Tiket ke Surga di Tanah Abang, Catatan Hendry Ch Bangun

Kamis, 5 September 2024 15:02
Suasana stasiun Tanahabang atau orang menyebutnya Tenabang di hari-hari sibuk dengan beragam aktivitas masyarakat. Foto: Tangkapan Layar Milik akun Harianto (Google

BANYAK sekali tiket ke surga dijajakan di Stasiun Tanah Abang. Tiket itu tersebar di emplasemen stasiun, di depan pintu stasiun, di taman dan trotoar sekitar stasiun, terus memanjang sampai di jalan Jatibaru, bawah jembatan layang. Harganya tidak sama.

Mereka dijual orang-orang yang setiap pagi datang ke sini berjuang agar keluarganya bisa makan hari itu, agar anak-anaknya terus sekolah dengan bisa membayar iuran, atau membeli baju layak pakai, atau membayar sewa kontrakan rumah.

Orang yang tidak punya pilihan kecuali berusaha dengan susah payah, bekerja keras agar bertahan hidup.

Ada yang berasal dari Rangkasbitung, Pandeglang, Lebak, dari Depok, dari Tangerang, dan daerah sekitaran Jakarta.

Baca juga: Kalah Lagi, Langkah Tim Bola Basket Putra Jateng Terhenti di Babak Penyisihan PON

Mereka ini datang pagi seperti pegawai kementerian, staf perusahaan swasta, satpam, penjaga toko, yang mendapat gaji tetap. Tetapi sejatinya mereka ini tidak.

Pendapatannya adalah apa yang dia peroleh hari itu. Dia yang berdebar menatap mata calon pembeli, pemakai jasanya, apakah nanti dia mendapat satu-dua lembar rupiah bergambar Idham Khalid, Frans Kaisiepo, ataupun Kapiten Pattimura.

Mereka inilah tukang ojek pangkalan yang memanggil-manggil calon penumpangnya dengan wajah senyum dan penuh harap.

Pedagang lontong, tahu, bakwan untuk sarapan bagi para pegawai yang berangkat terburu-buru dari rumah.

Baca juga: Istri Siri di Balangan Dianiaya Suami: Kepala Dijotos, Dicekik dan Diancam Kapak Hanya Karena Kode Ponsel

Sopir dan calo mikrolet yang memanggil-manggil mereka yang baru turun dari KRL. Penjaja minuman hangat dan dingin. Pengemudi bajaj, pedagang kaus kaki Rp 10 ribu untuk tiga pasang, penjaja pisang, dan banyak kita lihat di seputaran stasiun.

Kalau Nasib sedang baik, saat sore menjelang wajahnya tersenyum. Ada rasa senang, gembira, karena minimal dalam 24 jam kegundahannya sudah lewat.

Bisa jadi dia akan memesan nasi bungkus berlauk telor, sepotong ayam, ikan. Kalau keadaan sedang, mereka bersyukur karena minimal ada yang dibawa pulang.

Tetapi bila hari sedang buruk, hanya kekecewaan yang tergambar. Uang yang diperoleh hanya cukup untuk ongkos pulang. Perut mungkin hanya diisi lontong dan gorengan sebagai pengganti hidangan nasi untuk makan malam.

Baca juga: Pendaftaran CPNS Diperpanjang Hingga 10 September 2024, Pelamar Diimbau Tidak Daftar di Akhir Batas Waktu

Hati disabar-sabarkan karena tahu sedang menghadapi ujian sambil mencari alasan ketika ditanya anak istri ketika pulang.

Malam akan terasa Panjang. Dan di dalam kereta yang penuh sesak pada suatu sore dan sehabis magrib, apa yang dicapai hari itu tergambar jelas.

Sambil berdesakan dengan penumpang yang bergegas pulang, ada senyum kepuasan.

Sambil mencari celah agar bisa sekadar membuka HP dan berkabar ke rumah, menyapa anaknya, bisa jadi terlihat wajah kelam karena target pendapatan tidak tercapai.

Baca juga: Reklamasi Pesisir Surabaya, Miko Saleh Sebut Ancaman Bagi Warga dan Pertahanan Negara

Termasuk di sini kuli panggul, pembawa barang dengan kereta dorong dari pusat pasar ke kios angkutan barang antarpulau.

Atau penjaga toko yang pendapatan berkurangg karena semakin kehilangan pelanggan karena kalah bersaing dengan penjualan online yang murah dan lebih cepat. ***

Tetapi mereka ini orang yang tahu diri dan selalu mengingat Tuhan. Faham bahwa rezeki sudah diurus Sang Pemilik Alam, diatur jatahnya, tidak perlu dikejar-kejar sampai melupakan segalanya. Termasuk menjalankan ibadah rutin tepat waktu.

Tanyakan saja kepada mereka bagaimana rezekinya hari ini, mereka tidak akan marah walaupun yang didapatnya tidak sesuai harapan.

Baca juga: Kebakaran di Sawah Lama, Bandarlampung, Ludes Rumah dan 2 Motor

“Rezeki sudah diatur, kita mah yang penting usaha aja,” kata penjual makanan yang sore itu masih banyak dagangannya tersisa.

