6 September 2024 15:08
HBM

Oleh Herman Batin Mangku*

KERAN lebih demokratis dalam pemilihan kepala daerah yang dibuka Mahkamah Konstitusi (MK) malah antiklimak dengan meninggalkan luka dalam bagi sebagian masyarakat Lampung di KPUD Kabupaten Lampung Timur (Lamtim).

KPUD Lamtim menolak pendaftaran bakal calon kepala daerah (cakada) yang didukung 93.926 suara dan 8 kursi PDIP dari 50 kursi DPRD setempat. Alasannya, dokumennya tak lengkap Kamis dini hari (5/9/2024).

Peristiwa ini bukan soal kedua pasang calon yang gagal itu, Dawam-Ketut, tapi tentang demos dan kratos, kekuasaan di tangan rakyat lewat partai politik yang diwakili partai yang mendapatkan amanah lebih 7,5 persen suara.

Keputusan MK yang baru saja membuat euforia masyarakat dengan menurunkan suara dukungan rakyat dari 20 persen menjadi 7,5 persen dan dihargainya suara rakyat via partai nonparlemen sayangnya antiklimak di Lamtim.

Padahal, berkahnya, baru saja membuat gembira masyarakat untuk tingkat provinsi dan ibu kotanya, keputusan MK berhasil menggagalkan calon tunggal Pilgub Lampung dan Pilwalkot Bandarlampung.

Petahana Arinal Djunaidi yang menggandeng Sekretaris PDIP Lampung Sutono bisa mencalonkan sebagai bakal kepala daerah Lampung pada saat detik-detik terakhir pendaftaran.

Rahmad Mirzani Djausal (RMD) dan Jihan Nulela Chalim (JNC) yang hampir "dak kate lawan" harus head to head dengan Arinal-Sutono.

RMD dan Eva Dwiana menghormati kesepakatan demokratis yang diputuskan MK. Masyarakat bahkan partai dan pendukung keduanya juga gak berisik atas perubahan tak terduga tersebut. Walau buat ngoleksi partai telah menguras energi dan materi. 

Sebelum ada keputusan MK beberapa pekan sebelum pendaftaran cakada KPU, Ketua Golkar Lampung Arinal Djunaidi tegambui periode keduanya karena DPP partainya lebih yakin menyerahkan mandatnya kepada RMD-JNC.

PDIP juga tak cukup kursi buat mendukung paslonnya. Dengan keputusan MK, partai ini bisa memungut petahana Arinal Djunaidi yang disandingkan dengan Sekjen PDIP Lampung Sutono pada hari terakhir pendaftaran cakada ke KPU Lampung.

Demikian pula di Kota Bandarlampung, pasangan petahana yang juga nyaris melawan kotak kosong harus berhadapan dengan Reihana dan Aryodhia Febriansyah SZP, putra Mantan Gubernur Lampung Sjacroedin ZP, yang didukung PDIP.

Semua happy-happy saja, tak ada polemik. Para pengamat hukum tak terusik menyimak kebiasaannya membaca literatur dan para politisi, tim sukses (timses), hingga "tim nasi bungkus" fokus sosialisasi jagoannya masing-masing.

Semua kerianggembiraan demokrasi, di ujung penutupan pendaftaran tahap perpanjangan agar tak terjadi calon tunggal, berubah antiklimak atas penolakan cakada oleh KPUD LamtimLamtim diduga gara-gara kendala teknis. 

Okelah beda, jika PDIP di Pilgub Lampung dan Pilwalkot Bandarlampung PDIP masih belum koalisi, PDIP Lamtim sebelumnya telah koalisi dengan pasangan cakadanya Ela-Azwar.

Sesuai UU Pilkada, Pasal 100 dan 135, mengalihkan dukungan harus kesepakatan koalisi, pertanyaanya kemudian: kemana admin koalisi yang bisa mengubah Silom selama empat jam Dawam-Ketut menunggu di KPU Lamtim? 

KPUD Lamtim akhirnya panen kritik dari masyarakat, tokoh politik, partai, dan berbagai elemen masyarakat lainnya pascakeputusan menolak pendaftaran Dawam-Ketut pada tengah malam terakhir batas waktu pendaftaran cakada.

Esoknya, macam-macan aktualisasi kekecewaan publik, terjadi "pertumpahan ludah" di berbagai flat form media sosial. Kebijakan  KPUD Lamtim telah menimbulkan kegaduhan, bola panas bagi proses politik di Lampung. 

Tokoh politik Alzier Dianis Thabrabie (ADT) menilai KPUD Lamtim telah merobek demokrasi, petahana M. Dawan Rahardjo merasa hak demokrasinya dibegal. Dr. Yusdianto dari FH Unila tegas mengatakan adanya begal demokrasi.

Dr. Budiyono dari FH menilai KPUD Lamtim telah merusak demokrasi dan menghilangkan suara rakyat. KPU Lamtim telah menodai demokrasi, kata Wakil Direktur YLBHI Bandarlampung Cik Ali.

Ketum DPN Persatuan Advokasi Indonesia Dr. (C) KRT Ganda Miharja, SH, MH sampai geleng-geleng kepala. Seharusnya, KPU Lamtim tak tergantung Sistem Informasi Pencalonan (Silon) yang hanya alat bantu pendaftaran cakada.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai penolakan pendaftaran cakada oleh KPU Lamtim berpotensi melanggar HAM. Pihaknya akan turun menyelidikinya.

Sungguh memalukan, euforia demokrasi mendadak berubah duka di Lamtim. Banyak yang kecewa, mengecam, dan marah hingga berhamburan kalimat yang tak enak dibaca atas penolakan cakada oleh KPUD Lamtim.

Dari sini saja, keputusan KPUD Lamtim menolak pencalonan cakada yang didukung 93.926 suara dan 8 kursi PDIP dari 50 kursi DPRD Lamtim sudah melukai rasa keadilan masyarakat dan berbagai pihak kompeten.

Jika bijak dan searah tujuan KPU RI menghindari kotak kosong, KPUD Lamtim dapat memberikan solusi bagi cakada yang mendaftar sebelum ditutup dapat diterima dan diproses berkasnya secara manual. 

Gagalnya pendaftaran para cakada karena harus menggunakan sistem Silon akhirnya menuai kekecewaan hingga kecaman banyak pihak.

Walau, KPUD Lamtim telah mengumumkan pendaftaran ditutup dengan calon tunggal dan menolak dugaan akibat admin Silon koalisi yang kabur ketika Dawam-Ketut daftar ke KPU Lamtim, kritikan dan kekecewaan masyarakat terus mengalir mencari muara keadilannya. 

Rasa keadilan masyarakat kini ditumpukan kepada Bawaslu Lampung dan Lamtim. Bawaslu Lampung mudah-mudahan bisa netral, tidak seperti istilah ngadu ke "belando". Jika tidak, seperti kata Alzier Dianis Thabrabie, Polda Lampung harus turun menyelamatkan demokrasi yang diduga telah dibegal di kabupaten tersebut.

Semua harus bergerak membuka setransparan mungkin proses demokrasi di Lamtim, bila perlu Polda Lampung turun dengan digital forensik-nya. Pokoknya jangan sampai ada yang dicurigai selon-selonan (ugal-ugalan) dalam penyelenggaraan pilkada. 

Kebetulan, lidah sebagian orang Lampung menyebutkan kata selon itu ya silon. 

* Pimred Club

 - 

Berita Terkini