“Mau apa, Bang, kita pasrah saja. Kalau cuma segini dapatnya, ya berdoa biar besok dapetnya banyakan,” kata pedagang kaus kaki yang berjualan sambil duduk di pinggir taman.

Mereka ini golongan yang mencoba menikmati hari ini apa adanya. Bekerja, berusaha, dalam kecepatan normal, menjalankan peran sesuai ritmenya. Tidak mengambil hak orang. Tidak merebut ruang kehidupan orang lain. Tidak berebut masuk ke gerbong KRL dengan mendesak ke kiri dan ke kanan dengan pantat dan punggung, sebagaimana ditunjukkan pegawai berbaju rapi dan berbau wangi di stasiun-stasiun.

Enjoy your life and let God do the rest.

Kita pun terkadang ingin demikian, tetapi kerap tergoda untuk terburu-buru secara berebihan karena berpikiran bahwa kalau tidak cepat bisa tidak dapat. Bahwa rezeki itu melulu upaya manusia.

Baca juga: Sinta Oktafia dan Yunita Sari Juarai Lomba Poster Internasional USM

Padahal sebaliknya rezeki sepenuhnya urusan Allah Swt. Saat usia masih muda, pemahaman makna kehidupan masih dalam pencarian, di dunia yang keras seperti beton-beton bangunan tinggi di sepanjang Jalan Thamrin dan Sudirman, kemenangan dalam bersaing, adu cepat, adu pintar, adu keras, kita anggap sebagai jawaban.

Tetapi seiring waktu, asam garam kehidupan, kita semakin yakin bahwa ada pihak yang sudah membuat skenario kehidupan dengan lika liku dramanya.

Ikuti saja dengan keihklasan, sebagaimana pohon yang membiarkan dirinya diikat, dipaku, dipangkas, ditebang, dan dia tetap memberi kesejukan bagi yang berteduh di bawahnya dengan daunnya yang rindang.***

Lalu kita akan memikirkan mulai menjalani kehidupan dengan cara yang lebih sederhana: menikmati hari ini, mengoreksi kekurangan di masa lalu dengan memperbaiki diri, dan melihat masa depan dengan sudut pandang positif.

Baca juga: Link Live Streaming Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia : Arab Saudi vs Timnas Indonesia, Dimulai Pukul 01.00 WIB dini hari

Melakukan apa saja agar bekal yang dibawa kelak cukup untuk menempati kavling yang memadai.

Soal ini saya ingat di sebuah ceramah Prof Quraish Shihab soal kedudukan kita di akhirat nanti.

“Tidak usah muluk-muluk. Yang penting terhindar dari api neraka.”

Pasti ada yang ingin istana emas, silakan saja, tetapi artinya dia harus membeli satu demi satu batu bata, semen, marmer, di setiap detak kehidupannya di dunia ini.

Baca juga: Drama Berdarah di Kebun Karet: Emosi Memicu Pembunuhan di Tabuan Halong

Mari bertanya, sudah berapa batu bata yang kita sisihkan dari rezeki kita? Sudah berapa banyak semen yang kita beli melalui sedekah ke anak yatim, membantu pengadaan mushaf Al Quran, memberikan makanan kepada tetangga yang miskin, menyumbang pembangunan mushala reyot di pedalaman?

Berapa banyak marmer yang sudah kita tabung dengan senyum kepada kolega dan rekan kerja, dengan berkata baik dan bersikap sopan, dan selalu berterima kasih atas setiap kali bertransaksi?

Kalau merasa belum cukup mari kita beli sebanyak mungkin tiket ke surga. Meski naik Transjakarta murah, sesekali naiklah ojek pangkalan yang sangat berharap mendapat penumpang?

Belilah lontong, gorengan walau tidak lapar, dan menyumbangkannya ke sesama pejalan kaki ataupun teman di kantor? Beli barang 3 pasang kaus kaki dari pedagang yang sepi pembeli.

Baca juga: PDIP Turunkan Mantan Kajati Usut Dugaan Pidana Silon KPU Lamtim

Belilah dua-tiga buah pisang. Sisihkan beberapa ribu rupiah kepada pengamen meski suaranya sumbang. Atau memberi tip Rp 5000 bagi ojek online yang sudah kita gunakan jasanya.

Seperti pernah disampaikan penulis buku Islam dan penceramah ternama, Gus Baha, membeli sesuatu itu kadang bukan berarti kita perlu atau ingin memilikinya. Tetapi bisa jadi membuka jalan rezeki bagi penjual yang sedang menjual barang (atas jasanya).

Alhamdulillah kalau orang itu lalu bersyukur mendoakan kita.
Tiket itu tentu saja tidak hanya ada di Stasiun Tanah Abang, atau pasar di sekitarnya yang setiap hari menjadi magnet bagi ribuan orang yang mengais rezeki.

Di setiap tempat banyak dijual tiket ke surga. Di lampu merah, di pasar, warung-warung makan, di halte bus, di tempat orang berkeringat dan mengeluarkan banyak pikiran dan tenaga agar bisa hidup.

Baca juga: Link Live Streaming Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia : Arab Saudi vs Timnas Indonesia, Dimulai Pukul 01.00 WIB dini hari

Mari membelinya sebanyak mungkin mumpung masih ada waktu.

Kebon Sirih, 5 September 2024.

Berita Terkini